BENGKULU, iNewsBlitar - Media sosial sebaiknya bisa menjadi alat untuk menangkal radikalisme. Dengan menyebarkan dakwah, media sosial juga seyogyanya bisa dijadikan ladang pahala.
Dalam sosialisasi literasi digital di Pondok Pesantren Darussalam Kota Bengkulu, Wira Hadikusuma yang juga Sekertaris MUI Provinsi Bengkulu mengingatkan pentingnya memahami aturan berdakwah melalui media sosial.
“Memberi faedah ilmu atau nasihat singkat melalui media sosial adalah amal mulia, salah satu bentuk taqarrub ilallah yang berpahala, InsyaAllah,” ujarnya di depan para peserta sosialisasi literasi digital.
Sosialisasi mengusung tema: Membangun Kesadaran Literasi Digital dari Pesantren untuk Indonesia. Kurang lebih sebanyak 1.300 orang hadir sebagai peserta, yakni terdiri dari pengurus sejumlah pesantren, alumni dan santri.
Wira Hadikusuma juga berbicara soal adab berdakwah di media sosial. Yang pertama-tama dilakukan adalah memastikan niat. Kemudian memastikan pesan, bahwa ilmu atau nasihat yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
“Ada dalil Al-Quran, hadist atau perkataan sahabat yang mendukung dengan landasan untuk menjaga amanah ilmiah,” terangnya.
Sosialisasi berlangsung meriah. Tanya jawab antara peserta dengan pembicara berjalan lancar. Selain Wira Hadikusuma, hadir dua pembicara lain, yakni Prof Andang Sunarto dan Dr Ismail.
Terungkap dari data rilis yang diterbitkan Kementerian Komunikasi dan Informasi bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 202.000.000 jiwa atau 76.8 % dari jumlah penduduk. Sebanyak 154.000.000 atau 56 % di antaranya adalah kalangan remaja.
Media sosial memang banyak membawa kemudahan dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Namun kendati demikian juga terdapat dampak negatif.
“Ini dikarenakan masyarakat pengguna kurang pandai, kurang teliti dalam memilah dan memilih hal baik dan tidak baik. Apalagi pengguna media sosial didominasi oleh kalangan remaja”.
Tersebut dalam sosialisasi literasi digital bahwa remaja perlu mendapat perhatian khusus. Hal itu dikarenakan remaja mudah melakukan interaksi sosial, di mana pengaruh negatif seperti bullying (perlakuan kasar), harassment (kekerasan kepada siapa saja), sexual solicitation (Ajakan yang mengarah perbuatan seksual) hingga isu SARA, mudah terjadi.
“Karenanya perlu meningkatkan keahlian diri (building life skill) dalam mengikuti ritme dan polarisasi di era digital ini. Yakni dengan meningkatkan keahlian tekhnologi, berkreasi dan berinovasi. Pengetahuan dan skill yang dikembangkan ini dapat diwujudkan menjadi manusia atau generasi yang literate”.
Sementara Prof Andang Sunarto lebih berbicara mengenai literasi digital di sekolah. Literasi digital diharapkan mampu membuat siswa, guru, tenaga kependidikan dan kepala sekolah memiliki kemampuan untuk mengakses, memahami dan menggunakan media digital, alat komunikasi serta jaringannya.
“Literasi digital dapat membantu proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Berfungsi sebagai bekal untuk dapat membedakan sumber belajar yang benar, signifikan dan memberikan manfaat,” ujarnya.
Andang Sunarto juga membeberkan sejumlah contoh literasi digital di sekolah. Di antaranya adalah memaksimalkan penggunaan media sosial untuk berkomunikasi dengan guru dan orang tua.
Kemudian email untuk mengirim tugas, memaksimalkan gadget untuk membuat penugasan sekolah, menggunakan aplikasi meeting online, dan menggunakan internet untuk mencari sumber belajar terpercaya.
Termasuk menggunakan papan tulis interaktif, membuat konten pembelajaran online bersama siswa yang bisa digunakan di dalam dan luar kelas. “Dan juga melakukan pencarian informasi tentang pelajaran menggunakan browser,” pungkasnya.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait