Kisah Sekolah Jerman Terbesar Asia yang Berada di Kaki Gunung Lawu

Arif
Pada masa penjajahan Jepang pernah berdiri sekolah Jerman terbesar di Asia Timur di kaki Gunung Lawu, Sarangan Magetan Jawa Timur. (foto/ist)

MAGETAN, iNewsBlitar  – Sarangan Magetan, Jawa Timur pernah menjadi tempat penggemblengan warga Jerman yang ada di Indonesia.  

Pada awal masa penjajahan kolonial Jepang (1942-1945), sebuah sekolah dengan murid dan guru orang-orang Jerman, berdiri di wilayah Sarangan Magetan, Jawa Timur. Sebuah tempat yang berada di kaki Gunung Lawu.

Di masa Perang Dunia II itu, sekolah Sarangan Magetan diakui yang terbesar di Asia Timur. Sekolah yang murni menerapkan sistem pendidikan Jerman dengan sembilan jenjang kelas mulai sekolah dasar hingga menengah.

“Pemerintah Jerman memberi dukungan dana untuk sekolah ini melalui kedutaan besarnya di Tokyo dan Konsulat di Batavia,” tulis Horst H. Geerken dalam buku Jejak Hitler di Indonesia.

Meski perang dunia II berkecamuk, Pemerintah Jerman tak berhenti memperhatikan nasib ibu-ibu dan anak-anak Jerman di Hindia Belanda. Begitu kolonial Belanda dikalahkan, mereka dibebaskan dari kamp-kamp interniran Belanda.

Melalui kolonial Jepang yang behasil mengambil alih kekuasaan Belanda, semua kaum ibu dan anak-anak berkebangsaan Jerman tersebut dipindahkan ke Sarangan, Magetan.

Pemerintah Jerman juga menekan Tokyo untuk mendidik anak-anak Jerman  agar menjadi warga Jerman yang baik dalam pengabdian kepada Tanah Air. Sebab selama menjalani masa interniran, anak-anak terbiasa dengan kehidupan bebas tanpa batas.

Anak laki-laki diketahui cenderung liar. Mereka tidak lagi memiliki hasrat untuk tunduk patuh pada aturan sekolah yang ketat. Sementara anak-anak perempuan hanya menghabiskan waktu membantu ibu mereka mengurus rumah.

“Pada awal 1943, lebih dari 350 warga Jerman, termasuk 175 anak usia sekolah, tiba di Sarangan dari segala penjuru Hindia Belanda,” kata Horst H. Geerken.

Sekolah Jerman di Sarangan Magetan menerapkan disiplin ketat. Para  siswa rutin berlatih baris-berbaris mengelilingi Telaga Sarangan sambil menyanyikan lagu-lagu mars. Yakni lagu gerakan kaum muda Jerman, Jungvolk dan di sinilah organisasi Pemuda Hitler lahir di Hindia Belanda.

Para guru juga mendisiplinkan bahasa kepada seluruh siswa. Sebelum menerima mata pelajaran, mereka diwajibkan belajar bahasa Jerman dengan benar. Bahasa Jepang menjadi bahasa asing pertama sejak awal berdirinya sekolah. Selain itu adalah bahasa Inggris,Perancis dan Latin.

“Sebab hampir semua anak-anak tersebut, lelaki dan perempuan, yang lahir di Nusantara berbicara dalam bahasa Jerman yang tercampur dengan kata-kata Belanda dan Melayu,”  kata Horst H. Geerken.

Sekolah Jerman di Sarangan Magetan berlangsung 6 hari dalam seminggu dengan olah raga 3 kali dalam seminggu. Karena tak ada bioskop dan fasilitas hiburan lain, sekolah membentuk kelompok musik, olah raga dan yoga.

Jepang terlibat aktif dalam pembentukan kurikulum dan perencanaan lain untuk sekolah Jerman di Sarangan Magetan.  Dalam Jejak Hitler di Indonesia, Hardy Zollner eks siswa sekolah Jerman di Sarangan Magetan, menyebut para pelajar  menerima pelajaran sejarah, biologi, geometri, fisika, kimia, agama dan lain-lain.

Setiap anak diwajibkan menulis dengan huruf latin yang diperkenalkan di Jerman sejak tahun 1941. Sejumlah siswa bahkan mampu menulis bahasa Jerman Sutterlin, yakni bahasa Jerman yang dipakai pada ke-16.

Peresmian sekaligus pembukaan sekolah Jerman di Sarangan Magetan berlangsung tepat di hari ulang tahun Adolf Hitler ke- 53, 20 April 1943. Upacara peresmian dihadiri langsung para tamu undangan Jerman dan Jepang. Wakil-wakil pemerintah Jerman datang dari Batavia (Jakarta) dan Tokyo.

Suasana berlangsung meriah. Bendera Jepang berkibar bersama bendera  Swastika.  Lagu-lagu patriotis dikumandangkan.  Berbagai sambutan lebih banyak menyinggung soal kemenangan akhir. Pembukaan ditutup dengan festival olah raga.  

“Kepala sekolah pertama adalah Frau Braun. Namun tak lama dia terpaksa meninggalkan Sarangan karena ketahuan orang Yahudi. Penggantinya adalah Frau Lydia Bode,” kata Horst H. Geerken.

Sekolah Jerman di Sarangan Magetan merupakan proyek percontohan. Tidak heran jika banyak tamu yang datang ke Sarangan. Pada awal bulan, datang kunjungan seorang dokter Jepang, perwakilan Kedutaan Besar Jerman di Tokyo.

Kemudian  Menteri Pendidikan Jepang, Pemerintah sipil Jawa dan Panglima Tentara Jepang di Pasifik. Pada Januari 1944 seorang Professor Jepang yang telah menempuh studi di Bonn Jerman, juga berkunjung ke Sarangan Magetan.

Di depan orang banyak ia berbicara bahasa Jerman dengan sempurna. Pada masa itu, sekolah Jerman di Sarangan Magetan banyak melahirkan para pemuda Jerman berjiwa patrotis. Mereka sangat bangga dan sekaligus membayangkan heroisme dan pengabdian kepada tanah air.

Rasa cinta tanah air itu ditempa dalam diri selama tahun-tahun dalam organisasi Pemuda Hitler. Tak heran banyak anak-anak Jerman lulusan Sarangan Magetan yang kemudian ditempatkan di basis- basis Batavia dan Singapura.

Kendati demikian yang terbanyak bekerja sebagai operator radio atau mekanik mesin diesel Surabaya.  Masa akhir kejayaan sekolah Jerman di Sarangan Magetan mulai dirasakan pada awal Mei 1945. Beredar kabar yang sudah terkonfirmasi bahwa Hitler telah mati dan Jerman telah kalah dari Sekutu.

Editor : Solichan Arif

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network