BLITAR, iNewsBlitar - Danang Sutawijaya sebelum menjadi Raja Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati, terkenal memiliki kebiasaan tirakat. Sutawijaya kerap berada di tempat-tempat sunyi, untuk menjalani laku semedi.
Di hutan yang bernama Alas Mentaok yang kelak menjadi Kerajaan Mataram Islam, Sutawijaya bertempat tinggal. Ia hidup bersama Ki Ageng Pemanahan, ayahnya dan Ki Juru Mertani, pamannya.
Alas Mentaok merupakan hadiah Sultan Pajang Hadiwijaya atau Jaka Tingkir atas jasa Sutawijaya yang berhasil membunuh Adipati Jipang Aryo Penangsang. Di saat yang sama Jaka Tingkir juga memberi hadiah wilayah Kademangan Pati kepada Ki Panjawi, adik Ki Ageng Pemanahan.
Di tangan Sutawijaya, Alas Mentaok yang sebelumnya berupa kawasan hutan berubah menjadi permukiman warga. Dari semula wilayah pedesaan menjelma menjadi Kademangan Mentaok atau Kademangan Mataram yang secara pemerintahan di bawah kekuasaan Kerajaan Pajang.
Suatu ketika Sutawijaya kena marah Ki Ageng Pemanahan yang telah ditegur Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam buku “Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak” disebutkan, persoalan itu dipicu ulah Sutawijaya yang membangun benteng yang mengelilingi Kademangan Mataram.
Sutawijaya juga menanam beringin kurung di alun-alun dan tiga kali tidak hadir dalam acara Perapatan Agung yang digelar Sultan Hadiwijaya. Apa yang dilakukan Danang Sutawijaya ditafsirkan sebagai upaya pembangkangan terhadap Pajang.
Usai ditegur Sultan Hadiwijaya, Ki Ageng Pemanahan langsung datang ke Kademangan Mataram untuk menemui Danang Sutawijaya. Ki Ageng Pemanahan sontak memarahi putra lelakinya.
“Apa maksudmu membangun benteng tinggi yang mengitari kademangan?, apa maksudmu memelihara beringin kurung?, apa maksudmu memperkuat prajuritmu? Lekas jelaskan!,” bentak Ki Ageng Pemanahan seperti ditulis Krishna Mihardja dalam buku “Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak”.
Melihat murka ayahnya, di pendopo Kademangan Mataram tersebut, Sutawijaya kaget dan seketika terdiam. Sejurus kemudian ia baru berani membuka suara. Sutawijaya beralasan, apa yang dilakukan semata untuk mendapatkan keindahan dan ketentraman di Kademangan Mataram.
“Tidakkah kau tahu bahwa mendirikan benteng tinggi mengitari sebuah wilayah dan memelihara beringin kurung di alun-alun hanya diperbolehkan bagi seorang raja?,” sergah Ki Ageng Pemanahan.
“Itulah sebabnya aku dipanggil ke kraton Pajang. Itu gara-gara ulahmu yang ingin menyaingi kraton Pajang. Mengerti!,” tambahnya.
Danang Sutawijaya kembali terdiam. Dalam hati sebenarnya ia ingin membayangkan menjadi raja di Kademangan Mataram atau Demang yang tampak seperti raja.
Dalam situasi panas itu, datang Ki Juru Mertani dan berusaha menengahi. Laki-laki yang terkenal sebagai ahli strategi itu mengatakan dirinyalah yang menyuruh Danang Sutawijaya membangun Kademangan Mataram semegah mungkin.
“Jika ada orang yang merasa tersaingi, orang itu adalah orang yang terhenti daya ciptanya,” kata Ki Juru Mertani menjelaskan alasannya. “Agar Pajang tidak tersaingi, seharusnya Pajang membangun kraton lebih megah lagi. Itu baru persaingan sehat namanya,” imbuhnya.
Ki Ageng Pemanahan giliran yang terdiam. Ia kebingungan menentukan sikap dan akhirnya menyatakan tidak akan melarang Danang Sutawijaya. Namun sebelum meninggalkan pendopo kademangan, Ki Ageng Pemanahan menegaskan, meski tidak melarang dirinya juga tidak merestui.
Ki Juru Mertani tidak menanggapi ucapan Ki Ageng Pemanahan yang langsung bergegas pergi. Ia memilih menenangkan hati Danang Sutawijaya.
“Jangan murung Danang (Danan Sutawijaya), seperti itulah sikap ayahmu sejak muda. Dia adalah hamba raja yang taat dan teguh imannya,” kata Ki Juru Mertani. “Tetapi orang seperti ayahmu selamanya tidak akan pernah menjadi pemimpin yang baik. Dia akan menjadi hamba raja yang baik seterusnya”.
Danang Sutawijaya menyatakan tidak akan mengikuti jejak sikap ayahnya. Sutawijaya menyatakan diri ingin menjadi pemimpin. “Teruskan sikapmu. Teruskan pembangunan bumi Mataram ini menjadi sebuah kerajaan di waktu nanti,” pesan Ki Juru Mertani.
Danang Sutawijaya kemudian memutuskan untuk bertapa. Ia pergi ke Kali Opak dan bertapa di aliran airnya yang deras. Sutawijaya mengikat dirinya pada potongan kayu jati yang bernama Tunggul Wulung.
Kayu itu kemudian dibiarkan hanyut terbawa arus air. “Bertapa dengan cara seperti ini sering disebut sebagai tapa ngeli, yang artinya bertapa mengikuti arus sungai,” tulis Krishna Mihardja dalam “Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak”.
Tubuh Sutawijaya yang berada di atas kayu Tunggul Wulung terseret arus air hingga ke Laut Selatan. Di atas kayu yang diombang-ambingkan arus sungai dan ombak laut selatan, Sutawijaya tetap bertahan.
Tiba-tiba penglihatannya melihat sosok perempuan berbaju kebaya hijau dan berkain warna senada. Sutawijaya takjub. Ia melihat sosok wanita cantik itu berdiri di atas permukaan air.
“Siapakah Anda yang sakti ini dan apa perlunya mendekati saya,” tanya Danang Sutawijaya.
Perempuan cantik itu tidak segera menjawab. Ia hanya tertawa lirih. Dalam kisah “Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak” digambarkan, di sela bibirnya yang merah, sederet giginya tampak putih bersinar
Angin yang bertiup kencang tiba-tiba menyingkapkan kain yang dipakainya. Terlihat sekilas betis yang bersinar indah. Danang Sutawijaya terhenyak. Ia kembali terhenyak untuk yang kedua kali saat wanita cantik itu mengatakan dirinya adalah Ratu Kidul, penguasa Laut Selatan.
Danang Sutawijaya seketika terdiam. Saat ditanya penguasa laut selatan, apa tujuannya bersemedi hingga tiba di laut selatan, Sutawijaya mengungkapkan cita-citanya.
Sutawijaya ingin Mataram tidak hanya sekedar menjadi kademangan. Tapi menjadi sebuah wilayah yang lebih besar dan berwibawa, yakni kerajaan. Ratu Kidul menyatakan bersedia membantu. Ia berjanji akan membantu Sutawijaya mewujudkan cita-citanya.
Namun penguasa Laut Selatan tersebut meminta persyaratan, yakni mulai Sutawijaya hingga anak dan cucunya kelak, bersedia menjadikan Ratu Kidul sebagai istri. Artinya siapapun Raja Mataram nanti adalah suami penguasa laut selatan.
Dalam kisah “Di Antara Kali Progo Dan Kali Opak” Sutawijaya menganggap syarat tersebut bukan syarat, tapi sebuah anugerah. Karenannya tanpa pikir panjang Sutawjiaya langsung menyatakan kesanggupannya.
“Dengan senang hati, Ratu,” kata Sutawijaya. Ratu Kidul itu pun kemudian menghilang. Sutawijaya kemudian mentas dari air, dan melanjutkan semedinya di Lipura, yakni bagian hutan Mentaok paling selatan, tepatnya di sebelah barat Kali Opak.
Di atas batu yang permukaanya rata, Sutawijaya tertidur. Ki Juru Mertani yang tengah mencari keponakannya melihat cahaya biru dari langit yang jatuh ke tubuh Sutawijaya.
Ki Juru Mertani menangkap isyarat Sutawijaya kelak menjadi seorang raja besar. Ia juga mendengar penuturan Sutawijaya yang sempat bertemu Ratu Laut Selatan. Untuk menyempurnakan laku tirakat, Ki Juru Mertani lantas meminta Sutawijaya melanjutkan semedinya di Gunung Merapi.
“Dengan bertapa di sana kau akan banyak belajar gelar perang, siasat perang dan semua yang berkaitan dengan peperangan kepada penguasa Gunung Merapi, Ki Sapujagad dan Ki Udanangga,” kata Ki Juru Mertani.
Cita-cita Danang Sutawijaya betul-betul terkabul. Dengan runtuhnya Kerajaan Pajang, pada tahun 1586 Sutawijaya mengangkat dirinya sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati.
Masa pemerintahan Panembahan Senopati di Kerajaan Mataram Islam berlangsung 15 tahun. Panembahan Senopati meninggal dunia pada tahun 1601. Salah satu keturunannya yang membawa Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaan adalah Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait