JAKARTA, iNewsBlitar – Sosialisasi literasi digital di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta mengusung tema “Membangun Karakter Generasi Muda Indonesia Melalui Peningkatan Budaya Literasi Digital”.
Peserta yang terdiri dari pengurus pesantren, ustadz, ustadzah, alumni santri, santri dan santriwati kembali diingatkan bahwa dunia internet atau digital memiliki dua sisi yang bertolak belakang, yakni sisi positif dan negatif.
Dunia digital semacam pisau bermata dua, di mana para santri dalam bermedia sosial (medsos) dihimbau untuk lebih berhati-hati.
“Jadi jika tidak berhati-hati, bisa jadi jarimu adalah harimaumu. Sebaiknya sabar sebelum sebar, saring sebelum posting, karena semuanya bisa membahayakan,” pesan Rizki Ameliah selaku Koordinator Literasi Digital Kemkominfo RI.
Diingatkan bahwa tidak sedikit pelaku media sosial kesandung masalah dikarenakan kurang paham. Kemudian banyak juga yang terjerat hukum karena tabiatnya di media sosial kurang bijak. “Di situlah pemahaman terhadap literasi digital menjadi penting adanya”.
Dalam paparannya Moh Abdul Aziz Nawawi menjelaskan bahwa literasi digital bukan sesuatu yang baru. Sebab UNESCO sejak 1958 sudah mendeskripsikannya secara gamblang, yakni ketrampilan individu dalam mengaplikasikan ketrampilan fungsional pada perangkat digital.
Dalam konteks pesantren, Abdul Aziz yang merupakan Founder dan Ketua Umum Santri Mendunia mengharap santri memahami literasi digital. Santri juga dimotivasi agar tidak mudah putus asa hanya disebabkan keterbatasan.
“Karena kita dibatasi bukan oleh kemampuan kita, melainkan oleh impian kita. Tugas kita adalah membuktikannya,” tuturnya.
Pesona lain, kata Abdul Azis adalah banyaknya sajian data dengan berbagai kemasan menarik, tautan informasi, mudah diakses, tersedia setiap saat serta tak ada batasan ruang dan waktu.
“Namun jangan lupa, dibalik yang memesona ada sisi negatifnya”. Salah satu sisi negatif itu adalah maraknya praktik penipuan melalui internet, telepon dan sms.
Dunia digital juga memudahkan akses video pornografi, plagiasi atau penjiplakan karya, pembobolan rekening bank atau kartu kredit (hacker), hidup semakin boros karena mudah belanja secara online, judi online, dan terjadinya kasus kekerasan anak yang ironisnya setelah meniru dari internet.
“Sisi negatif lainnya adalah mengurangi kreatifitas dan anak menjadi malas karena mudahnya mengakses informasi,” ungkapnya.
Sosialisasi literasi digital berlangsung meriah. Para peserta yang berjumlah 1.300-an orang itu diberi kesempatan bertanya jawab langsung dengan para pembicara.
Abdul Azis menambahkan, bahwa tujuan berliterasi digital adalah upaya membangun kesadaran untuk membantu individu semakin selektif mengakses media baru.
Kemudian juga untuk menghidupkan kemampuan menganalisis, kritis terhadap isi, mampu mengevaluasi, memiliki kesanggupan merespon, dan mampu mengoptimalkan pemanfaatan informasi yang diperoleh dari media baru untuk hal produktif bagi kehidupan.
Untuk semua itu ada empat pilar yang harus dimiliki para santri, yakni digital skills, digital culture, digital ethics dan digital safety. “Santri juga harus membangun kesadaran untuk selektif dalam bermedia sosial, juga berfikir kritis terhadap informasi yang masuk, dipilah dan dipilih terlebih dahulu,” ungkapnya.
Sosialisasi literasi digital menghadirkan Romzi Ahmad selaku Asisten Staf Khusus Presiden RI sebagai pembicara. Romzi berharap santri tidak tertinggal dalam ruang tekhnologi dan survive di dalamnya.
Ia mengakronimkan “santri” dengan menyebut “S” sebagai upaya menyeleksi konten digital, yakni mana yang boleh dibuka dan tidak. Yang kedua adalah “A” atau adaptif.
“Yakni bisa beradaptasi, di mana berarti bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan tekhnologi”. Aksara berikutnya adalah “N” atau nekat atau berani.
Sebagai bagian dari pengguna teknologi juga sebagai penerus bangsa, seorang santri harus bisa beradaptasi. Bisa beradaptasi berarti bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan teknologi.
Kemudian nekat atau berani di mana anak muda harus memiliki risk taking behaviour yang tinggi, yakni keberanian mengambil risiko. Selanjutnya “Teguh”. Sikap teguh harus dimiliki santri, dimana saat dia jatuh maka dia akan bangun lagi.
Kemudian religius, yakni tetap memegang ajaran-ajaran keagamaan meskipun ada di ruang digital agar tidak kehilangan identitasnya sebagai santri, sebagai penuntut ilmu yang taat terhadap syariat.
“Yang terakhir adalah inspiratif, seorang santri harus berani menginspirasi orang lain,” terangnya.
Editor : Solichan Arif