BLITAR, iNewsBlitar- Tahun baru Imlek atau Sin Cia ternyata belum pernah dirayakan masyarakat Tionghoa Indonesia di awal masa kemerdekaan 1945.
Masyarakat Tionghoa tidak merayakan Imlek karena menganggap masih banyak dari mereka yang hidupnya menderita akibat penjajahan Jepang.
Banyak orang-orang Tionghoa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) yang ditangkap, dipenjarakan, dan kemudian tidak jelas nasibnya.
Marcus A.S dalam buku “ Hari-Hari Raya Tionghoa” menyebut, Imlek belum bisa dirayakan karena situasi negara di awal kemerdekaan belum sepenuhnya kondusif, terutama di Jakarta dan sekitarnya.
“Situasi negara ketika itu belum tentram dan di Jakarta masih terjadi zaman “siap-siapan”,” tulis Marcus A.S
“Siap-siapan” merupakan istilah yang merujuk pada peristiwa serangan mendadak dari musuh. Yakni biasanya serangan dari penjajah Belanda maupun Jepang.
Setiap terjadi serangan, orang biasanya akan berteriak : Siap!Siap!. “Kemudian kita menamakan zaman siap-siapan,” tambah Marcus dalam “ Hari-Hari Raya Tionghoa”
Tidak heran bila saat itu banyak orang Tionghoa yang tidak berani berziarah ke makam leluhurnya.
Situasi terus berlanjut hingga permulaan tahun 1947. Meletusnya insiden-insiden di sekitar wilayah Tangerang pada tahun 1946 membuat Imlek juga tidak lagi dirayakan.
Orang-orang Tionghoa menganggap sangat keterlaluan bila mereka bergembira, sementara saudara-saudara mereka sedang tertimpa bencana.
Bahkan banyak yang kehilangan harta dan jiwa sanak familinya. “Maka tahun baru Imlek waktu itu tidak mereka rayakan,” tulis Marcus A.S.
Pada tahun 1948, Imlek juga belum bisa dirayakan. Orang-orang Tionghoa yang belum menjadi warga negara Indonesia terbebani perang saudara yang berkecamuk di Tiongkok.
Harapan mereka tentang cita-cita “Satu Tiongkok” makmur, buyar. Begitu juga dengan tahun 1949. Belanda melancarkan agresi militer ke dua dan banyak orang Tionghoa menjadi korban.
Tidak sedikit rumah-rumah orang Tionghoa dibakar. Banyak yang kehilangan harta, nyawa maupun sanak famili. Banyak yang kemudian tidak memiliki tempat tinggal, bercerai dan kehilangan anak.
Beribu-ribu orang berada dalam situasi mencekam sekaligus kekurangan sandang pangan. “Tahun baru (Imlek) masih dianggap tidak pantas untuk dirayakan,” kata Marcus A.S.
Lepas dari tahun 1949, situasi Indonesia berangsur-angsur membaik. Sehingga pada saat itu orang-orang Tionghoa mulai berani merayakan tahun baru Imlek, meskipun tidak secara besar-besaran.
Editor : Solichan Arif