JAKARTA, iNewsBlitar – Dipimpin Musso, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) meletus di Madiun, Jawa Timur pada September 1948. Musso tiba di tanah air di saat situasi politik Indonesia sedang panas-panasnya. Di wilayah Delanggu, buruh dan petani menggelar aksi mogok berhari-hari.
Musso atau Munawar Muso alias Paul Mussote pulang dari Moskow dengan menyamar. Ia tiba di Indonesia pada 11 Agustus 1948 atau sebulan sebelum peristiwa Pemberontakan Madiun atau Madiun Affair meletus.
Musso datang bersama Soeripno. Ia didaku bernama Soeparto yang bertugas sebagai sekretaris Soeripno. Soeripno merupakan tokoh kiri yang sejak tahun 1947 menjadi Duta Besar di Praha dan sekaligus diberi kuasa menjalin hubungan dengan Uni Soviet.
Kedatangan Soeripno dan sekretarisnya Soeparto di Bukittinggi dan lantas melanjutkan perjalanan ke Ibu Kota Yogyakarta, menimbulkan kasak-kusuk kecurigaan banyak pihak. “Kedatangan mereka menimbulkan desas-desus, terutama tentang sekertaris Soeripno yang misterius,” tulis Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Misteri itu terungkap dua hari kemudian atau 13 Agustus 1948. Pertemuan Soeripno dan sekertarisnya dengan Presiden Soekarno atau Bung Karno membuka semuanya.
Soeparto ternyata adalah Musso, senior politik Soekarno saat putra sang fajar masih kos di rumah HOS Tjokroaminoto Surabaya. Karena sudah lama saling kenal dan juga lama tak bertemu, Musso dan Soekarno berpelukan.
“Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang.” demikian yang tertulis dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.
Kegembiraan keduanya tidak banyak diungkapkan lewat kata-kata. Kebahagiaan banyak terlihat pada pancaran mata serta roman muka keduanya. Bung Karno sempat berkata,”Lho kok masih awet muda?”.
Musso menjawab: O ya, tentu saja. Ini memang semangat Moscow, semangat Moscow selamanya muda.
Di dalam kamar Soekarno, Musso yang hendak duduk di kursi yang agak jauh, diminta Bung Karno duduk berdekatan dengannya. Bung Karno pun lalu bercerita kepada Soeripno tentang pergaulannya dengan Musso di masa lalu.
Bung Karno menyebut sifat Musso dari dulu yang pemberani. “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia memang jago pencak. Juga orang yang suka main musik. Kalau pidato ia akan nyincing lengan bajunya,” kata Bung Karno.
Musso lahir 1897 di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ia merupakan salah seorang tokoh komunis angkatan tua yang terlibat dalam pemberontakan November 1926 yang gagal itu.
Saat rekan-rekannya tertangkap dan dibuang pemerintah kolonial Belanda ke Digul, Musso berhasil kabur ke Uni Soviet. Di depan Soeripno, Bung Karno bercerita cukup panjang tentang riwayat pergaulannya bersama Musso.
Sebelum berpisah, Bung Karno meminta kepada Musso agar membantu memperkuat negara dan melancarkan revolusi. Musso menjawab singkat dengan bahasa Belanda. “Ik kom hier om orde te scheppen (saya kemari untuk membereskan)”.
Kedatangan Musso mendapat sambutan positif barisan orang-orang kiri Indonesia. Bagi gerakan kiri yang saat itu dalam keadaan kritis, yakni setelah kabinet Amir Sjarifuddin terjungkal dan digantikan Hatta, kehadiran Musso dianggap juru selamat.
Orang-orang kiri tengah mencari pemimpin baru. Musso memperlihatkan kepiawaiannya sebagai tokoh politik yang mumpuni. Ia langsung aktif bergerak. Pada 14 Agustus 1948 Musso mengemukakan pikirannya di harian Revolusioner.
Dalam rangka menyambut peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, pada 16 Agustus 1948 ia berdiskusi dengan politisi Masyumi, PNI , Partai Sosialis dan GRR. Pada 22 Agustus 1948 berpidato di alun-alun Yogyakarta dan pada 26-27 Agustus 1948 Musso menyampaikan tesis politiknya yang terkenal dengan nama Jalan Baru Untuk Republik Indonesia.
Musso mengajukan gagasan perlu dibentuknya Fron Nasional di mana PKI berada di barisan depan sebagai pimpinan. Musso ingin menyesuaikan garis partai komunis di Indonesia dengan garis keras Komintern yang dipimpin Uni Sovyet.
Perbedaan sikap politik dalam menghadapi negara nekolim (neo kolonilaisme imperialisme) Belanda dan Amerika Serikat itu yang membuat Musso dan Amir Sjarifuddin berhadapan dengan pemerintahan Soekarno-Hatta.
Pertemuan yang diwarnai pelukan dan air mata bahagia di Istana Presiden Yogyakarta pada 13 Agustus 1948 itu, tak ada artinya lagi. Musso menyerang pemerintahan Soekarno. Ia berpidato tentang quisling-quisling dan penjual-penjual romusha Soekarno-Hatta.
Soekarno membalas dengan agitasi politik yang memberikan pilihan kepada rakyat: Musso-Amir Sjarifuddin atau Soekarno-Hatta. Di saat sama pada 17 Agustus 1948, pemerintah melepaskan para tawanan politik sayap kiri.
Mereka adalah Tan Malaka, Soebardjo, Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Abi Kusno dan dr Buntaran. Secara politik mereka berseberangan dengan Musso dan Amir Sjariffuddin beserta kekuatan PKI/FDRnya.
Didahului aksi penculikan oleh pasukan tidak dikenal bertanda tengkorak di Solo, peperangan fisik meluas hingga ke Madiun. Sesuai catatan Gadis Rasjid dalam media Siasat, sejak 16 September 1948, desa-desa sekitar Madiun telah diambil alih oleh FDR/PKI.
“Tanah bengkok dihapuskan dan lurah-lurah digantikan dengan lurah yang pro FDR”.
Pagi hari 19 September 1948, pemerintah RI di Madiun berhasil ditumbangkan. Dalam catatan Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan menyebut, setelah itu datang petugas-petugas yang menamakan diri Komite Fron Nasional ke rumah-rumah penduduk.
Mereka meminta penduduk agar mau menjadi anggota Fron Nasional. Dengan tumbangnya pemerintah Republik Indonesia di Madiun, FDR mencoba membentuk pemerintahan baru atas dasar ide Musso tentang Fron Nasional.
Semua tentara dan polisi yang bersetia pada Republik Indonesia dilucuti. Jabatan Gubernur Militer dipegang Sumarsono, pimpinan BKPRI. Pada saat pemerintahan Fron Nasional diproklamirkan, para pimpinan FDR/PKI, yakni Musso, Amir Sjarifuddin, dan Setiadjid sedang tidak berada di Madiun. Mereka sedang tour di daerah-daerah Indonesia yang dekat dengan demarkasi. Begitu juga dengan pimpinan CC PKI yang lain, sedang rapat di Yogyakarta.
Saat tiba di Madiun, Musso mendapati pemerintah Fron Nasional sudah terbentuk. Ia harus menghadapi sikap tegas Pemerintah Republik Indonesia. Pada 19 September 1948 malam, Bung Karno berpidato meminta rakyat bangkit membantu pemerintah menumpas pemberontakan Madiun.
Pidato Bung Karno dikuatkan dengan pidato Sultan Hamengkubuwono IX yang memiliki pengaruh luas di masyarakat Jawa. Pemimpin-pemimpin FDR/PKI pun ditangkapi. “Perintah operasi untuk merebut kembali Madiun dikeluarkan dan segera dijalankan”.
Dalam waktu tidak lama, gerakan Musso dan Amir Sjarifuddin dengan gagasan negara Sovietnya berhasil ditumbangkan. Amir Sjarifuddin ditangkap dan dieksekusi mati. Musso yang berhasil kabur terlihat pada 31 Oktober 1948 di Desa Balong.
Pelarian Musso berakhir di Desa Semanding, Kecamatan Sumoroto, Ponorogo, Jawa Timur. Di dalam kamar mandi yang menjadi tempat persembunyiannya, laki-laki kelahiran Kediri itu diberondong peluru TNI hingga meregang nyawa.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait