get app
inews
Aa Text
Read Next : Gelar Seminar Program Kerja, Posko 3 KKN Desa Belo Komitmen Ciptakan Momentum Positif

Cerita Belanda yang Samakan Pengasingan Pangeran Diponegoro dengan Napoleon

Minggu, 30 Januari 2022 | 17:12 WIB
header img
Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro dan setelah itu langsung diasingkan (foto repro)

BLITAR, iNewsBlitar- Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap kolonial Belanda selama lima tahun (1825-1830) akhirnya padam setelah ia ditangkap di Magelang, Jawa Tengah.

 

Pangeran Diponegoro tahu telah dicurangi, tapi tetap berusaha semeleh (ikhlas). Saat memenuhi undangan berunding yang diinisiasi Belanda, ia tiba-tiba ditangkap.

 

Berbagai sumber menyebut, geraham Pangeran Diponegoro sempat gemeretak karena menahan geram. Dua lengan kursi kayu yang kena cengkeram tangannya, sampai berantakan. Namun tetap berusaha menahan diri.

 

Begitu juga dengan para pengikutnya. Lukisan Raden Saleh Syarif  Bustaman mengabadikan berbagai ekspresi kekecewaan, kemarahan, serta  keputusasaan wajah-wajah para pengikut Diponegoro.

 

Dalam penangkapan itu tidak terjadi insiden kekerasan. Diponegoro juga tidak mengekspresikan perlawanan fisik saat digelandang ke atas kapal korvet Pollux untuk dibawa menuju Manado.

 

Tanggal 4 Mei 1830. Pelayaran dari Batavia (Jakarta) ke Manado menjadi hukuman buang pertamanya.

 

Kompeni Belanda menjauhkan Diponegoro dari makam leluhurnya, memisahkan dari tanah kelahirannya, sanak keluarganya, serta para pengikutnya yang tersebar di Pulau Jawa.

 

Dalam catatan harian Letnan Dua Knoerle, ajudan Gubernur Jenderal Van Den Bosch yang dikutip sejarawan Peter Carey pada buku “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)” Diponegoro sempat “menggugat” pengasingannya.

 

Ia mempertanyakan apakah hukuman buang tersebut merupakan watak dari penguasa Eropa yang telah memenangkan perang.

 

“Apakah sudah menjadi kebiasaan di Eropa,” tanya Diponegoro, “untuk mengasingkan seorang pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil dan memutus hubungannya dengan semua kaum kerabatnya?".

 

Pertanyaan yang bernada gugatan tersebut diajukan Diponegoro di atas kapal Pollux yang sedang berlayar mengarungi samudera menuju Manado.

 

Dalam catatannya Letnan Dua Knoerle menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan pemimpin rakyat Jawa tersebut.

 

Knoerle mengutip contoh Napoleon (1769-1821) yang kata dia persis dengan Pangeran Diponegoro yang berusia 44 tahun saat pertama kali diasingkan (Maret 1814).

 

Pengasingan dengan cara yang baik. “Sehingga tidak meninggalkan kenangan yang menyakitkan,” tulis Knoerle seperti dikutip sejarawan Peter Carey.

 

Namun kenyataanya saat di atas kapal Pollux Diponegoro mengalami situasi yang tidak mengenakan.

 

Situasi yang lebih disebabkan pengalamannya akan laut yang terbatas. Perjumpaan Diponegoro dengan laut selama ini hanya sebatas laut selatan, yang itu pun saat  berziarah (1805) dan bermeditasi di Goa Surolanang (awal 1825).

 

“Maka bagi Diponegoro terkatung-katung di laut-yang lebih banyak tenang- selama hampir enam minggu tentu bukan pengalaman yang menyenangkan,” tulis Peter Carey dalam “Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855)”

 

Letnan Dua Knoerle mencatat secara rinci semua yang terjadi selama pelayaran. Pada lima hari pertama pelayaran, empat orang dari 50 anggota pasukan yang mengawal Pangeran Diponegoro, tewas.

 

Upacara penguburan dengan pasukan kehormatan berjalan lambat. “Bunyi genderang pengiring upacara terdengar dengan jelas di kamar Pangeran yang letaknya di bawah geladak belakang kapal,” tulis Knoerle.

 

Di atas kapal, Pangeran Diponegoro mengalami situasi kesehatan kurang bagus, yang dapat dikatakan buruk. Ia muntah-muntah akibat mabuk laut, dan diperparah demam akibat malaria.

 

Bahkan pada hari ketujuh pelayaran Pangeran Diponegoro sempat mengatakan, dirinya sudah ikhlas jika harus mati. “Akan tetapi, ia belum berada di ambang maut,” tambah Knoerle dalam catatan hariannya.

 

Pangeran Diponegoro mampu melewati masa kritisnya. Demamnya mereda dan ia kembali sehat. Gairahnya yang tertuju terhadap apa saja yang disaksikan di atas kapal, meluap-luap.

 

Ilmu bumi kawasan Indonesia Timur menarik perhatiannya. Ia bertanya seberapa jauh Ambon dari Manado? Apakah Manado jauh dari Makassar atau Tanah Bugis?.

 

Diponegoro sempat melihat peta Makassar dari dek depan kapal, dan meminta ijin Knoerle untuk melihatnya langsung. “Sehingga ia bisa lebih memahami lagi bentuk pulau Sulawesi,” tulis Peter Carey.

 

Sayangnya  Knoerle keberatan, dan beralasan satu-satunya peta di kapal hanya diperuntukkan bagi keperluan navigasi. “Pangeran tetap gigih bertanya,” tambah Peter Carey.

 

Pangeran Diponegoro ingin tahu rute laut ke Jeddah. Apakah pantai-pantai Sulawesi bisa dilayari. Ia tidak berhenti memberondongkan berbagai pertanyaan kepada Knoerle, yang membuat orang kepercayaan Van Den Bosch tersebut harus menahan sabar.

 

14 Mei 1830.  Badai dahsyat yang melintasi Gunung Muria di Jepara, tiba-tiba mengarah ke laut. Peristiwa alam yang membuat panik itu berlangsung pada pukul dua dini hari.

 

“Diponegoro tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya, dan berteriak-teriak memanggil saya agar datang menghampiri, (memerintahkan agar) komandan kapal korvet seharusnya segera membuang jangkar,” tulis Knoerle.

 

Keesokan harinya, kapal berada di kawasan perairan dekat Lasem. Udara panas menyengat, namun laut sangat tenang. Knoerle mencatat : pemandangan pantai Laut Jawa telah mengiris-iris hati Pangeran Diponegoro.

 

Selama perjalanan menuju Manado, Diponegoro dan Knoerle melakukan percakapan yang cukup intens. Ia kerap mengundang Knoerle sarapan pagi di meja makannya.

 

Mengajak perwira berdarah Jerman tersebut menyantap menu nasi, kentang dan sambal, lalu mengudap biskuit sembari menikmati teh hitam. Mereka melakukan semuanya dengan duduk-duduk di atas tikar jerami yang lebar.  

 

Di sela waktu itu, Knoerle juga meminjamkan buku-buku dan almanak. Diponegoro sangat tertarik dengan gambar-gambar yang ada di dalam buku.

 

Di lain kesempatan, Diponegoro giliran bercerita banyak hal. “Diantaranya tentang sejarah dan mitologi Jawa hingga sejarah Eropa terkini,” tulis Peter Carey.

 

Knoerle memuji karakter dan sifat kewirausahaan Diponegoro yang kuat. Terutama terkait dengan kecerdikan dan kearifannya dalam memberi penilaian.

 

Namun di sisi lain ia melihat Diponegoro sebagai seorang yang menganggap prisip agamanya sendiri yang paling luhur.

 

Diponegoro berhasrat menegakkan aturan agamanya di atas puing-puing dari semua sistem lain. “Sikap Pangeran memang membingungkan Knoerle,” kata Peter Carey.

 

Tanggal 12 Juni 1830. Kapal Pollux membuang sauh di Manado. Pangeran Diponegoro dan pengikutnya diturunkan dari kapal. Kompeni Belanda mengawal mereka menuju Fort New Amsterdam, benteng Belanda.

 

Benteng yang kelak pada 14 Mei 1932 rusak akibat gempa dan berantakan akibat bom Amerika Serikat (7 Desember 1944) itu, menjadi rumah pengasingan pertama Pangeran Diponegoro selama tiga tahun.

 

Dari Manado, pengasingan Pangeran Diponegoro kemudian dipindah kompeni Belanda ke Makassar (1833-1855) hingga meninggal dunia.

 

Sebuah folklore (lagu rakyat) mengenang perjuangannya. Lagu rakyat yang populer pada zaman Kebangkitan Nasional (1908-1942) dan Orde Lama (1945-1966). Berikut liriknya :

 

Ada lagi Sulawesi

Tempat yang tersunyi

Dekat rimba

Jauh ramai

Tempat yang terkiri

Makam Diponegoro

Pahlawannya sejati

Membela bangsa kita

Pahlawan yang berhati suci.

Editor : Solichan Arif

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut