BLITAR, iNewsBlitar – Sejak tahun 1983, kekuasaan Presiden Soeharto sudah dianggap terlalu lama oleh orang-orang terdekatnya. Untuk sebuah kekuasaan, 16 tahun dianggap sebagai waktu yang panjang.
Bahkan dinilai setara dengan empat kali masa jabatan Presiden Amerika Serikat. Karenanya Soeharto diharapkan bersedia meletakkan jabatan dengan besar hati. Harapan itu datang dari Jenderal Yoga Sugomo pimpinan tertinggi Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Pak Harto diharapkan menyerahkan tongkat kepemimpinan nasional kepada yang lain. Sebagai petinggi intelijen, Yoga memiliki perhitungan yang matang. Ia berpandangan kekuasaan yang terlalu lama bisa menimbulkan ekses buruk, di antaranya perasaan jenuh.
Kekuasaan yang terlalu lama juga mendatangkan perasaan keakuan yang berlebihan, termasuk akan merasa paling tahu sehingga sulit menerima kritik atau pendapat berbeda. Dan Yoga sudah menangkap indikasi itu.
“Yang lebih mengkhawatirkan adalah bila timbul perasaan dan sikap yang mencampuradukkan masalah pribadi dengan pemerintahan, bahkan negara,” demikian yang tertulis dalam buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018).
Yoga Sugomo merupakan salah orang kepercayaan Soeharto di bidang intelijen. Terlahir 12 Mei 1925, Yoga berasal dari lingkungan santri di Kauman, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
Pasca agresi militer Belanda ia bertugas sebagai perwira intelijen pada staf territorium militer di Banyumas.
Di departemen pertahanan, Yoga pernah menjadi staf Kolonel Zulkifli Lubis yang kala itu menjabat Kepala Badan Informasi Staf Angkatan Perang (Bisap).
Bersama Sutarto Sigit dari Jawa Timur dan Dolf Runturambi dari Sulawesi, Yoga juga pernah mendapat pendidikan intelijen di Negara Inggris.
Ali Moertopo dalam testimoninya menyebut Yoga Sugomo memegang leading position dalam penumpasan PKI tahun 1965. Bagi Yoga menumpas Dewan Revolusi ibarat pertandingan ulang dari apa yang pernah dialaminya di Divisi Diponegoro.
Yoga yang terbiasa bekerja intelijen selalu hati-hati dalam mengungkapkan pikiran. Termasuk terkait pandangannya soal kekuasaan Pak Harto yang sudah waktunya untuk lengser.
Bersama Ali Moertopo, ia memutar akal bagaimana Soeharto bersedia meletakkan jabatan dengan kesadarannya sendiri.
Munculah gagasan mencoba cara Jawa, yaitu memangku Pak Harto agar puas menjadi tokoh senior sekaligus bapak bangsa.
Yoga juga sudah menyiapkan jawaban jika nantinya timbul pertanyaan dari Soeharto, siapa yang layak jadi penggantinya, yakni generasi peralihan dari angkatan 45.
Cara Jawa memangku Soeharto adalah dengan menggulirkan pemberian gelar Bapak Pembangunan. Gelar dimaknai sebagai puncak prestasi, pengabdian dan sekaligus penghargaan rakyat.
“Tentu saja ini adalah sebuah operasi yang sangat-sangat rahasia dan peka karena menyangkut masalah perasaan yang berkelindan dengan kekuasaan”.
Operasi pemberian gelar Bapak Pembangunan berhasil diwujudkan, namun misi menghentikan Soeharto melanjutkan kepemimpinan gagal. Di luar rencana, ada sejumlah pihak yang memanfaatkan situasi itu.
Pak Harto tetap maju kembali sebagai Presiden Indonesia periode 1983-1988. Dua tahun pemerintahan berjalan, apa yang dicemaskan Yoga Sugomo semakin terlihat indikasinya.
Yoga memutuskan tidak lagi memakai cara Jawa. Dalam sebuah pertemuan rutin di bulan Mei tahun 1985, ia terang-terangan menyarankan Soeharto untuk berjiwa besar, legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi pada pemilu berikutnya (1988).
Yoga beralasan pada tahun 1988 Pak Harto sudah berkuasa 22 tahun dan usianya sudah menginjak 67 tahun. Periode 1983-1988 juga merupakan puncak kepemimpinan Pak Harto.
Termasuk alasan jaringan informasi yang semakin melemah serta bisnis keluarga yang terus membesar sekaligus berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial, juga disampaikan.
Yoga mengatakan siap mendukung dan mengamankan siapapun kader yang ditunjuk Pak Harto sebagai pengganti. Lantas apa jawaban Soeharto? Soeharto hanya diam. Ia memilih tidak menanggapi.
Yang bereaksi justru Benny Moerdani dan Sudharmono yang langsung menolak tegas jalan pikiran Yoga. Malam itu terjadi perdebatan keras dan Pak Harto tidak mengambil sikap. Isyarat berbeda justru terlihat dari Ibu Tien Soeharto, meski tidak ditampakkan terbuka.
“Ibu Tien Soeharto yang diam-diam mengamati, kemudian melintas di ruang pertemuan tersebut, seraya memberi isyarat cenderung mendukung usul Yoga,” begitu yang tertulis dalam Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.
Upaya Yoga kembali gagal. Sejak peristiwa itu ia memutuskan tidak akan menemui Soeharto lagi jika tidak dipanggil. Hubungannya dengan Soeharto dan Benny Moerdani juga berubah dingin.
Pada Juni 1989 Yoga berhenti sebagai Kepala Bakin atas permintaanya sendiri. Kelak, pada tahun 1998 yang kemudian dikenal sebagai peristiwa reformasi, apa yang dikhawatirkan Yoga Sugomo terbukti.
Editor : Solichan Arif