BLITAR, iNews.id- Bung Karno merasa tidak puas. Pikirannya belum bisa menerima gambaran konsep Tuhan seperti yang dipaparkan Haji Agus Salim. Agus Salim merupakan salah satu tokoh Partai Masyumi yang dalam sejarah pergolakan politik Indonesia mendapat julukan The Grand Old Man.
Bagi Bung Karno, Tuhan tidak seperti itu. “Apa yang Tuan gambarkan tidak cocok dengan apa yang saya anggap semula,” kata Bung Karno kepada Agus Salim sembari pamit pulang.
Saat itu Soekarno masih muda dengan pikiran yang selalu kritis dan tajam. Pertemuan kedua tokoh bangsa itu berlangsung di Bandung, Jawa Barat. Agus Salim sengaja datang untuk menemui Bung Karno.
Dalam buku “ Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap Dari Sejarah Soekarno”, disebutkan Agus Salim tidak banyak bereaksi. Ucapan Bung Karno hanya disenyumi Agus Salim seraya membatin. “Sungguh keras kepala anak muda ini. Mudah-mudahan Allah SWT menyadarkan pikirannya”.
Lain waktu Bung Karno bertemu dengan Pastor Van Lith. Ia kembali berdebat tentang konsep ketuhanan. Soekarno juga menolak konsep Tuhan seperti gambaran Van Lith. Van Lith hanya mengakui Tuhan sebagai penguasa kebaikan, tapi tidak dengan keburukan. Bung Karno menolak konsep itu.
Pastor Van Lith marah besar. “Kau ini orang berdosa berani menjelekkan Tuhan!, “tegas Van Lith. Bung Karno tertawa, ngeloyor pergi dan berkata, “Percayalah bahwa Tuhan akan memaafkan saya”.
Pengembaraan Bung Karno dalam pencarian Tuhan berlangsung panjang. Ia serap pengalaman kehidupan berbagai macam orang dan gambarannya tentang Tuhan. Gambaran Tuhan orang alim maupun orang awam.
Bung Karno merasa takjub dengan Al-Qur’an dan Hadist, tapi masih mencari Tuhan. Begitu juga konsep Tuhan dalam Hindu, Budha dan Kristen tidak memuaskannya. Ia merasa tidak menemukan Tuhan di sana. Termasuk konsep yang digambarkan Haji Agus Salim.
Bung Karno mempelajari kitab-kitab ajaran agama. Ia membaca Al-Qur’an, Hadist dan banyak sumber lainnya. Ia juga membaca kitab-kitab yang berisi ajaran Hindu dan Budha. Ia pelajari semuanya dengan teliti.
Seperti yang ditulis Haji Achmad Noto Soetardjo dalam buku “Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan (1963)”, Bung Karno sadar menemukan Tuhan tidak bisa diukur dari banyaknya buku yang dibaca atau banyak berdiskusi dengan orang alim.
Juga tak bisa diukur dari fasihnya membaca ayat kitab suci. Bung Karno justru akhirnya menemukan Tuhan dalam kalbunya, yang selalu bergetar setiap mengingat Wagimin, temannya yang miskin.
“Ini (getaran kalbu) mengalirkan energi yang dahsyat dalam dirinya untuk berjuang melepaskan belenggu kolonialisme yang menjerat orang-orang seperti Wagimin”.
Getaran-getaran kalbu yang membawa Bung Karno mendekat dan menemukan Tuhan. Termasuk ketika memikirkan Utari, putri H.O.S Tjokroaminoto yang sempat jadi istri pertamanya, lalu ia ceraikan dalam keadaan masih suci demi cita-cita perjuangan. Kalbu Bung Karno juga bergejolak.
Kalbunya terus bergetar di setiap keheningan, mengingat dan memikirkan nasib Utari. “Itulah cinta. Siapa yang membuat ada cinta di kalbu seseorang? Tentu semua itu tentang keberadaan yang gaib. Itulah akibat adanya Tuhan. Ia mencari terus!,” tulis Noto Soetardjo dalam buku Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan (1963).
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait