Cerita 50 Haji Masa Kolonial Belanda yang Jadi Cikal Bakal Pesantren di Jawa

Arif
Cerita 50 Haji Masa Kolonial Belanda yang Jadi Cikal Bakal Pesantren di Jawa. (foto/ist/wikimedia commons)

BLITAR, iNewsBlitar – Pada masa kolonial Belanda, tingginya animo orang-orang Nusantara, yakni terutama orang Jawa untuk pergi haji telah mempengaruhi lahirnya pemimpin Islam dan pondok pesantren.

Berawal dari sekitar 50 orang Jawa yang naik haji pada tahun 1850, jumlah haji di Pulau Jawa terus bertambah. Hingga tahun 1858, jumlah jamaah haji di Jawa meledak, yakni melebihi 2.200 jiwa.

“Jumlah itu terus naik-turun dalam tahun-tahun berikutnya, tetapi tak pernah lagi kurang dari 1.000 orang,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Pada tahun 1898 calon jamaah haji yang berangkat ke tanah suci lebih dari 5.300 orang. Kemudian tahun 1911 mencapai 7.600 orang dan 10.000 lebih pada tahun 1914.

Pesatnya pertambahan haji di Jawa mempengaruhi penduduk daerah lain di Indonesia. Pada kisaran tahun 1850 dan 1860 jumlah rata-rata yang pergi haji di seluruh pulau mencapai 1.600 orang per tahun.

Sepanjang tahun 1870-an, jumlah penduduk luar Jawa yang pergi haji mencapai 2.600 orang, sebanyak 4.400 orang pada tahun 1880-an dan pada akhir abad ke-19 melebihi 7.000 jamaah.

“Beberapa orang Indonesia menjadi sosok penting di Mekah, seperti Syekh Muhammad Nawawi (1813-1897) dari Banten”.

Meningkatnya jumlah jamaah haji mendorong perubahan penting dunia Islam Jawa. Perubahan itu selaras dengan isu pembaharuan yang sedang muncul dalam dunia Islam.

Ibadah haji menyumbang andil besar bagi pesatnya peningkatan jumlah pemimpin agama dan pondok pesantren di Jawa. Pada tahun 1862 tercatat jumlah santri Jawa mencapai 94.000 orang. Jumlah itu terus meningkat menjadi 162.000 lebih pada dekade berikutnya.

“Catatan pemerintah kolonial melaporkan bahwa pada tahun 1893 hampir 11.000 pesantren berdiri di daerah berbahasa Jawa dengan santri lebih dari 272.000 orang”.

Pesantren dan pemimpin Islam yang bermunculan pada masa kolonial Belanda, realitasnya memiliki warna spiritual yang berbeda.

Banyak pesantren yang mengajarkan Islam dengan campuran mistik, yakni seiring bacaan hafalan Al-Quran juga terdapat bela diri, dan hal-hal laku ajaran yang bersifat metafisik.

Namun model pesantren seperti itu tidak banyak ditemukan di kawasan pesisir utara Jawa. Di kawasan pantai utara Jawa, pesantren memilih mengajar dengan cara yang lebih reformis puritan.

Penekanan ajaran yang diberikan kepada santri lebih fokus pada pemahaman bahasa Arab dan taat pada hukum Islam (syariat). Aliran reformis ini menjadi tantangan bagi pengaruh sosial dan agama pemimpin Islam Jawa yang lebih tradisional.

Seiring itu kelompok sufi yang lebih ortodoks juga menyebar pada pertengahan akhir abad 19 di antara penduduk Jawa. Tarekat Naqsabandiyyah menyebar di kalangan ningrat Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Tarekat baru Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah memiliki banyak pengikut dan terlibat dalam gerakan anti kolonial, yakni salah satunya di Banten.

Kehadiran Naqsabandiyyah dan Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah menjadi kompetitor para pengikut tarekat Syatariyyah yang lebih dulu ada dan mendominasi.

“Jadi, meskipun sebelumnya masyarakat Jawa rupanya bersatu dalam identitas keagamaan, pada akhir abad 19 tampaknya keadaan itu terpecah dalam berbagai identitas keagamaan yang bertentangan,” demikian disitir dari Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Editor : Solichan Arif

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network