MAGETAN, iNewsBlitar – Sarangan, Kabupaten Magetan Jawa Timur mencuri perhatian orang-orang Jerman pada masa pra kemerdekaan. Wilayah Sarangan terpilih sebagai tempat penampungan warga Jerman di Hindia Belanda (Indonesia).
Peristiwa itu berlangsung setelah Jepang mengambil alih kekuasaan kolonial Belanda. Orang-orang Jerman itu sebagian besar adalah kaum ibu-ibu dan anak-anak yang masih berusia pelajar. Tidak sedikit juga anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua (yatim piatu).
“Pada awal 1943, lebih dari 350 warga Jerman, termasuk 175 anak usia sekolah, tiba di Sarangan dari segala penjuru Hindia Belanda,” tulis Horst H. Geerken dalam buku Jejak Hitler di Indonesia.
Saat kolonial Belanda berkuasa di Hindia Belanda, para ibu dan anak-anak berkebangsaan Jerman itu menjadi tawanan. Mereka dipaksa menghuni kamp-kamp interniran Belanda.
Saat Jerman menginvasi Belanda pada Mei 1940 dan militer Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda tahun 1942, nasib mereka berubah. Dalam Perang Dunia II, Jepang merupakan sekutu Jerman dan Italia.
Pemerintah Jerman menekan Tokyo untuk mengurusi ibu dan anak-anak Jerman di Hindia Belanda. Terutama mendidiknya agar menjadi warga Jerman yang baik dalam pengabdian kepada Tanah Air.
Pada akhir 1942, semua ibu-ibu beserta anak-anak Jerman itu diperintahkan hijrah ke Sarangan, Magetan. Mereka dikumpulkan di Sarangan. Secara topografi, Sarangan Magetan terletak pada ketinggian 1.400 meter.
Berada di kaki Gunung Lawu setinggi 3.200 meter, pemandangan Sarangan begitu elok dan memikat. Terlihat bukit-bukit yang tertutup hutan tropis. Kemudian juga panorama aliran lidah lava yang turun menuju lembah.
Ditambah lagi danau Telaga Pasir yang berair bening sekaligus berhawa sejuk dan nyaman. Pada masa kolonial Belanda, Sarangan Magetan menjadi tempat peristirahatan para pejabat Belanda.
Di Sarangan banyak dibangun hotel-hotel kecil untuk keluarga serta wisma-wisma untuk menerima tamu.” Di akhir 1942, daerah yang tertidur ini (Sarangan Magetan) mendadak berubah aktif dan kehidupan mulai menggeliat,” tulis Horst H. Geerken.
“Setelah masa yang kacau, tidak pasti dan dipermalukan oleh Belanda, para perempuan dan anak-anak Jerman seperti tinggal di taman firdaus,” tambahnya.
Ratusan perempuan dan anak-anak kebangsaan Jerman itu hidup nyaman di Sarangan Magetan. Anak-anak juga bersekolah dengan tenang.Para tua mampu mencukupi kebutuhan hidup sendiri melalui sektor peternakan dan pertanian.
Padang rumput luas yang berada di atas Sarangan, mereka pakai untuk peternakan sapi perah dan oleh para petani Jerman diambil susunya. Susu sapi itu didistribusikan kepada kaum ibu yang memiliki anak kecil.
Orang-orang Jerman itu juga mengolah lahan perkebunan sayur-mayur. Para tukang kebun didorong membuka lebih banyak perkebunan. Kentang, wortel, tomat, kubis, bawang bombay dan selada, dihasilkan sendiri. Banyak buah-buahan murah yang juga dijual ke desa.
Begitu juga dengan kebutuhan daging segar, sosis dan roti juga diproduksi sendiri. Soal distribusi pangan tak ada perbedaan antara warga Reich Jerman dengan warga Volk Jerman.
Mereka semua saling bantu dan tidak ada seorang pun di Sarangan yang mengalami kelaparan. Bahkan banyak sayur-mayur yang dibawa ke pangkalan angkatan laut di Surabaya.
“Festival panen juga dirayakan 1 Oktober sekalipun selalu ada panenan sepanjang tahun di Sarangan,” kata Horst H. Geerken dalam buku Jejak Hitler di Indonesia.
Orang-orang Jerman di Sarangan Magetan, seakan hidup di sebuah pulau Jerman di mana mereka bebas mengatur dirinya sendiri dengan lingkungan yang eksotis. Mereka tidak diwajibkan pulang ke tanah air, karena Eropa dalam situasi gawat.
Nyaris setiap hari Sekutu melakukan serangan udara di Jerman yang itu membuat anak-anak Jerman di wilayah perkotaan diungsikan ke pedesaan. Namun kenyamanan hidup di Sarangan Magetan bak menikmati surga dunia berakhir juga.
Setelah sebuah pesawat Sekutu terbang melintas di Sarangan, komandan militer Jepang memerintahkan semua rumah dikosongkan. Jendela-jendela rumah mulai dipasang korden dan pada malam hari pemakaian lampu dibatasi.
Pada awal bulan Mei 1945, kabar buruk itu tiba di telinga orang Jerman di Sarangan, Magetan. Beredar kabar Adolf Hitler tewas dan Jerman telah kalah. Dan kabar itu telah terkonfirmasi.
Para ibu-ibu Jerman beserta anak-anak mereka dan kaum pria mendadak tidak bersemangat lagi. Mereka sedih, kecewa, bercampur marah. Bayangan lenyapnya kehidupan surgawi di Sarangan, Magetan terlihat di ujung mata.
“Hitler mati? Idola yang kami percayai secara membabi buta itu mati? Lalu apa yang terjadi sekarang dengan kami?,” kata Hardy Zollner bekas murid Sarangan Magetan seperti ditulis Horst H. Geerken dalam buku Jejak Hitler di Indonesia.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait