BLITAR, iNewsBlitar - Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) mengakibatkan Pemerintah kolonial Belanda mengalami kerugian finasial yang besar.
Dampak Perang Diponegoro bahkan sampai membangkrutkan kas keuangan Belanda. Kompeni Belanda walau memenangkan perang, mereka telah kehilangan pasukan yang tidak sedikit.
Ribuan tentara Belanda tewas, meskipun jumlah tewas di pihak Pangeran Diponegoro jauh lebih besar.
Dalam Perang Diponegoro yang dikenang sepanjang masa itu, terdapat sejumlah perempuan perkasa yang memiliki peran besar dalam pertempuran. Mereka adalah para perempuan yang tergabung dalam laskar Diponegoro yang bernama prajurit estri.
Perempuan Jawa yang sepintas lemah lembut itu, ternyata memiliki sepak terjang yang membuat pasukan kompeni Belanda ngeri, saat berhadapan di kancah pertempuran.
Berikut perempuan –perempuan perkasa yang ditakuti Belanda dalam Perang Diponegoro.
1.Raden Ayu Serang
Dikenal juga dengan nama Nyai Ageng Serang (1769-1855). Ia merupakan ibunda Pangeran Serang II, yang sekaligus keturunan dari Sunan Kalijogo. Nyai Ageng Serang merupakan istri Pangeran Serang I, seorang pejabat Serang, sebuah daerah terpencil di kawasan pantai utara yang berdekatan dengan Demak.
Pada awal Perang Jawa pecah (1825), laporan militer Belanda menyebut Nyai Ageng Serang memimpin pasukan berkekuatan 500 orang di kawasan Serang-Demak.
Nyai Ageng yang biasa bersemedi di gua-gua sunyi pantai selatan, dikenal memiliki ilmu kanuragan tinggi. Nyai Ageng Serang menyerah pada 21 Juni 1827, namun kompeni Belanda masih terus mengawasinya.
Paska Perang Diponegoro berakhir pada Maret 1830, Nyai Ageng diam-diam masih berhubungan erat dengan orang-orang di Demak. Ia membagi-bagikan rajah atau jimat yang dikhawatirkan Belanda akan membangkitkan kenangan lama.
Kompeni Belanda merasa lega setelah Nyai Ageng meninggal dunia pada usia 90 tahun.
2.Raden Ayu Yudokusumo
Adalah istri Bupati Yogya untuk wilayah Grobogan-Wirosari. Raden Ayu yang dikenal kompeni Belanda sebagai perempuan yang cerdas, memiliki sifat berani sekaligus keras kepala sejak lama.
Pada saat Inggris mencaplok (aneksasi) wilayah kekuasaan suaminya pada Juli 1812, Raden Ayu memperlihatkan sikap melawan.
Ia baru bersedia meninggalkan tempat setelah Kraton Yogyakarta mengukuhkan pengambialihan wilayah tersebut.
“Ia seorang perempuan yang punya kecerdasan tinggi, kemampuan besar dan siasat jitu,” tulis sejarawan Peter Carey dalam “Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (1785-1855).
Dalam Perang Diponegoro, Raden Ayu menjadi salah satu panglima kavaleri senior Diponegoro di Mancanegara Timur.
Ia bergabung dengan Raden Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi (sekarang Cepu-Bojonegoro) dalam perlawanan 28 November 1827- 9 Maret 1828.
Pada 17 September 1825, Raden Ayu Yudokusumo mengatur penyerangan masyarakat Tionghoa pro Belanda di wilayah Ngawi. Dalam perang yang berakhir dengan pembantaian itu, ia seketika mendapat sebutan sebagai pejuang yang garang.
“Seorang perempuan yang cerdas tapi sangat menakutkan,” tulis Louw dan De Klerck (1894-1909).
Pada Oktober 1828, Raden Ayu Yudokusumo menyerah kepada Belanda. Pada saat perstiwa penyerahan itu, ia bersama keluarga besarnya serta pengikutnya, mencukur gundul rambut di kepalanya.
Cukur gundul sebagai simbol kesetiaan kepada perang sabil melawan kafir Belanda dan orang Jawa “murtad” sekutu mereka.
Selain Nyai Ageng Serang dan Raden Ayu Yudokusumo, Belanda juga mencatat beberapa perempuan lain yang mengambil peran dalam Perang Diponegoro.
Di Semarang, istri pensiunan Bupati Kiai Adipati Suroadimenggolo IV adalah orang dibalik bergabungnya Raden Mas Sukur, putra bungsunya ke barisan laskar Diponegoro di Demak.
Belanda mengenal perempuan keturunan Arab tersebut sebagai perempuan yang sangat terdidik dan cerdas . Perempuan itu adalah kerabat pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman.
Kolonial Belanda juga mencatat, ibu panglima utama Diponegoro di Begelen Timur, Basah Joyosundargo juga sebagai perempuan yang berani dan menakutkan.
Di akhir perang Diponegoro di mana putra dan menantunya menyerah, perempuan tersebut menyatakan menolak dan terus melawan Belanda. Perempuan pejuang itu kemudian ditembak mati pasukan kompeni Belanda di kawasan Gunung Persodo, Begelen.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait