LAMPUNG, iNewsBlitar – Sosialisasi literasi digital di Pondok Pesantren Al Banin Kota Bandar Lampung mengusung tema Ancaman Keamanan Siber dan Perlindungan Data Pribadi.
Di depan audiens disampaikan bahwa tekhnologi digital memang memudahkan kehidupan manusia. Namun di balik itu semua terdapat tantangan sekaligus ancaman terhadap privasi, keamanan data, serta stabilitas sistem.
Sebab motivasi para pelaku kejahatan siber beragam, yakni mulai pencurian data pribadi hingga membuat serangan dengan tujuan untuk menggagalkan bisnis besar.
“Karenanya tema "Ancaman Keamanan Siber dan Perlindungan Data Pribadi" adalah panggilan untuk kita memahami secara mendalam ancaman-ancaman yang merayap di dunia digital,” demikian terungkap dalam sosialisasi literasi digital di Ponpes Al Banin.
Sosialisasi literasi digital di Ponpes Al Banin Kota Bandar Lampung diikuti sebanyak 1.300 peserta. Mereka terdiri dari pengurus ponpes hingga santri dan santriwati.
Sosialisasi yang berlangsung interaktif dan meriah itu menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu Dr. M. Gusnur Wahid M.Pd.I, Dr Agus Suryana dan Tomi Nurihman M.Pd.
Disampaikan bahwa ancaman yang kerap terjadi di dunia digital adalah pencurian data pribadi melalui profil akun media sosial. Metode yang dilakukan beragam, yakni mulai mengambil informasi dari profil, melalui aplikasi dan situs lain, dan melalui akun pertemanan.
Kemudian juga dilakukan melalui kiriman link phising, data lokasi foto yang dibagikan, mempelajari dari friend request, hingga mengambil informasi dari informasi yang dihapus.
Apa yang harus dilakukan agar terhindar dari kejahatan siber? Yang pertama adalah bersikap sedikit parno (paranoid) terhadap sesuatu yang asing. Selalu memeriksa apapun yang berasal dari luar.
Kemudian memagari gadget, PC atau laptop dengan tools security yang baik, membuat password yang kuat dengan penggantian berkala, dan tidak memajang informasi secara berlebihan ke publik. “Juga hindari curhat yang tidak perlu dan tidak pada tempatnya”.
Dalam sosialisasi literasi digital juga terungkap ancaman lain yang tak kalah serius dari digitalisasi, yakni fenomena cyberbullying (Perundungan di dunia maya) yang tengah marak.
Cyberbullying merupakan prilaku berulang yang bertujuan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan mereka yang menjadi sasaran. Dampaknya terhadap korban lebih serius, yakni bahkan lebih berbahaya dari bullying verbal atau fisik.
Fenomena yang marak terjadi, menurut Tomi Nurihman perundungan dengan sarana tekhnologi digital bisa terjadi di berbagai platform digital. “Mulai platform chating, game dan ponsel,” ungkapnya.
Yang perlu diketahui lagi cyberbullying hadir dalam berbagai bentuk. Yakni bisa berupa pengiriman pesan dengan kata-kata kasar dan frontal atau disebut flaming. Biasanya terjadi di chat grup media sosial.
Cyberbullying juga berbentuk harassment dan denigration, yakni mengumbar keburukan seseorang dengan maksud merusak reputasi dan nama baik seseorang. “Seperti mengirimkan gambar seseorang yang sudah diedit agar seseorang diolok-olok atau mendapat penilaian buruk”.
Adapun penyebab munculnya cyberbullying di antaranya adalah faktor dendam, yaitu pembalasan atas penindasan yang diterima sebelumnya. Kemudian rasa iri terhadap korban, mencari kesan keren dan tangguh, pengungkapan dominasi kuasa, serta karena adanya gangguan kepribadian tertentu.
“Cyberbullying sebagai cara menyatakan perasaan senang untuk menyakiti korbannya,” terang Tomi.
Lantas, apa yang harus dilakukan korban cyberbullying? Pertama tidak memberikan respon apapun terhadap serangan cyberbullying. Sebab jika ditanggapi, serangan akan berlanjut terus menerus.
Yang berikutnya adalah menyimpan bukti adanya cyberbullying, tidak perlu membalas dendam, dan untuk menghentikan cyberbullying cukup membawa ke aparat berwenang dengan bukti kuat.
“Demikian pentingnya mengadopsi tindakan yang bijak untuk melindungi diri, informasi pribadi, dan masyarakat secara keseluruhan,” pungkasnya.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait