Alun-alun Blitar Gempar, Harimau Tiba-tiba Lepas dari Arena Rampogan Macan

Arif
Tradisi Rampogan Macan di alun-alun Kota Blitar. (foto : repro)

BLITAR, iNewsBlitar - Seekor harimau kumbang berhasil menerobos hunusan tombak barisan para gandek yang bersiaga dengan formasi melingkar.

 

Gandek merupakan istilah untuk menyebut sekelompok laki-laki pemberani. Saat itu tahun 1894 dan lebaran tinggal beberapa hari lagi.

 

Lolosnya harimau sontak membuat alun-alun Kota Blitar gempar. Sorak-sorai kegembiraan berganti jerit ketakutan.

 

Sejarawan R Kartawibawa menggambarkan kekacauan dalam tradisi Rampogan Macan serupa butiran padi yang ditampi. Penonton kocar-kacir. Saking takutnya, tidak sedikit yang sampai terjengkang atau jatuh terpelanting.  

 

Polahing tijang saaloen-aloen kados gabah dipoen interi (Tingkah laku orang se alun-alun seperti gabah atau padi yang ditampi),”  tulis R Kartawibawa dalam buku “Bakda Mawi Rampog” terbitan Bale Poestaka 1928.

 

Macan kumbang yang lolos dari hunusan tombak mengaum ke arah penonton. Kartawibawa menggambarkan mulut harimau dalam pose setengah terbuka. Nafasnya ngos-ngosan, terengah-engah.

 

Kondisinya mengerikan. Beberapa bagian tubuh hewan buas tersebut bersimbah darah akibat luka tusukan tombak. 

 

Penonton sontak ambyar. Kartawibawa menggambarkan kekacauan itu lumayan detil. Tidak sedikit istri terpisah dari suami, anak-anak yang tertinggal di lokasi dan ibu-ibu yang menggendong anak balitanya bersusah payah lari sejauh-jauhnya.

 

Tidak sedikit penonton laki-laki yang berebut memanjat pohon beringin di sekitar alun-alun. Sementara yang sudah di atas pohon, berusaha memanjat lebih tinggi lagi.

 

Saking gugupnya, lantas ada yang terpeleset jatuh dan terinjak injak massa. Sejumlah pedagang makanan dan minuman hanya bisa tercengang.

 

Mereka tidak berdaya menyaksikan barang dagangannya porak poranda diterjang orang-orang yang lari lintang pukang. Parahnya, dalam situasi mencekam tersebut masih ada juga orang yang mengambil kesempatan.

 

Seorang laki-laki tiba-tiba mendekap perempuan dari arah belakang. Namun sial, aksi mesumnya kepergok petugas kepolisian. 

 

Wonten tijang djaler ingkang anggagapi badanipoen tijang estri, konangan ing oepas poelisi, dipoen sambleg pedang (Ada laki laki yang mendekap tubuh perempuan, ketahuan upas polisi, langsung disabet pedang,”  kata R Kartawibawa dalam “Bakda Mawi Rampog”. 

 

Rampogan Macan merupakan tradisi orang Jawa bertarung dengan harimau.  Seekor harimau dilepas ke tengah gelanggang di mana 3-4 lapis barisan gandek tengah menyambut dengan tombak terhunus.

 

Di atas tratag, yakni panggung terbuka yang ditopang tiang-tiang besi, sejumlah pejabat penting langsung memantau jalannya acara. Mereka adalah bupati, tamu-tamu undangan Belanda beserta istri-istrinya.

 

Pada panggung lain yang lebih sederhana, berisi para priyayi dan orang-orang berduit. Panggung sedehana ini milik seorang pengusaha Tionghoa. Mereka yang bisa menempati panggung lebih dulu membayar uang sewa.

 

Sementara rakyat jelata duduk-duduk lesehan di atas tanah lapang alun-alun. Jarak mereka dengan arena rampogan sekitar 36 kaki, yang oleh panitia hanya dibatasi seutas tali.

 

Harimau-harimau itu sebelumnya mendekam di dalam kotak kayu jati. Seolah menjadi penanda. Saat harimau mulai dikeluarkan dari dalam kotak kayu, gamelan dan lengking terompet tiba-tiba berbunyi.  

 

Tidak semua harimau mau dilepas. Harimau yang menolak meninggalkan kotak kayu biasanya akan diusik. Disundut api atau disiram air mendidih.

 

Beberapa harimau melakukan dua kali pertarungan. Sebelum diterjunkan di tradisi rampogan macan, raja hutan itu  biasanya lebih dulu bertarung dengan seekor kerbau. Tradisi mengadu harimau dengan kerbau ini bernama Sima Maesa (Harimau Kerbau).

 

“Rampog Macan umumnya dilakukan setelah pertarungan Sima Maesa,”  tulis Dihan Amiluhur dalam buku  “Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19”.

 

Tradisi mengadu binatang sudah ada sejak era kerajaan Mataram Islam. Pada tahun 1792 saat mengunjungi Yogyakarta Gubernur Jendral Belanda Pieter Van Overstraten menyatakan telah menyaksikan tradisi Sima Maesa.

 

Begitu usai, Pieter langsung mendapat suguhan Rampogan Macan. Tradisi yang digelar tersebut bertepatan dengan meninggalnya Sultan Hamengkuwono I. 

 

Dalam catatannya, Richard von Carlowitz saat berkunjung ke Jawa tahun 1846 juga menyaksikan pertarungan kerbau melawan harimau. Sultan yang menggelar tradisi tersebut.

 

Richard yang berkebangsaan Jerman menuliskan catatan perjalanannya dalam artikel yang dimuat di Koran Belanda  “Arnhemsche Courant”.

 

Bahkan Susuhunan Surakarta mengeluarkan surat perintah 18 Juli 1877 yang isinya tentang aturan tata tertib menonton tradisi Sima Maesa. Aparat memiliki kewenangan menangkap mereka yang terbukti melanggar.

 

Dalam tradisi Sima Maesa orang Jawa suka memilih jenis kerbau air (Bubalus Bubalis). Kerbau yang akan bertarung dengan harimau itu memiliki ciri tanduk panjang sekaligus tajam.

 

“Kerbau dipersiapkan. Sembari menunggu harimau, tanduknya diasah dan diberi warna putih serta terdapat karangan bunga yang dikalungkan di lehernya,”  kata Robert Wessing dalam artikel "A Tiger in the Heart : The Javanese Rampog Macan”.

 

Sementara harimau yang banyak bertarung adalah jenis macan loreng, kumbang dan tutul. Semua harimau merupakan hasil perburuan tuwa buru. Tuwa buru adalah tetua pemburu yang menggantungkan hidup dari berburu macan.

 

Sejarawan Peter Carey dalam buku “Kuasa Ramalan” menyebut para tuwa buru sebagai manusia yang pemberani. “Mereka para pemburu harimau menguasai mantra khusus serta keberanian batin yang luar biasa,”  kata Carey. 

 

Hamengkubuwono II yang sangat membenci kolonialisme Eropa,  menempatkan tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan bukan sekedar budaya massa.

 

Tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan menjadi perlawanan kebudayaan di mana orang Jawa mengambil kerbau sebagai simbol alegori identitas.

 

Kerbau merupakan hewan berbadan besar, kuat, sabar, mudah diajak kerjasama. Namun bisa berubah beringas sekaligus menakutkan bila sudah tersakiti. 

 

Di sisi lain orang Jawa melekati orang Belanda dengan simbol harimau. Tafsirnya, dibalik kegalakan, kebengisan dan kekejamannya, seekor harimau sebenarnya binatang yang lemah dan pengecut.

 

Karenanya dalam “tradisi gladiator” tersebut, harimau harus binasa. Mereka akan membawa macan yang menang di Sima Maesa ke arena Rampogan Macan sampai tumpas. 

 

Tombak para gandek yang mencincang harimau ditafsirkan tumpasnya keangkara murkaan kolonial Belanda. Menurut K.R.T Jatingrat atau Romo Tirun, sentimen anti etnis kulit putih dalam tradisi Sima Maesa terlihat jelas pada masa pemerintahan Mangkubumi dan Hamengkubuwono II. 

 

“Hamengkubuwono II adalah sultan yang mencetuskan semangat perlawanan anti kolonialisme Eropa baik Inggris maupun Belanda melalui tradisi Sima Maesa. Ia menunjukkan bagaimana sebuah pertunjukan dapat digunakan untuk membangkitkan semangat kebangsaan,”  kata K.R.T Jatingrat dalam buku "Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19”.

 

Belanda tahu orang Jawa tengah mengolok-oloknya. Mereka mengerti disimbolkan seekor macan yang harus ditumpas, namun tidak peduli.

 

Belanda memilih menikmati tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan yang berlangsung rutin setiap tahun. Pada sisi lain, masyarakat Belanda dalam ideologi kebudayaanya  juga kurang menyukai harimau.

 

Mereka memandang harimau sebagai hama yang mengganggu proyek pembukaan perkebunan dan lahan baru. Karenannya diam-diam mendukung penumpasan harimau. 

 

Pemerintah Belanda tidak melarang tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan. Bahkan Belanda ikut menyebarluaskan tradisi yang sebelumnya hanya terpusat di Yogyakarta hingga ke luar daerah.

 

“Orang-orang Belanda ikut menyebarluaskan tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan ke daerah yang belum mengenal acara itu,”  tulis Peter Boomgaard dalam artikel “Death to The Tiger”.

 

Pada masa di atas tahun 1860, tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan tidak lagi berpusat di Yogyakarta. Tradisi Gladiator Jawa tersebut bergeser ke wilayah Jawa Timur, terutama Blitar dan Kediri.

 

Setiap jelang lebaran atau tahun baru Islam, pemerintah menggelar rampogan macan di alun-alun Blitar dan Kediri.

 

Berlangsungnya tradisi Rampogan Macan di wilayah Blitar dan Kediri diduga pengaruh tingginya populasi harimau di kedua wilayah tersebut.

 

Sejarawan R Kartawibawa menyebut wilayah Kecamatan Lodoyo (Kabupaten Blitar) dan Gadungan, Pare (Kabupaten Kediri) sebagai kadaton sima atau kerajaan harimau. 

 

Sapamireng koela tanah ingkang ketjeloek kadaton sima poenika : ing Lodaja (Blitar kidoel), Gadoengan (Pare, Kediri), Kedoewang (Wanagiri), Tjilatjap. (Sepengetahuan saya tanah yang dipanggil kraton harimau itu Lodaya (Blitar selatan), Gadungan (Pare Kabupaten Kediri), Keduwang (Wonogiri) dan Cilacap)," kata R Kartawibawa dalam buku “Bakda Mawi Rampog”.

 

Tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan berjaya pada kisaran tahun 1830-1870. Pada kisaran antara 1830-1860, rata-rata 1.250 ekor harimau mati dibunuh setiap tahunnya.

 

Pada tahun 1900 jumlah rata rata harimau yang mati terbunuh mencapai 400 ekor per tahun. Peter Boomgard dalam “Death to The Tiger” menyebut : turunnya angka harimau yang mati akibat populasinya yang merosot drastis. Sebagian penyebabnya adalah tradisi Sima Maesa dan Rampogan Macan. 

 

Sementara di sisi lain jumlah manusia yang mati akibat diterkam harimau pada tahun 1860-an mencapai 120 orang per tahun, dan 30 orang sekitar tahun 1900.

 

Pada tahun 1923 tradisi Rampogan Macan mulai menghilang dari wilayah Jawa Timur. Arena pembantaian harimau di alun-alun Blitar dan Kediri tidak lagi digelar.

 

Sebelum tradisi betul-betul lenyap, nilai perlawanan dalam rampogan macan telah bergeser.

 

Pertarungan hidup mati antara seekor harimau melawan para gandek dengan tombak terhunus hanya menjadi pertunjukan hiburan sekaligus pengiring upacara keagamaan.

 

Rakyat menafsirkan penumpasan harimau sebagai penumpasan sifat-sifat buruk manusia. 

 

“Oleh karena itu setiap tahun setidaknya sekali, Rampogan Macan diibaratkan sebagai proses untuk mensucikan keburukan-keburukan manusia,” kata Dihan Amiluhur dalam buku  “Kolonialisme Dalam Gladiator Jawa, Sima Maesa Rampog Macan di Jawa Abad Ke-19”.

Editor : Solichan Arif

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network