JAKARTA,iNewsBlitar - Kepemimpinan sewenang-wenang Sultan Amangkurat I dalam memerintah Kerajaan Mataram Islam mengundang banyak perlawanan. Ketegangan itu juga muncul di internal keraton.
Peri Mardiyono dalam buku “Tuah Bumi Mataram : Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II”, menyebut pemberontakan pun benar-benar terjadi.
Sosok yang meletuskan pemberontakan itu adalah Trunajaya. Bangsawan asal Madura itu berhasil meluluhlantakkan Ibu Kota Mataram, Plered. Selama lima hari mulai 28 Juni sampai 3 Juli, Plered digempur tanpa ampun.
Kota baru yang didirikan dengan seluruh tenaga dan keringat rakyat itu luluh lantah. Pemberontakan Trunajaya terhadap Mataram disokong oleh Sekutu Madura, yang kebanyakan berasal dari Makassar.
Sebelum meluluhlantakkan Plered, pasukan Trunajaya lebih dahulu beberapa daerah kekuasaan Mataram di pesisir utara Jawa.
Perang pertama antara pasukan Trunajaya dengan Mataram pecah di Gedogog pada 1676. Pasukan Trunajaya menang, dan secara bertahap berhasil menguasai wilayah utara Pulau Jawa yang merupakan kekuasaan Mataram.
Serangan itu konon membuat Sultan Amangkurat I terdesak dan melarikan diri kembali ke Plered. Malangnya, Raja Mataram itu meninggal dunia saat berada di tempat pelariannya.
Pemberontakan Trunajaya dipicu kepemimpinan Sultan Amangkurat I yang diktator serta kejam, terutama kepada lawan - lawan politiknya. Rasa ketidakpuasan pun muncul dari daerah-daerah kekuasaan Mataram, termasuk Madura. Apalagi banyak tokoh bangsawan dan ulama yang menjadi korban kekejaman Sultan Amangkurat I.
Sebagian tokoh yang dibantai oleh Amangkurat I adalah tokoh-tokoh yang berasal dari Jawa Timur. Mereka begitu dihormati, termasuk salah satunya ayah Trunajaya bernama Raden Demang Melayakusuma. Mertua Sultan Amangkurat I Pangeran Pekik, yang merupakan anak Adipati Surabaya, juga tak lepas dieksekusi oleh Raja Mataram keempat tersebut.
Pembantaian anak turun kebangsawanan Jawa Timur ini memicu permusuhan serius antara Amangkurat I dengan para kawula Jawa Timur. Hasilnya bisa terbukti, pasca Amangkurat I mangkat alias wafat, anaknya Amangkurat II juga harus menanggung konflik yang disebabkan ayahnya.
Raden Trunajaya adalah keturunan penguasa Madura, yang dipaksa tinggal di Keraton Mataram setelah kekalahan dan pencaplokan oleh Mataram, pada tahun 1624. Setelah ayah Trunajaya dieksekusi oleh Amangkurat I pada 1656, ia meninggalkan Keraton Mataram dan pindah ke Kajoran.
Ia lalu menikahi putri dari Raden Kajoran, kepala dari keluarga yang berkuasa di sana. Keluarga Kajoran sendiri adalah keluarga ulama kuno yang kemudian terikat pernikahan dengan keluarga kerajaan.
Sebagai tokoh agama, Raden Kajoran khawatir dengan kebrutalan dan kebringasan pemerintahan Amangkurat I, termasuk eksekusi mati para bangsawan di keraton. Hal ini memicu niatan para bangsawan di Jawa Timur memberontak ke Kerajaan Mataram.
Apalagi pasukan Trunajaya juga diperkuat oleh pasukan Makassar pasca jatuhnya Makassar ke VOC. Para migran dari Makassar ini pun akhirnya bergabung ke pasukan Trunajaya ketika melakukan pemberontakan ke Mataram.
Tercatat sekitar 9.000 orang terdiri dari pada pejuang Makassar, bangsawan Jawa, dan Madura, terlibat pemberontakan ke Mataram. Bahkan para penguasa Giri, yang notabene pengikut Sunan Giri juga turut berperang bergabung pada tahun 1676, melakukan pemberontakan ke Mataram.
Ayah mertua Trunajaya, Raden Kajoran memiliki pengaruh besar dalam pengumpulan pasukan ini. Bahkan ia dan pasukannya juga turut bergabung setelah kemenangan Trunajaya Gegodog, pada September 1676.
Pemberontakan ini kian kuat setelah Pangeran Sampang, yang kelak mendapat gelar Cakraningrat II, juga turut bergabung setelah jatuhnya Ibu Kota Mataram pada 1677.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait