BLITAR, iNewsBlitar - Huru-hara perebutan kekuasaan di Pacitan Jawa Timur tercatat sebagai sejarah yang mencekam. Pada masa kolonial Belanda sejumlah massa pemberontak tiba-tiba menyerang pendopo Kabupaten Pacitan.
Peristiwa amuk massa yang mengerikan itu dipimpin Kiai Bagor, Irorono, yakni lurah Gedangan dan Lompong yang ditunjuk sebagai senopati. Massa juga melakukan pembakaran rumah warga. Bupati Pacitan Mas Tumenggung Jogonagoro ikut menjadi korban hingga menjemput ajal.
“Pada mulanya dia (Bupati Mas Tumenggung Jogonagoro) dapat menghindari serangan para pemberontak dan berbagai senjata tidak mempan, tetapi karena sedemikian banyak senjata yang mengenai tubuhnya, akhirnya hancur bagian dalamnya dan kemudian roboh, tak lama kemudian tewas,” demikian dikutip dari buku Kisa Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021).
Peristiwa pemberontakan yang menewaskan orang nomor satu di Kabupaten Pacitan itu berlangsung pada masa Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830).
Mas Tumenggung Jogonagoro merupakan bupati Pacitan yang kedua. Bernama lahir Mas Sumodiwiryo, Jogonagoro merupakan putera sulung Mas Tumenggung Jogokaryo atau dikenal sebagai Bupati Jimat, Bupati pertama Pacitan.
Konon, Bupati Jimat sebetulnya lebih condong kepada putra keduanya, yakni Mas Karyodipuro untuk menggantikan posisinya sebagai Bupati Pacitan. Namun Jogonagoro berhasil merebut posisi itu setelah mendapat restu dari Patih Danurejo IV.
Jogonagoro sedang duduk di pendopo Kabupaten Pacitan saat massa berdatangan. Massa pemberontak Irorono sempat mengaku sebagai tamping (polisi desa) yang hendak menyerahkan perkara.
Namun sebelum percakapan berlanjut, massa yang bersenjatakan tombak dan pedang tiba-tiba berteriak-teriak dan melakukan penyerangan. Bupati Jogonagoro dikepung. Tidak hanya dipukuli, ia juga ditombak dan dipedang.
Tahu junjungannya dikeroyok dan menjadi bulan-bulanan, Demang Ngemplak yang sedang berjaga di paseban, langsung tampil membela. Namun usahanya sia-sia. Dalam sekejap Demang Ngemplak tewas.
Kesempatan itu digunakan Bupati Jogonagoro mencabut keris dan berusaha melawan sekuatnya. Namun tubuhnya kemudian roboh. Bupati Pacitan yang baru menjabat 40 hari itu, tewas.
“Setelah tahu Mas Tumenggung Jogonagoro meninggal, para pemberontak bersorak-sorak keluar dari pendopo kabupaten, kemudian saling mengajak merampok dan membakar rumah-rumah”.
Kematian Bupati Jogonagoro memantik amarah Mas Karyodirjo, putra sulungnya untuk menuntut balas. Nyawa dibayar nyawa. Karyodirjo mengumpulkan pasukan dan mengejar para pemberontak.
Di wilayah Arjowinangun Pacitan, pertempuran tidak terelakkan. Mas Karyodirjo mengamuk dan membuat gentar barisan para pemberontak lantaran banyak yang terluka dan tewas.
Kiai Bagor, Lompong dan dua belas temannya berhasil diringkus hidup-hidup. Sedangkan Irorono yang tertembak dan terjatuh dari kuda, berhasil meloloskan diri.
Mas Karyodirjo kemudian melapor ke Mas Jogokaryo, kakeknya dengan berurai air mata. Ia bercerita kalau Jogonagoro, ayahnya telah meninggal dunia. Disampaikan juga situasi sosial politik Pacitan yang kacau balau.
Sang kakek sontak memerintahkan memburu Irorono sekaligus mengembalikan stabilitas sosial politik wilayah Pacitan. Irorono ditemukan tewas di hutan dekat Desa Gedangan akibat peluru yang mengeram di pahanya.
Sementara Kiai Bagor, Lompong dan dua belas orang temannya diadili di persidangan dan diputuskan hukuman gantung hingga meninggal dunia.
Selanjutnya atas restu Kerajaan Yogyakarta, Mas Tumenggung Karyodipuro diangkat menjadi Bupati Pacitan, menggantikan Mas Jogonagoro. Karyodipuro kemudian dikenal dengan nama Mas Tumenggung Jogokaryo II (1826-1850).
Sedangkan Mas Karyodirjo, putra Jogonagoro diangkat menjadi patih di Pacitan.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait