BLITAR, iNewsBlitar – Fenomena pemasangan aksesoris kelereng kecil atau manik-manik terbuat dari plastik pada organ vital (penis) sejumlah narapidana (napi) laki-laki di Indonesia, ternyata bukan tradisi baru.
Pemasangan bola-bola plastik itu diketahui bertujuan untuk memuaskan kebutuhan seks pasangan, yakni istri, pacar atau simpanan, setelah sang napi menghirup udara bebas.
“Memang tidak semua napi mau (pemasangan kelereng plastik di organ vital). Tapi saat napi hendak bebas akan ada napi lain yang menawari,” tutur mantan napi Lapas Jawa Timur yang enggan disebut namanya kepada MPI.
Pemujaan terhadap seksualitas tersebut rupanya sudah menjadi tradisi sejak masa raja-raja di Nusantara.
Jejak pemujaan seksualitas beserta maknanya bisa ditemukan dalam catatan kitab. Sebut saja Serat Centhini dan Wirid Hidayat Jati yang begitu populer di Jawa. Seks mendapatkan pemaknaan makna dan peristilahan, seperti asmaragama, asmaratantra, asmaranala, asmaradana serta katuranggan.
Begitu juga di Sulawesi Selatan. Jejak pemujaan seksualitas ditemukan dalam naskah klasik atau Lontara Bugis Assikalaibineng.
Dan bukan hanya dalam teks (catatan kitab). Pemujaan seksualitas juga ditemukan dalam bukti artefak pada relief-relief candi. Di Candi Sukuh dan Cetho Karanganyar Jawa Tengah, sejumlah relief memperlihatkan lambang-lambang lingga yoni yang mengandung unsur seksualitas.
Dalam artikel Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial (1971), sejarawan Ong Hok Ham menyebut seksualitas pada masa lalu tidak dipandang sebagai masalah moralitas.
“Melainkan kebutuhan manusia sehari-hari yang harus dinikmati setinggi-tingginya dan dihormati,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Demi pemujaan seksualitas, kaum lelaki di masa silam rela membedah organ vitalnya, yakni dengan tujuan memuaskan pasangan wanitanya. Tradisi itu dicurigai terjadi di wilayah Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Nusantara. Kitab Kamasutra India juga menyebut hal itu.
Antonio Pigafetta (1491-1534) seorang penjelajah Italia menemukan fenomena permak alat kelamin laki-laki terjadi di Kalimantan dan Filipina. Dalam catatan tahun 1524, Pigafetta menyebut alat kelamin lelaki dipasang sejenis mur atau peniti logam dari timah atau emas.
Logam tipis sebesar bulu angsa dan menyerupai taji itu ditembuskan di dekat kepala organ vital. Proses pembedahan dianggap menyiksa sekaligus menyakitkan.
“Jika para pria tidak mau melakukannya maka para perempuan tidak mau berhubungan badan dengan mereka”.
Di lain tempat, pembedahan dilakukan untuk memasukkan bola-bola atau lonceng-lonceng kecil pada kulit lepas di bawah kepala alat kelamin (penis). Penjelajah China Ma Huan (1380-1460) dalam catatan 1433 menemukan fenomena bola-bola penis bergemerincing itu di Siam.
“Butir-butir itu tampak seperti serumpun anggur. Jika lelaki itu seorang raja atau seorang terkemuka, mereka menggunakan emas yang bagian tengahnya berlubang. Di dalam emas berlubang itu dimasukkan semacam kerikil kecil. Dari situ keluar bunyi dentingan yang dianggap merdu,” demikian tulisnya.
Pemasangan “bola-bola penis” juga ditemukan di Makassar. Hanya saja yang dipakai adalah daging atau tulang ikan keras. Sejumlah suku Toraja di pedalaman Sulawesi masih mengenakan aksesoris seksual itu hingga akhir abad 19.
Antonio Pigafetta, penjelajah Italia pada tahun 1524 juga mencatat, sebelum ajaran Islam masuk ke Jawa, pemakaian lonceng kecil ala Siam juga ditemukan di Jawa.
“Bukti fisik praktik tersebut adalah patung lingga di Candi Sukuh dan Cetho dari abad ke-15 yang dihiasi tiga atau empat butir bola-bola kecil tersebut,” tulisnya.
Pada era kekinian, “bola-bola penis”yang dipasang oleh sejumlah napi di Lapas berasal dari plastik gagang sikat gigi. Plastik gagang sikat itu digosok terus menerus hingga berbentuk bulatan.
“Banyak yang tidak tertarik karena proses pembedahan yang terlihat ngeri dan berpotensi menimbulkan luka infeksi,” kata mantan penghuni lapas di Jawa Timur.
Editor : Solichan Arif