PERISTIWA Gestapu 1965 dan munculnya Surat Perintah 11 Maret 1966 membuat posisi politik Presiden Soekarno atau Bung Karno di tanah air, semakin terkucil. Kekuasaan Bung Karno yang sebelumnya begitu besar, telah menyusut. Situasi politik yang tidak lagi berpihak itu juga mempengaruhi fasilitas kenegaraan yang diterima.
Jelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1967, berbagai fasilitas kenegaraan yang sebelumnya melekat pada diri Bung Karno dan keluarganya, mulai dilucuti satu per satu, terutama terkait keberadaan Bung Karno dan anak-anaknya di Istana Merdeka. Sogol Djauhari Abdul Muchid dalam kesaksiannya yang dikutip H Maulwi Saelan dalam buku “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 65” mengatakan, Bung Karno dan putra-putrinya diminta keluar dari Istana Merdeka sebelum tanggal 17 Agustus 1967.
Bung Karno dan putera puterinya dipindahkan ke Guesthouse jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru. Sogol Djauhari Abdul Muchid merupakan anggota Detasemen Kawal Pribadi Presiden (DKP) berpangkat ajun inspektur polisi tingkat I. Dia bertugas di bagian Higiene dan Dinas Khusus Kepresidenan. Karenanya hanya Sogol yang boleh menyedikan sekaligus menyuguhkan minum untuk presiden saat akan berpidato.
Pada hari sebelum tanggal 17 Agustus 1967 itu, Sogol diperintah komandannya, Mangil Martowidjojo mengantarkan surat dari Jenderal Soeharto yang ditujukan kepada Bung Karno. "Pak Mangil mengatakan kepada saya, Bung Karno dan putra-putrinya sebelum 17 Agustus 1967 harus sudah keluar dari Istana Merdeka dan akan dipindahkan ke Guesthouse Jalan Iskandarsyah, Kebayoran Baru," kata Sogol Djauhari Abdul Muchid. Sogol langsung ke Istana Bogor, menemui Hartini, istri Bung Karno yang saat itu berada di paviliun.
Oleh Hartini surat langsung diteruskan kepada Bung Karno. Seketika itu Bung Karno mengatakan, tidak ingin anak-anaknya dipindahkan ke Guesthouse Jalan Iskandarsyah, yang dijaga CPM. Bung Karno lebih suka putera-puterinya berkumpul dengan ibunya (Fatmawati). “Pindahkan saja mereka ke rumah ibunya (Ibu Fatmawati) di Kebayoran Baru,” kata Sogol menirukan apa yang disampaikan Bung Karno.
Kabar Bung Karno dan putra-putrinya diminta segera angkat kaki dari Istana Merdeka itu, “bocor” ke telinga sejumlah teman-teman Bung Karno. Mereka pun menyiapkan fasilitas tempat tinggal. Sedikitnya enam rumah disiapkan untuk ditempati putra-putri Bung Karno. Sogol juga menyampaikan hal itu kepada Bung Karno.
Apa yang terjadi? Bung Karno malah marah. Ia tidak menghendaki rumah-rumah yang telah disiapkan para loyalisnya tersebut. Kepada Sogol, Bung Karno juga menegaskan pesan untuk anak-anaknya agar tidak membawa barang-barang yang menjadi fasilitas Istana Negara. “Semua anak-anak kalau meninggalkan Istana, tidak boleh membawa apa-apa, kecuali: 1. Buku-buku pelajaran. 2. Perhiasan sendiri. 3. Pakaian sendiri. Barang-barang lainnya seperti radio, televisi dan lain-lain tidak boleh dibawa,” kata Bung Karno.
Hari meninggalkan Istana Negara sebelum perayaan hari Kemerdekaan 17 Agustus 1967 itu pun, tiba. Semua putera-puteri Bung Karno berkumpul, termasuk para pelayan di Istana dan para pengasuh mereka di Istana. Hadir juga Letnan Kolonel Sudharmono beserta lima orang stafnya. Setelah dilakukan penjelasan secara resmi oleh Mangil Martowidjojo, proses meninggalkan Istana Negara langsung dilakukan.
Pelaksanaan pemindahan anak-anak Bung Karno dipimpin Inspektur Polisi I Prihatin. Pemandangan haru terlihat saat anak-anak itu berkemas-kemas. Guntur Soekarno Putra, anak tertua Bung Karno sempat merasa kecewa. Guntur terlanjur menggulung antene televisi, namun pada akhirnya tak jadi dibawa karena mendengar pesan ayahnya, Bung Karno. “Yang hadir saat itu, semua mengeluarkan sapu tangan dan menyapu air mata karena menangis, termasuk Sudharmono”.
Semua putra-putri Bung Karno langsung diantarkan ke rumah Fatmawati, ibu mereka. Sogol Djauhari Abdul Muchid menyampaikan semua pesan Bung Karno kepada Fatmawati sekaligus mengatakan dirinya hanya menjalankan perintah. Jawaban Fatmawati: Bung Karno itu hanya mementingkan negara saja. Kalian kan tahu, rumahku sempit, tempat tidur tidak ada dan kamar pun tidak cukup.
Tak berlangsung lama datang rombongan Menteri Panglima Angkatan Kepolisian Soetjipto Yudhodihardjo ke rumah Fatmawati. Setelah itu menyusul truk Brimob yang mengangkut empat tempat tidur susun dari kayu beserta kasur dan bantal tanpa seprei dan sarung bantal, serta enam karung beras. Sementara Bung Karno meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 16 Agustus 1967.
Proklamator RI itu tak lagi mengenakan baju kebesarannya. Bung Karno keluar Istana hanya mengenakan celana piyama warna krem dengan kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan pundak dengan kaki beralas sandal cap Bata yang sudah usang. “Tangan kanannya memegang kertas koran yang digulung agak besar, isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih”.
Sogol Djauhari Abdul Muchid berjalan mengiringi di belakangnya. Ia membawakan tas yang berisi minuman ovaltin, minuman air jeruk, minuman air teh, minuman air putih, gelas dan kue-kue kecil. Tangan kiri Sogol menyangklong tas kecil berisi obat-obatan Bung Karno. “Itulah seluruh harta Bung Karno yang dibawa, selebihnya semua ditinggalkan,” kata Sogol seperti dikutip dalam “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 65”.
Bung Karno masuk ke dalam mobil pribadinya, VW Kodok dan duduk di belakang. Mobil yang kemudian berjalan menuju Wisma Yaso itu dikemudikan Letnan Kolonel Tituler Suparto dengan Sogol duduk di samping pengemudi. Sepengetahuan Sogol Djauhari Abdul Muchid, sejak menghabiskan hari-harinya yang banyak sendiri di Wisma Yaso, Bung Karno tidak pernah lagi memasuki Istana Negara. Statusnya sebagai tahanan kota. Bung Karno yang lahir 6 Juni 1901 di Peneleh, Surabaya, meninggal dunia pada 21 Juni 1970 dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.iNewsBlitar
Editor : Edi Purwanto
Artikel Terkait