Kiai Hasyim Asy’ari merupakan pendiri NU (Nahdlatul Ulama) yang juga kakek Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Pada saat fatwa haram haji dikeluarkan, NU masih bergabung di dalam Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), di mana Mbah Hasyim menjadi ketuanya.
Fatwa haram haji untuk menyikapi Belanda yang telah melakukan berbagai manuver politik. Menyusul agresi militer (1947 dan 1949), Belanda mencoba memecah belah bangsa Indonesia dengan membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat).
Untuk menarik simpati umat Islam, Belanda melakukan pemberangkatan haji, terutama di wilayah Jawa Timur dan luar Jawa yang berhasil didudukinya kembali.
Melalui kapal-kapal yang telah disiapkan, Belanda membantu pemberangkatan umat Islam yang hendak pergi ke tanah suci. Tidak sedikit umat Islam yang tetap berangkat menunaikan ibadah haji.
“Di kalangan republik, muncul istilah Haji NICA untuk orang-orang yang naik haji dengan kapal Belanda”.
Seiring dengan fatwa yang dikeluarkan Mbah Hasyim As’yari tokoh NU dari Masyumi, pemerintah Indonesia menghentikan pelaksanaan haji.
Sejak itu umat Islam Indonesia tidak lagi berfikir soal haji. Mereka bahu-membahu bersama para pejuang lain bagaimana mempertahankan kemerdekaan.
Pada 20-25 Desember 1949, Badan Kongres Muslimin Indonesia menggelar kongres di Yogyakarta. Peserta yang hadir berasal dari 156 utusan organisasi Islam.
Tidak sedikit dari mereka yang datang dari medan perang gerilya. Selain berbicara tentang cita-cita umat Islam di ekonomi, politik, sosial, dan pendidikan, kongres juga membahas perbaikan ibadah haji.
Hasil kongres salah satunya adalah pendirian Yayasan Panitia Haji, pada tahun 1951. Yayasan merupakan penunjukan Kementrian Agama yang dikepalai KH Wahid Hasyim, ayah Gus Dur.
“Yayasan Panitia Haji didirikan pada awal 1951 dan diketuai oleh KH M Sudjak,” demikian yang tertulis dalam Sejarah Nusantara yang Disembunyikan.
Editor : Solichan Arif