KEDIRI, iNewsBlitar - Dinamika politik Indonesia dengan adanya lima partai besar, yakni PNI, Masyumi, NU, PKI dan PSI terus bergeliat. Pertarungan politik untuk saling menjatuhkan antara elit partai, terus terjadi.
Pasca Pemilu 1955 di mana Masyumi dan PSI kemudian dibekukan pemerintahan Soekarno atau Bung Karno karena dianggap terlibat pemberontakan PRRI/Permesta, suhu politik nasional semakin memanas.
Meningkatnya suhu politik tidak lepas dari manuver orang-orang PKI yang terus berusaha menjadi pemenang tunggal percaturan politik nasional. PKI terus berusaha menggilas orang-orang eks Masyumi.
Sebab meski telah dibekukan, orang-orang eks Masyumi masih leluasa bergerak melalui organ sayap afiliasi partai yang oleh pemerintah tidak ikut dinyatakan terlarang.
Orang-orang eks Masyumi masih bergiat di GPII (kelompok pemuda), PII (Pelajar), HMI (Mahasiswa), W.Islam (Perempuan), GTII (Petani), Gasbindo (Buruh) dan HSBI (Seni Budaya).
Langkah pengganyangan PKI adalah dengan mencoba membenturkan eks Masyumi dengan NU yang saat itu tinggal satu-satunya parpol terkuat dari kelompok Islam. PKI berusaha merusak ukhuwah Islamiyah antara NU dengan Masyumi.
PKI meminta Bung Karno membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang merupakan afiliasi Masyumi di lingkungan kampus. Harapannya Bung Karno akan meminta dukungan NU dalam mengambil langkah pembubaran itu.
Sebab dalam waktu yang belum lama, yakni 10 Oktober 1963, HMI Yogyakarta dan Jakarta telah menyerang NU, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri.
Bung Karno memang meminta dukungan NU. Namun jawaban yang didapat dari NU justru telah mengejutkan Soekarno. Meski Masyumi merupakan rival politik dan HMI pernah mensabotnya, NU tidak ingin melakukan tindakan balas dendam.
“NU tidak ingin HMI ikut dibubarkan, karena tidak terlibat pemberontakan PRRI. Oleh karena itu NU menolak permintaan Bung Karno dan dengan gigih membela HMI karena NU tahu apa yang dilakukan Bung Karno merupakan provokasi PKI untuk mempreteli satu-persatu kekuatan Islam,” demikian dikutip dari buku Benturan NU PKI 1948-1965 (2013).
Sikap NU menolak pembubaran HMI diperlihatkan blak-blakan. Menteri Agama Kiai Saifuddin Zuhri berdebat keras dengan Bung Karno. Bahkan Kiai NU itu mengancam mengundurkan diri sebagai menteri jika Soekarno memaksakan membubarkan HMI.
Bagi NU ada ukhuwah Islamiyah yang perlu dijaga walaupun pihak lain belum tentu mampu melaksanakan. Sikap tegas Kiai Saifuddin Zuhri membuat Bung Karno urung membubarkan HMI.
Begitu juga ketika Hamka, tokoh Masyumi diserang Lekra PKI dengan tuduhan melakukan plagiasi karya sastra. NU melalui organ Lesbuminya terang-terangan membela.
Sebab tidak ada yang membela Hamka mengingat yang bersangkutan merupakan pimpinan partai yang telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah. “Karena tidak ada yang berani membela pimpinan Masyumi sebagai partai terlarang karena khawatir dituduh anti pemerintah”.
Sikap NU yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dengan Masyumi juga diperlihatkan dalam peristiwa Kanigoro Kediri 13 Januari 1965. NU tampil ke muka membela para aktivis PII yang diserbu Pemuda Rakyat dan BTI yang bersenjata lengkap.
Alasan penyerbuan ke pondok pesantren Kanigoro, yakni tempat pelatihan PII karena PII merupakan sayap Masyumi yang oleh pemerintah sudah dinyatakan sebagai partai politik terlarang.
Dalam insiden pagi buta itu pengasuh pondok pesantren, yakni tokoh NU KH Jauhari dan Kiai Said Koenan bahkan turut menjadi korban penganiayaan orang-orang PKI. Kiai Jauhari merupakan ayah KH Maksum Jauhari atau Gus Maksum, pengasuh Ponpes Lirboyo Kediri.
Serangan balasan terhadap orang-orang PKI yang telah menyerbu secara brutal sontak dilakukan massa Ansor Banser NU. “Seterusnya para aktivis PII banyak minta perlindungan pada para kiai dan tokoh NU Kanigoro”.
Sejarah politik Indonesia mencatat, pasca peristiwa G30SPKI yang berlangsung 30 September 1965, PKI dibubarkan dan sekaligus dinyatakan sebagai partai terlarang.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait