BLITAR, iNewsBlitar - Pendopo Agung Kabupaten Blitar Ronggo Hadi Negoro (RHN) dalam konsep kekuasaan Jawa merupakan tempat sakral dan sekaligus keramat.
Pendopo agung bukan hanya sekedar ndalem, yakni tempat bupati bermukim, tapi juga merupakan pusat kekuasaan dijalankan. Tidak heran pendopo agung juga kerap disebut sebagai istana.
Pada era Bupati Blitar Rini Syarifah atau Mak Rini, sakralitas, kekeramatan dan kewibawaan Pendopo Agung RHN dinilai telah pudar lantaran adanya pakem atau tradisi yang dilanggar.
“Karena pelanggaran pakem itu wibawa pendopo agung RHN telah pudar dan itu mempengaruhi wajah kekuasaan bupati Blitar,” tutur Mujianto yang juga Kordinator ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Kabupaten Blitar Jumat (10/11/2023).
Pendopo RHN menyimpan sejarah panjang kekuasaan Kabupaten Blitar. Berdiri sejak tahun 1875, yakni dibangun pada era Bupati Blitar RPH Warsoekoesomo (bupati kedua), Pendopo Agung RHN diyakini sebagai tempat sakral.
Bukan hanya soal usia bangunan yang tua, tapi pendopo agung RHN juga menjadi tempat penyimpanan seluruh pusaka yang terkait dengan sejarah kekuasaan Kabupaten Blitar.
Dalam sejarahnya, sebelum berdiri pendopo RHN, pemerintahan Kabupaten Blitar bertempat di kawasan daerah aliran Sungai Pakunden. Hal itu berlangsung pada periode waktu di bawah tahun 1848.
Lokasi yang ada tidak membuat kekuasaan tentram lantaran sering terusik oleh intaian bencana alam.
Yang terjadi kemudian, amukan erupsi Gunung Kelud pada akhirnya memaksa Bupati pertama Kabupaten Blitar RM Aryo Hadi Negoro memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan perkotaan.
Hijrah ke tempat yang lebih aman itu diikuti dengan berbagai pembangunan. Pembangunan pendopo agung RHN pada 1875 dilakukan pada era Bupati Blitar Warsoekoesomo.
Oleh Bupati Warsoekoesomo, setting wajah pendopo agung diarahkan ke arah mata angin Selatan dengan bagian belakang bangunan atau punggung bersandar pada Gunung Kelud di sebelah Utara.
Kemudian arsitektur meru dengan tiga sap atau lapis yang melambangan instrument kehidupan, yakni rahim, dunia dan akhirat, menghiasi bagian atas pendopo agung RHN.
Sebagai pusat kosmos (pusat kekuasaan), keberadaan pendopo agung RHN mengusung konsep Jawa sedulur papat lima pancer. Tak heran bila di sekelilingnya terbangun alun-alun, tempat ibadah (keagamaan), keamanan (lapas) dan pasar.
“Dalam konsep kekuasaan Jawa pendopo merupakan tempat utama Bupati menerima tamu-tamunya dan melakukan segala macam kegiatan pemerintahan,” ungkap Mujianto.
Semua bupati Blitar sebelumnya bertempat tinggal di pendopo agung RHN. Hal itu merupakan penerapan dari tradisi konsep kekuasaan Jawa. Baru pada rezim Bupati Mak Rini, tradisi yang sudah berlaku bertahun-tahun itu, bergeser.
Muncul tatanan baru yang bagi Mujianto telah menyimpangi tradisi lama. Sebagai bupati, Mak Rini tidak bertempat di pendopo agung RHN, melainkan bertahan di rumah pribadinya yang kebetulan bersebelahan dengan pendopo.
Mak Rini dianggap telah mendekonstruksi nilai-nilai lama. “Kalau kembali kepada pakem konsep kekuasaan Jawa, apa yang dilakukan Bupati Mak Rini sudah menyalahi tradisi,” ungkapnya.
Informasi yang dihimpun, pendopo agung RHN di era Mak Rini bukan lagi menjadi kediaman bupati. Pendopo lebih menjadi tempat orang lain, yakni orang-orang terdekat di lingkaran kekuasaan Mak Rini.
Wakil Bupati Blitar Rahmat Santoso atau Makde Rahmat di awal menjabat, juga tinggal di pendopo. Termasuk orang-orang TP2ID, yakni lembaga adhoc pembantu bupati juga berkantor di pendopo agung RHN.
Hal itu dinilai Mujianto telah menyalahi pakem. Wibawa kekuasaan telah runtuh. Entah kebetulan atau tidak.
Berangkat dari pendopo yang kehilangan kewibawaanya, belakangan muncul polemik sewa rumah dinas (rumdin) wakil bupati Blitar Rahmat Santoso atau Makde Rahmat.
“Entah itu kebetulan atau tidak, tapi hal itu (kasus rumdin) yang sekarang terjadi,” terangnya.
Terungkap, rumdin wabup Blitar yang dibiayai oleh APBD 2021 dan 2022 sebesar Rp 490 juta, ternyata rumah pribadi Mak Rini. Lucunya, rumah yang disewa sebagai rumdin itu tetap ditempati Mak Rini dan keluarganya.
Sedangkan wabup Makde Rahmat bertempat tinggal di Pendopo RHN. Perkara rumdin wabup itu kini telah diselidiki Kejari Blitar. Wabup Makde Rahmat dan dua orang mantan Kabag Umum tahun 2021 dan 2022 telah diperiksa penyidik.
Pada saat yang sama legislatif juga mengajukan untuk digelarnya pansus hak angket dan hak interpelasi. Polemik rumdin telah menimbulkan kegaduhan.
“Kalau saja bupati menempati pendopo sesuai pakem semestinya, tentu persoalan rumdin juga tidak akan muncul,” tambah Mujianto.
Dalam realitasnya, pendopo agung RHN bukan lagi menjadi tempat utama bupati menjalankan kekuasaan, yakni termasuk menerima tamu, berkomunikasi dengan para pembantu, serta kolega-koleganya.
Posisi bupati sebagai orang nomor satu di Kabupaten Blitar telah tergeser oleh orang-orang di lingkaran kekuasaannya sendiri, dan Mak Rini terkesan diam tidak berdaya.
Tak hanya itu. Bagian dalam pendopo RHN yang sakral, yakni terutama sisi barat telah diubah menjadi tempat kongkow-kongkow. Di sebuah ruangan ditempatkan meja bilyard dengan semua perkakasnya.
Informasi yang dihimpun, semua aktifitas politik dirancang dan disusun di dalam pendopo yang itu tidak dilakukan oleh Mak Rini. Begitu juga proyek-proyek di Kabupaten Blitar. Aktifitas yang berlangsung di pendopo agung lebih menyerupai project event organizer.
Sementara di saat yang sama Bupati Mak Rini tetap memilih bertempat tinggal di rumah pribadinya. Sebagai bupati, kata Mujianto, Bupati Mak Rini terkesan tidak memiliki kepercayaan diri.
“Sebagai warga Kabupaten Blitar saya berharap kewibawaan pendopo agung seyogyanya segera dikembalikan,” pungkas Mujianto.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait