Julia Santoso Menang Praperadilan Tapi Tetap Ditahan, Ketum DPP IPHI: Abuse of Power

BLITAR, iNewsBlitar – Penanganan kasus Julia Santoso akhir-akhir ini tengah menjadi sorotan praktisi hukum dan masyarakat luas.
Mencuatnya kasus Julia Santoso membuat para praktisi hukum maupun masyarakat umum harus kembali mengelus dada.
Demikian diungkapkan Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Rahmat Santoso menanggapi Putusan Praperadilan No.132/Pid.Pra/2024/PN.Jkt.Sel tertanggal 21/1/2025.
Hakim bukan hanya menyatakan membebaskan Julia Santoso dari tahanan, namun juga membatalkan Penetapan Tersangka dan menyatakan Tidak Sah Surat Perintah Penahanan Julia Santoso.
Tapi apa yang terjadi? Perempuan pengusaha tambang bernasib malang itu masih mendekam dalam jeruji penjara. Padahal keputusan hakim praperadilan sudah jelas: Julia Santoso harus dibebaskan.
Sedikit ke belakang. Julia Santoso diketahui ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan penipuan, penggelapan dan TPPU di PT Anugrah Sukses Mining (ASM) oleh Penyidik Dittipidter Bareskrim Polri.
“Sebagai warga negara yang taat hukum, Julia Santoso yang juga ahli waris PT ASM, memilih berjuang mencari keadilan lewat jalur praperadilan,” kata Rahmat Santoso dalam keterangan tertulisnya Sabtu (25/1/2025).
Perjuangan Julia Santoso dalam mencari keadilan membuahkan hasil. Gugatannya dikabulkan hakim.
Namun yang jadi miris, Bareskrim Polri selaku institusi penegak hukum justru memberi contoh buruk.
Keputusan hakim agar membebaskan Julia Santoso dari tahanan seakan tak digubris.
Hingga menginjak hari ketiga sejak putusan hakim dibacakan, Julia Santoso diketahui masih mendekam dalam penjara.
Pertanyaan besarnya, jika penegak hukum sudah tidak taat putusan hukum, kemana lagi masyarakat harus mencari keadilan?.
Jelas, apa yang sudah dipertontonkan Bareskrim Polri adalah tindakan Abuse of Power, bertindak semena-mena yang melebihi kekuasaan.
Sementara jika kembali menengok ke belakang, putusan hakim praperadilan itu bersifat inkrah alias final dan wajib dijalankan.
Masih lekat di ingatan, perkara Menkopolhukam Budi Gunawan, Wamenkum Edi Hiariej serta mantan Ketua Golkar Setyo Novanto, pernah juga menempuh jalur praperadilan.
Mereka, kata Rahmat juga menang, sama seperti Julia Santoso. Apakah status mereka masih tersangka seperti Julia Santoso?.
Aroma Rekayasa Menguat
Abuse of Power yang diperlihatkan institusi Bareskrim Polri sebagai penegak hukum, semakin menguatkan dugaan adanya aroma rekayasa pada perkara Julia Santoso.
Latar belakang kasus ini berawal dari Direktur PT HR dan PT ASM, Soter Sabar Gunawan Harefa (SSGH), yang melaporkan Julia Santoso ke Bareskrim Polri atas tuduhan tindak pidana penggelapan dan pencucian uang.
Sebelumnya SSGH berada di pihak Julia Santoso dalam menghadapi perselisihan dengan perusahaan asing, yaitu China Tianjin International Economic & Technical Cooperation Group Corporation (CTIE) dan Tianjin Jinshengda Industrial Co. Ltd (TJI Co. Ltd).
“Namun, situasi berubah setelah SSGH dilaporkan oleh TJI Co. Ltd ke Bareskrim Polri dan menjadi tersangka,” terang Rahmat.
Setelah penahanannya ditangguhkan dan kasusnya dihentikan dengan alasan restorative justice, SSGH justru bersekutu dengan TJI Co. Ltd dan melaporkan balik Ny. Julia Santoso.
Kasus ini diketahui bermula dari kerja sama bisnis pada 15 November 2013 antara PT HR dan PT ASM dengan CTIE dan TJI Co. Ltd.
Kerja sama yang terkait urusan usaha tambang dan penjualan bijih nikel. Perselisihan muncul akibat dugaan wanprestasi, dan perjanjian menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dilakukan melalui arbitrase di Singapura dengan menggunakan hukum Indonesia.
Namun, pada 1 November 2021, CTIE dan TJI Co. Ltd melaporkan SSGH ke Bareskrim Polri atas tuduhan tindak pidana penipuan, penggelapan, dan pencucian uang.
Kasus tersebut berakhir dengan penghentian penyidikan (SP3) berdasarkan mekanisme restorative justice, setelah SSGH menandatangani perjanjian perdamaian dengan TJI Co. Ltd.
“Perjanjian perdamaian tersebut cacat hukum lantaran tidak melibatkan pemegang saham lainnya, termasuk Julia Santoso, yang memiliki 99% saham PT HR,” jelasnya.
Selain itu, perjanjian tersebut juga tidak melibatkan CTIE, salah satu pihak dalam perjanjian kerja sama awal pada 2013.
Terlebih perjanjian perdamaian itu dibuat saat SSGH masih berstatus tersangka dan dikemas melalui mekanisme Restorative Justice.
Sehingga dipastikan SSGH selaku wakil PT HR dan PT ASM berada dalam keadaan tidak bebas bahkan masih tersandera oleh status tersangkanya.
Pemberian SP3 kepada SSGH pada 6 November 2023, dengan alasan restorative justice juga jelas tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh KUHAP, terutama dalam kasus tindak pidana biasa.
KUHAP secara limitatif menetapkan alasan SP3, yakni hanya karena tidak cukup bukti, peristiwa tersebut bukan tindak pidana dan demi hukum.
“Alasan SP3 demi hukum, juga diatur secara limitatif, yakni jika nebis in idem, tersangka meninggal dunia dan kadaluarsa. Sementara ini, SSGH masih hidup,” terang Rahmat.
Tidak salah jika rekan saya Petrus sebagai kuasa hukum Julia Santoso, kata Rahmat menyebut penyidikan dalam perkara SSHG berdasarkan Laporan Polisi No. LP/B/0664/XI/2021, tanggal 1/11/2021, berjalan tidak profesional, amburadul dan melanggar hukum, karena hanya memenuhi pesanan pihak ketiga.
Rekayasa yang dibuat sejak awal itu diperparah dengan sikap Bareskrim Polri yang tidak mengubris putusan praperadilan dengan tetap menahan Julia Santoso.
Apa yang terjadi ini menjadi preseden buruk, tidak hanya pada sistem hukum Indonesia, tapi juga mengancam dunia investasi.
“Tidak adanya kepastian hukum dipastikan akan membuat investor berpikir beribu kali untuk menanam uangnya di negeri yang kita cintai ini,“ pungkas Rahmat.
Editor : Solichan Arif