Blitar, iNewsBlitar - Dua tahun terakhir selalu ada korban jiwa dalam kasus bullying (perundungan) di lingkup pendidikan di bawah Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Blitar.
Bahkan pada tahun ini ada korban jiwa dalam kasus perundungan. Sementara pada tahun lalu ada satu korban jiwa.
Berdasarkan catatan UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Blitar Pada tahun lalu, ada korban jiwa di salah satu lembaga pendidikan formal di Kecamatan Wonodadi. Anak korban ini menjadi korban bullying (perundungan) hingga akhirnya meninggal dunia.
Sementara pada awal tahun ini, salah satu santri di pondok pesantren di Kecamatan Sutojayan juga menjadi korban bullying. Anak korban ini meninggal dunia dan anak pelaku sudah mendapatkan keputusan Pengadilan Negeri Blitar.
Pada pertengahan bulan lalu, seorang santri di lingkungan pondok pesantren di Kecamatan Ponggok kembali menjadi korban bullying. Mirisnya pelaku justru ustadz pondok pesantren.
Kasus ini saat ini sudah ditangi oleh pihak Satreskrim Polres Blitar Kota. Penyidik juga telah meningkatkan status kasus ini dari penyelidikan ke penyidikan.
"Ini harus ada perubahan dalam sistem pendidikan di bawah naungan Kemenag," ungkap Kepala UPT PPA Kabupaten Blitar, Yulis Hastuti.
Ia berharap kejadian serupa tidak terulang kembali. Apalagi para siswa dan santri ini bertujuan menuntut ilmu, namun justru menjadi korban perundungan hingga akhirnya meninggal dunia.
Sementara itu, Plt Kasi Pendidikan Madrasah Kemenag Kabupaten Blitar, Syaikhul Munib mengatakan, pihaknya sudah memberikan rekomendasi ke Kemenag Pusat terkait kasus ini.
Apalagi saat ini, pondok ini belum mengantongi izin dan masih dalam tahap pengajuan. Pihak Kemenag Kabupaten Blitar sudah menuliskan kronologi peristiwa meninggalnya santri ini.
"Belum memiliki izin, saat ini masih dalam proses," ungkap Plt Kepala Seksi Pendidikan Madrasah, Kemenag Kabupaten Blitar, Syaikhul Munib, Selasa (01/09/2024).
Syaikhul Munib menjelaskan, faktor yang paling besar mempengaruhi adanya bullying karena ada senioritas. Meski demikian, ia menampik adanya praktik feodalisme dalam lingkungan pendidikan di bawah naungan Kemenag.
"Kalau santri cium tangan pada kiai dan ustadz itu bentuk tawadhu kepada gurunya, bukan feodalisme," tegasnya.
Editor : Robby Ridwan