BATAVIA atau Kota Jakarta yang kini dipimpin Gubernur Anies Baswedan, pada abad ke-18 masyhur dengan julukan Koningin van het Oosten atau Ratu dari Timur karena keelokan bangunan serta tata kotanya. Namun warga Jakarta setiap beraktivitas di luar rumah harus senantiasa menutup hidung karena udara busuk yang mematikan. Lingkungan hidup di Kota Jakarta begitu buruk. Saluran-saluran air mampet, termasuk rawa-rawa yang airnya tak lagi bergerak, menjadi sarang nyamuk. Kemudian lumpur-lumpur bercampur beragam kotoran, termasuk bangkai hewan, yang membuat kanal-kanal tak mampu lagi mengalirkan air ke laut.
Akibatnya tidak hanya kotor, Jakarta menjadi sarang perkembangbiakan penyakit. Keadaan itu diperparah dengan udara busuk yang bersumber dari kotoran yang tidak terbuang semestinya. Pada abad ke-18 itu, di samping julukan ratu dari timur, Jakarta juga menyandang julukan Graf der Hollander atau kuburan orang Belanda. Di mana-mana menjadi tempat menyimpan mayat atau tulang-tulang (rumah mayat) yang mati mendadak akibat lingkungan hidup Jakarta yang buruk. Pada perbincangan sesama bangsa penjajah, terutama Inggris, Kota Jakarta dicap sebagai daerah yang tidak sehat. Dibandingkan iklim di India yang merupakan koloni Inggris, udara di Jakarta lebih buruk.
“Udaranya seringkali dilukiskan sebagai penyebab kebinasaan, saluran-salurannya sangat buruk atau busuk, dalam konotasi umumnya sebagai mengerikan,” tulis Willard A. Hanna dalam buku “Hikayat Jakarta”. Kolonial Belanda membangun Jakarta dengan memunculkan banyak bangunan berarsitektur megah dan indah. Kastil, Stadhuis (Balai Kota), rumah sakit, gereja, dan semua lembaga amal, didirikan sesuai dengan kebutuhan penduduk yang jumlahnya meningkat. Pembangunan di kawasan kota diperlebar di sepanjang Terusan Molenvliet hingga ke daerah pedalaman.
Rumah-rumah besar serta taman-taman bagi golongan elit berdiri secara cepat. Kemudian juga pemukiman-pemukiman berkelompok yang lebih sederhana bagi orang-orang Eropa, Indo dan Asia. Tercatat, jumlah penduduk Jakarta saat itu mencapai 50.000 jiwa yang menjelang tahun 1800 ditargetkan meningkat 150.000 jiwa. Penduduk Jakarta yang tinggal di dalam maupun luar tembok kota berasal dari beragam suku, ras dan status sosial yang berbeda, di antaranya orang Belanda, orang Eropa, orang Moor, Mestizos, yakni indo Belanda dan indo Portugis, orang China, Jawa, Bugis, Timor, Mandar, Sumbawa, Bali, Banda, Ambon, Makasar, Buton, dan Budak. Jumlah kaum budak, suku Jawa dan orang China adalah yang terbanyak dibanding suku dan ras lainnya.
Editor : Edi Purwanto
Artikel Terkait