JAKARTA, iNewsBlitar - Paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan Soekarno-Hatta di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, mata uang menjadi persoalan serius dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara.
Saat itu pemerintahan Presiden Soekarno atau Bung Karno belum memiliki mata uang sendiri. Sementara uang rupiah Jepang dan kemudian menyusul uang NICA (Nederlandsch Indies Civil Administration), sengaja dipertahankan kolonial Belanda sebagai alat transaksi utama di masyarakat.
Di sisi lain, inflasi telah melonjak tinggi. Jepang yang menyerah kepada Sekutu tidak mampu lagi mengendalikan mata uang rupiahnya. Kondisi ekonomi semakin babak belur setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya.
“Pemerintah RI (Republik Indonesia) yang terbentuk sehari setelah proklamasi juga tidak mempunyai sarana dan sumber daya untuk menanganinya,” demikian dikutip dari Jurnal Sejarah, Pemikiran Rekonstruksi Persepsi (2004).
Pada awal kemerdekaan 17 Agustus 1945, peredaran uang rupiah Jepang di masyarakat Indonesia, tidak terkendali. Dalam Offiele bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen (1976), Van Der Wal menyebut ada uang Jepang senilai 4 miliar dengan 1,6 miliar di antaranya, tersebar di Pulau Jawa.
Saat NICA (tentara Belanda) yang membonceng Sekutu berhasil menduduki kota-kota besar di Indonesia dan menguasai bank-bank Jepang, jumlah uang rupiah Jepang yang diedarkan di masyarakat semakin meningkat.
Uang yang diedarkan berasal dari Percetakan Kolff & Co, Jakarta yang juga berhasil dikuasai NICA, yakni tempat percetakan sekaligus di mana uang kertas rupiah Jepang senilai Rp 2,5 miliar disimpan.
NICA memakai uang Jepang untuk pembiayaan operasi militer, menggaji pegawai yang direkrut dari kalangan pribumi, termasuk melalui tangan orang-orang suruhan, sengaja mengedarkan uang tersebut ke wilayah RI.
Sementara di saat sama, karena kondisi ekonomi dan politik yang masih buruk, pegawai sipil maupun militer RI tidak ada yang mendapat gaji. “Terutama (uang Jepang) untuk menarik simpati orang-orang republikein agar mau berpihak kepada Belanda,” demikian yang tertulis dalam surat rahasia Kepala Kepolisian Karesidenan Malang kepada Kepala Kepolisian Negara di Yogyakarta No 444.
Upaya Belanda untuk menghancurkan kedaulatan Indonesia melalui pengacauan ekonomi tidak berhenti di situ. Selain menghamburkan uang rupiah Jepang, Belanda juga mengedarkan uang Hindia Belanda baru yang di masyarakat dikenal dengan nama uang NICA atau uang merah.
Uang NICA dicetak oleh American Banknote Company atas pesanan Pemerintah Kerajaan Belanda. Langkah ini dinilai menyimpangi Undang-undang De Javasche Bank 1922 di mana hanya De Javasche Bank yang berwenang mengeluarkan sekaligus mengedarkan uang di Hindia Belanda.
Menanggapi tekanan politik ekonomi itu, pemerintahan Soekarno tidak tinggal diam. Pemerintahan RI menerbitkan maklumat pada 2 Oktober 1945 yang intinya menyatakan mata uang Hindia Belanda baru tidak berlaku di wilayah RI. Maklumat tersebut disusul dengan Maklumat 3 Oktober 1945.
Isinya di antara lain mata uang yang dianggap sah sebagai alat pembayaran adalah uang kertas Javasche Bank yang dikeluarkan tahun 1925 hingga cetakan tahun 1941. Kemudian uang kertas Pemerintah Militer Dai Nippon (Jepang) di Jawa yang terdiri dari 8 pecahan serta uang logam Pemerintah Hindia Belanda sebelum tahun 1942.
Para pejuang, pelajar dan masyarakat Indonesia langsung meresponnya. Mereka menindaklanjuti dengan menggelar aksi penolakan mata uang NICA, bahkan memusnahkannya.
“Di Yogyakarta pada hari dikeluarkannya maklumat itu, para pelajar sekolah menengah secara spontan mengumpulkan mata uang NICA, termasuk di kampung-kampung yang diduga ada peredaran mata uang tersebut, kemudian memusnahkannya,” demikian dikutip dari Jurnal Sejarah, Pemikiran Rekonstruksi Persepsi (2004).
Aksi penolakan rakyat terhadap mata uang NICA meluas di mana-mana. Di Jakarta, banyak pedagang pribumi yang tidak mau menerima mata uang baru Belanda sebagai alat pembayaran. Mereka juga menolak menjual barang dagangan kepada orang-orang Belanda. Demikian juga di Semarang, Jawa Tengah. Banyak rakyat yang tidak mau menerima uang merah.
Upaya Belanda memasarkan mata uang NICA di Jawa dan Sumatera mendapat perlawanan sengit dari rakyat, yang seringkali berujung terjadinya tindak kekerasan. Pada faktanya, Belanda melihat rakyat (Jawa dan Sumatera) lebih suka menggunakan mata uang rupiah Jepang yang telah dinyatakan pemerintahan RI sebagai alat pembayaran yang sah.
Rakyat tidak peduli meski nilai mata uang Jepang terus merosot. Wakil Presiden RI Mohammad Hatta atau Bung Hatta melihat mata uang bisa dipakai sebagai senjata Belanda untuk membuat kekacauan ekonomi di wilayah RI, dan karena itu harus dihentikan.
Dalam rapat Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ke-3 pada 28 Oktober 1945, Bung Hatta mengusulkan agar masalah mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah RI segera dipecahkan. Segala persiapan untuk penerbitan ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang dikomandani Menteri Keuangan Mr A.A Maramis langsung dilakukan.
Pada 7 November 1945, sesuai surat keputusan No 3/RD/7 November 1945, Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Oeang RI. Muncul usulan tempat percetakan yang dianggap memenuhi syarat, yakni Percetakan G. Kolff Jakarta dan Percetakan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang, Jawa Timur.
Kemudian muncul usulan Surabaya dan Yogyakarta sebagai altenatif. Percetakan ORI kemudian diputuskan berlangsung di Jakarta. Gambar litografi uang rakyat Indonesia yang pertama dibuat di Percetakan De Unie dengan pelukis Abdulsalam dan Soerono. Produksi ORI dimulai sejak Januari 1946.
“Karena percetakan Kolff pada waktu itu masih dikuasai Belanda, maka proses offsetnya untuk pertama kali dilakukan oleh Percetakan RI Salemba, Jakarta sebuah percetakan di bawah Kementerian Penerangan”.
Proses kegiatan percetakan ORI di Jakarta tidak berlangsung lama. Kegiatan kemudian digeser ke Yogyakarta menyusul dipindahkannya ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Selain di Yogya, percetakan dan penerbitan ORI juga dilakukan di Surakarta, Malang dan Ponorogo, Jawa Timur.
Pemerintah RI memanfaatkan berbagai percetakan swasta modern pada masa itu. ORI yang pertama kali ditandatangani pada November 1945 di Jakarta adalah ORI penerbitan emisi Jakarta.
Dengan mendasarkan pada UU No. 7 Tahun 1946 dan UU No. 19 Tahun 1946, pada 30 Oktober 1946, Pemerintah RI secara resmi mengedarkan ORI sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Republik Indonesia.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait