Kisah Tokoh PKI Madiun Mencumbui Tragedi Percintaan Romeo Juliet Sebelum Mati

Arif
Tokoh PKI Madiun mencumbui tragedi percintaan Romeo Juliet sebelum mati. (foto/ist/ilustrasi adegan film Romeo Juliet)

MADIUN, iNewsBlitarMusso dan Amir Sjarifuddin memimpin pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun Jawa Timur 18 September 1948. Seperti halnya pemberontakan 1926. Pemberontakan yang dipimpin dua tokoh PKI itu juga gagal.

Salah satu penyebab kegagalan pemberontakan PKI Madiun adalah kurangnya dukungan dari rakyat secara luas. Rakyat lebih mendukung pemerintahan Soekarno dan Hatta daripada tawaran pemerintahan Soviet Musso dan Amir Sjarifuddin.

Kondisi itu juga diperparah situasi internal PKI yang kurang solid. Saat pemberontakan meletus, PKI Bojonegoro, Banten dan Sumatera memilih setia kepada Hatta. Mereka enggan mengikuti arahan Musso dan Amir.

Karenanya gaung pemberontakan PKI Madiun praktis hanya bergema di wilayah Madiun dan Pati. Dalam hitungan hari, pemberontakan yang banyak memakan korban dari kalangan ulama itu berhasil dipadamkan.

Pada akhir November 1948, Amir Sjarifuddin yang sudah tidak berkutik ditangkap TNI pasukan Kemal Idris di Desa Kelambu Purwodadi Jawa Tengah. Saat dibekuk kondisi mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI itu mengenaskan.

“Dalam keadaan kurus dan pincang karena sedang menderita disentri,” demikian dikutip dari buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997).

Begitu pemberontakan berhasil dipadamkan dan Madiun dan sekitarnya berhasil direbut, pemerintah menerapkan kebijakan khusus kepada para tawanan penting. Para tokoh PKI yang tertangkap hidup-hidup, termasuk Amir Sjarifuddin dibawa ke Ibu Kota Yogyakarta.

Kendati demikian, semuanya terlebih dahulu dibawa ke Kudus, yakni untuk menjalani interogasi. Kemudian dengan menggunakan kereta api khusus, mereka diangkut menuju Yogyakarta.

Karena dianggap sebagai tokoh terpenting, Amir ditempatkan seorang diri di gerbong yang sebelumnya telah dikosongkan. Ia diurus oleh seorang perwira TNI, Kapten Soeharto dan memilih kooperatif.

Di sela waktu menanti kereta berjalan, Amir tiba-tiba menyatakan ingin membaca buku. Ia meminta Kapten Soeharto dan oleh Soeharto diberikan novel Romeo Juliet. Di sela menunggu kereta berangkat, Amir menikmati kisah tragedi percintaan itu.

“Waktu itu, buku satu-satunya yang dimiliki Kapten Soeharto ialah Romeo and Juliet karangan William Shakespeare”.

Perjalanan kereta membawa Amir Sjarifuddin ke Yogyakarta sebagai tawanan  berjalan sesuai rencana. Kedatangan Amir di Yogya telah didengar dan sekaligus menarik perhatian rakyat.

Begitu kereta tiba stasiun Yogya, pemandangan yang terlihat adalah banyaknya rakyat yang berjejal-jejal ingin menyaksikan wajah mantan perdana menteri itu dari jarak dekat.

Amir tidak banyak berekspresi. Begitu juga saat diarak keliling kota sebagai pesakitan politik, ia tetap tenang. “Ia (Amir Sjarifuddin) kelihatan tenang melihat rakyat yang berjubel-jubel di stasiun melalui jendela kereta”.

Atas usul Jaksa Agung, para tawanan politik peristiwa pemberontakan PKI Madiun diserahkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Pada bulan Desember 1948, Amir Sjarifuddin diam-diam dibawa ke Solo bersama 11 tawanan politik lain.

Pada 19 Desember 1948, yakni dalam situasi tengah malam di wilayah Desa Ngalihan dekat Solo, Amir Sjarifuddin menjalani eksekusi tembak mati.

Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, tokoh pemberontakan PKI Madiun yang pernah diselamatkan Bung Karno dari tiang gantungan penjajah Jepang itu diberi kesempatan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.  

Editor : Solichan Arif

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network