BLITAR, iNewsBlitar – Pemerintahan Rijanto-Beky Herdihansah di Kabupaten Blitar dispekulasikan sulit melakukan pembaharuan kebijakan.
Apalagi untuk mewujudkan janji kemakmuran seperti yang didengungkan dalam visi misi selama kampanye Pilkada, dinilai jauh panggang dari api.
Hal itu bisa tercermin dari 100 hari kepemimpinan Rijanto-Beky sejak dilantik sebagai bupati dan wakil bupati Blitar periode 2025-2030.
Demikian diungkapkan Koordinator Komite Rakyat Pemberantas Korupsi (KRPK) Moh Trijanto.
Trijanto ragu visi misi kemakmuran yang dikemas dalam narasi Berdaya dan Berjaya Untuk Semua bisa terwujud. Sejauh ini ia tidak melihat indikasi upaya perubahan.
Sementara 100 hari kerja merupakan etalase kepemimpinan, cerminan arah kebijakan strategis sekaligus keberpihakan kepada rakyat.
“Justru yang terlihat hanya indikasi pergeseran kepentingan, bukan lompatan kebijakan,” ungkap Moh Trijanto Jumat (18/4/2025).
Pasangan Rijanto-Beky memenangkan Pilkada 2024. Dengan diusung koalisi PDIP, PAN dan Partai Nasdem, Rijanto-Beky berhasil menumbangkan petahana Rini Syarifah atau Mak Rini.
Banyak warga masyarakat terpikat oleh janji perubahan Kabupaten Blitar lebih baik.
Terutama kepada Beky Herdihansah alias Haji Beky yang menyatakan akan mewakafkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk kemakmuran masyarakat Blitar.
Bahkan untuk menegaskan keseriusannya Haji Beky berjanji menyerahkan gaji sebagai wakil bupati kepada masyarakat selama 5 tahun menjabat.
Namun apa yang terjadi hingga saat ini? Alih-alih membawa perubahan besar yang dapat dirasakan masyarakat secara luas.
Menurut Trijanto, langkah awal pemerintahan Rijanto-Beky tidak lebih dari memindahkan kursi para penikmat kekuasaan. Indikasi perubahan lebih baik justru tidak kunjung nampak.
“Idealnya program 100 hari itu seharusnya menjadi kesempatan emas untuk menunjukkan arah keberpihakan. Dan ini tidak terlihat,” jelas Trijanto.
Trijanto menyoroti struktur pemerintahan Kabupaten Blitar. Penyesuaian yang berjalan lebih banyak mempertimbangkan loyalitas politik, ketimbang profesionalitas.
“Yang terjadi hanyalah pelanggengan kekuasaan dalam wujud baru, bukan pembaruan kebijakan,” paparnya.
Trijanto mengingatkan kalau masyarakat yang memilih Rijanto-Beky di Pilkada bukan untuk melihat para tim sukses duduk di kursi kekuasaan.
Rakyat butuh birokrasi pemerintahan Rijanto-Beky yang representatif serta aksi nyata, bukan sekedar jargon-jargon retorika.
Rakyat menantikan perubahan yang menyentuh kebutuhan dasar.
“Seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, dan seluruh kualitas pelayanan publik,” tegasnya.
Namun yang terjadi di lapangan sayangnya lebih pada pemenuhan kepentingan yang sempit. Seperti ajang konsolidasi kekuatan politik.
Mereka yang dulu di luar pagar kekuasaan karena tidak terpakai, kini giliran di tengah kekuasaan, imbalan atas dukungan politik di pilkada.
Apa yang berikutnya terjadi? Pemimpin hasil pilkada langsung yang mestinya berutang moral kepada masyarakat, justru lebih condong kepada sponsor politik atau oligarki.
“Ini tentu memprihatinkan. Bahwa mandat kekuasaan itu datang dari rakyat, bukan dari tim sukses semata,” pungkas Trijanto.
Sementara itu Wabup Blitar Beky Herdihansah diketahui tengah berusaha melakukan loby anggaran ke pemerintah pusat.
Langkah yang diambil menyusul adanya protes jalan rusak di Kabupaten Blitar yang tidak segera dibenahi.
Informasinya, upaya yang dilakukan Wabup Beky sejauh ini belum membuahkan hasil, masih dalam proses menunggu keputusan pusat.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait