BLITAR, iNewsBlitar - Usulan digelarnya pansus hak angket dan hak interpelasi untuk mengadili Bupati Blitar Rini Syarifah atau Mak Rini terkait sewa rumah dinas wabup dan TP2ID, sudah resmi diterima pimpinan DPRD.
Menurut Ketua DPRD Kabupaten Blitar Suwito, polemik sewa rumdin yang memakai rumah pribadi Bupati Mak Rini diakui telah menarik perhatian publik dan sekaligus mengejutkan.
Terutama ketika Mak Rini dan Wabup Rahmat Santoso atau Makde Rahmat melontarkan keterangan yang bertolak belakang satu sama lain. Mak Rini mengaku sewa rumdin itu sudah sesuai kesepakatan bersama.
Sementara Makde Rahmat menegaskan tidak ada kesepakatan apapun soal itu. Pimpinan dewan mengibaratkan Mak Rini dan Makde Rahmat tengah berbalas pantun, di mana untuk diperoleh kejelasan, keduanya harus dipanggil untuk dikonfrontir.
“Ini menarik. Keduanya (Bupati dan wakil bupati) dihadirkan (dikonfrontir), sebenarnya apa yang terjadi,” ujar Ketua DPRD Kabupaten Blitar Suwito kepada wartawan Selasa kemarin (31/10/2023).
Sewa rumdin wabup Blitar dibiayai dana APBD 2021 dan 2022 sebesar Rp 490 juta. Terungkap rumdin yang dipakai untuk wabup Blitar itu ternyata memakai rumah pribadi Bupati Mak Rini. Mak Rini dinilai berbisnis dengan pemerintahanya sendiri.
Yang membuat heran Suwito, kenapa saat rumah pribadinya ditunjuk untuk rumdin wabup, Mak Rini tidak berusaha menolaknya. Pimpinan dewan juga bertanya-tanya, sebetulnya siapa inisiator atau otak dibalik proses sewa rumdin.
Kenapa sebagai orang nomor satu di Kabupaten Blitar, Mak Rini seolah tidak kuasa menolaknya. Tidak usah berbicara aturan. Bila memahami etika, Mak Rini mestinya melakukan penolakan.
“Ini (memakai rumah pribadi Bupati Mak Rini) inisiatif siapa sih? Apa yang sebenarnya terjadi?,” tanya Suwito.
Yang juga menjadi pertanyaan pimpinan dewan berikutnya, kata Suwito betulkah Wabup Blitar Makde Rahmat juga tidak mengetahui proses sewa rumdin. Hal itu mengingat yang bersangkutan sebagai penggunanya.
“Masak wakil bupati ndak tahu?, usernya kan wakil bupati. Masak mencarikan rumah (rumdin) bupati juga tidak ngomong dulu?,” tambah Suwito.
Lebih jauh Suwito bertanya-tanya begitukah APBD Kabupaten Blitar selama ini dikelola. Apakah semua peristiwa yang terjadi karena dipengaruhi kekuasaan yang tidak terlihat.
“Dalam skup lebih besar apa begitu pengelolaan APBD kita?,” tanyanya. Pansus hak angket diakui Suwito akan bisa mengungkap akar persoalan yang terjadi. Dengan pansus hak angket, legislatif bisa memanggil bupati dan wakil bupati.
Usulan pansus hak angket yang ditandatangani 26 anggota Fraksi PAN dan Fraksi PDIP sudah memenuhi syarat. Hanya saja untuk berlanjut ke paripurna, pimpinan masih akan melakukan kajian.
“Kita meminta waktu untuk mengkaji lebih dalam agar tidak ada tafsir yang salah,” pungkasnya.
Anggota DPRD Kabupaten Blitar dari Fraksi PDIP Hendik Budi Yuantoro mengatakan pengajuan digelarnya pansus hak angket dan hak interpelasi merupakan salah satu bentuk legislatif menerapkan fungsi pengawasan.
Dengan masuknya draft pansus hak angket dan hak interpelasi ke pimpinan, anggota dewan telah melaksanakan tugasnya. “Ibaratnya, bola panas telah bergeser ke pimpinan. Kita tinggal menanti langkah selanjutnya pimpinan,” ujarnya.
Editor : Solichan Arif