JAKARTA,iNewsBlitar – Partai Sosialis Indonesia (PSI) turut mewarnai perjalanan sejarah partai politik di Indonesia. PSI termasuk di dalam kelompok parpol 5 besar. Peringkat itu berubah saat digelarnya Pemilu 1955.
Perolehan suara PSI (Partai Sosialis Indonesia) pada Pemilu 1955 jeblok, dan anehnya Sjahrir bersikap onvershillig (acuh tak acuh), tidak peduli.
PSI anjlok pada posisi ke-8 dengan perolehan 5 kursi di parlemen. Sementara rivalnya, PNI (Partai Nasionalis Indonesia) bertengger di urutan teratas memimpin perolehan kursi (57 kursi), disusul Masyumi (57 kursi), NU (45 kursi) dan PKI (39 kursi).
Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 1955 sebanyak 753.191 suara. Dibandingkan 17 kursi di perlemen yang dipunyai PSI sebelumnya, pada Pemilu 1955 PSI telah mengalami kemerosotan luar biasa.
Yang mengejutkan adalah sikap Sjahrir. Ia bahkan tidak menginginkan adanya analisa lebih jauh terkait merosotnya perolehan suara PSI. Ketua Fraksi PSI Soebadio Sastrosatomo yang mencoba bikin analisis, malah dimarahi. Sjahrir berpikiran, PSI memang bukan untuk kekuasaan.
“Tujuan kita, kata Sjahrir, mendidik, bukan berkuasa. Wiz zijn geen machtsmensen (kita bukan orang kekuasaan). Tidak ada pembentukan kekuasaan (machtsvorming) dan penggunaan kekuasaan (machstaanwending),” demikian dikutip dari buku Soebadio Sastrosatomo, Pengemban Misi Politik (1995).
Karena garis politik yang dianut (mendidik, bukan berkuasa), PSI juga tidak pernah ambil pusing jika anggotanya tak sebesar PKI. Pada tahun 1952 anggota PSI sebanyak 3.049 orang. Kemudian jumlah calon anggota hanya 14.480 orang.
Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan PKI yang anggotanya sebanyak100.000 orang. Lagi-lagi para petinggi PSI berdalih PSI merupakan partai kader, bukan partai massa.
Dalam Kongres pertama Februari 1952 di Bandung Jawa Barat, Sjahrir dan kelompoknya mengusulkan penghapusan Marxisme dari anggaran dasar PSI. Konsep class struggle atau pertarungan kelas dalam prinsip Marxisme, sebaiknya tidak lagi dipakai.
Marxisme hanya akan digunakan untuk analisis. Diakui sebagai petunjuk jalan, bukan suatu dogma. Tujuan PSI adalah terbentuknya masyarakat sosialis yang berdasarkan demokrasi.
Namun keinginan Sjahrir mendapat penentangan keras dari para kader yang ingin tetap mempertahankan Marxisme. “Kalau bukan Marxisme, wat zijn we dan? (kita ini lantas apa?),” begitu protesnya.
Kekalahan PSI dalam Pemilu 1955 diterjemahkan banyak pihak sebagai akhir karier politik Sutan Sjahrir. Apalagi setelah lepas sebagai perdana menteri pertama Indonesia, paman penyair Chairil Anwar itu tak lagi memegang kekuasaan lagi.
Pendapat itu mendapat tangkisan dari para pengikutnya. Soebadio Sastrosatomo justru mengatakan sebaliknya. Baginya Sjahrir adalah tokoh bangsa yang berhasil. Sjahrir lebih mementingkan pendidikan daripada kekuasaan, lebih ilmu daripada harta benda.
“Kalau untuk jadi perdana Menteri mesti pakai kekuasaan, saya tidak mau. Saya mau mendidik,” tegas Sjahrir.
Sikap Sjahrir serupa dengan pendirian Bung Hatta. Kalau jadi wakil presiden hanya untuk mengiakan Soekarno, ia tidak mau. Kalau untuk menguber-uber manusia, Hatta tidak mau.
Pada tahun 1955 itu, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 85,4 jiwa. Produksi pangan meningkat, namun belum mencukupi kebutuhan sehingga impor beras dilakukan. Pemulihan ekspor berlaku lambat.
Pemulihan ekonomi yang lambat dan meluasnya pengeluaran pemerintah mengakibatkan inflasi yang terjadi sejak masa perang kemerdekaan, terus berlanjut. Biaya penghidupan tinggi.
Sejumlah kota besar menjadi pusat kegiatan politik, sedangkan masalah-masalah di pedesaan sering diabaikan. Jawa mendapat perhatian utama, sedangkan luar Jawa seolah telah dianaktirikan.
Kendati demikian, pendidikan mendapat prioritas, dan jumlah sekolah meningkat. Jumlah melek aksara mengalami kenaikan. Pada rentang waktu 1953-1960 jumlah murid sekolah dasar naik dari 1,7 juta menjadi 2,5 juta orang, meski sekitar 60 % dari mereka umumnya putus sekolah.
Dalam Soebadio Sastrosatomo, Pengemban Misi Politik, Soebadio mengatakan, meski perolehan suara PSI merosot di Pemilu 1955, Sjahrir merupakan tokoh bangsa yang sukses. Ia mewariskan ilmu, daripada harta benda.
Dan Pemilu 1955, kata Soebadio tidak banyak menghasilkan penyelesaian.”Dan tambahan pula meratakan jalan kea rah didiskreditkannya lebih jauh sistem demokrasi parlementer,” katanya.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait