LUMAJANG,iNewsBlitar – Kerajaan Majapahit seiring berkembangnya Islam telah mengalami kemunduran sosial politik. Terutama pasca meletusnya Perang Paregreg (1404-1406).
Perang saudara yang membuat kepala Bhre Wirabumi terpenggal. Namun di tengah itu, sekte keyakinan yang dipengaruhi sinkretisasi Syiwa-Buddha justru meluas di masyarakat.
Salah satunya sekte Sakhta dan Bhairawa Tantra yang memiliki ajaran Yoga Tantra. Ajaran Yoga Tantra melahirkan falsafah Lingga Yoni yang disimbolkan sebagai alat kelamin laki-laki dan perempuan.
Bentuk dua kelamin yang ditafsirkan sebagai kesuburan atau penciptaan itu dimanifestasikan secara vulgar ke dalam arca atau prasasti. Jelang keruntuhan Kerajaan Majapahit, Yoga Tantra berkembang luas di kawasan pedalaman dan pesisir.
“Salah satu upacara Yoga Tantra yang lazim dilakukan masyarakat dewasa itu adalah upacara Pancamakara atau Ma lima (Molimo),” demikian dikutip dari buku Atlas Wali Songo (2016).
Berdasarkan catatan seorang muslim Cina yang mengikuti perjalanan ketujuh Cheng Ho ke Jawa (1431-1433 M) menyebut adanya tiga golongan penduduk di Jawa.
Golongan pertama adalah penduduk Islam dari barat yang telah menjadi penduduk setempat. Mereka memiliki tradisi berpakaian secara bersih dan pantas.
Golongan kedua adalah orang-orang Cina yang kabur dari negerinya dan menetap di Jawa. Sebagian besar dari mereka hijrah sebagai muslim. Mereka juga memperlihatkan cara berpakaian yang baik, termasuk makanan yang dikonsumsi.
“Sedangkan golongan ketiga adalah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tidak berpakaian. Rambut mereka tidak disisir, kaki telanjang dan mereka sangat memuja roh”.
Dalam upacara Pancamakara atau Ma lima atau 5 M, para penganut Yoga Tantra mengenal lima unsur ritual, yakni Mamsha (daging), Matsya (ikan), Madya (minuman keras), Maithuna (bersetubuh), dan Mudhra (bersemadhi).
Laki-laki dan perempuan melangsungkan ritual dengan membentuk lingkaran yang di tengahnya tersedia makanan dengan lauk pauk daging, ikan dan minuman keras.
Semua laki-laki dan perempuan itu dalam keadaan telanjang. Ritual dimulai dengan ramai-ramai menyantap makanan sekaligus menenggak minuman keras hingga mabuk.
Kemudian setelah itu mereka bersetubuh bareng-bareng atau semacam orgy seks. “Setelah semua nafsu perut dan nafsu syahwat terlampiaskan, mereka kemudian melakukan semacam semadhi (Mudra)”.
Dalam Het Buddhisme op Java en Sumatra in Zijn Laatste Boei Periode disebutkan bahwa para penganut ajaran Ma lima yakin bahwa selama upacara cakra tersebut dilakukan, lingkaran yang dibaktikan itu merupakan tanah suci.
Ada yang menyebut lingkaran itu Ksetra, yakni tempat upacara dengan korban manusia yang di kalangan masyarakat Jawa dikenal sebagai upacara mistis meminta wadal.
“Karena indra dan semua Yang Langgeng hadir pada tempat itu”. Di wilayah Kediri Jawa Timur yang merupakan kawasan pedalaman, ajaran Yoga Tantra atau Bhairawa Tantra memiliki banyak pengikut.
Namun di sisi lain, dalam perjalanannya nilai ajaran Yoga Tantra atau Tantra Bhairawa telah memudar. Di saat bersamaan, penolakan terhadap Ma lima menjadi kampanye Wali Songo dalam menyebarkan Islam, yakni terutama di Jawa.
“Ajaran bhairawa menjadi sekedar pemujaan terhadap bhairawa bhairawi haus darah dalam bentuk sengguhu-sengguhu palsu,” tulis J.L Moens dalam Het Buddhisme op Java en Sumatra in Zijn Laatste Boei Periode.
Editor : Solichan Arif