JAKARTA, iNewsBlitar - Sutan Sjahrir mengalami masa-masa sulit sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Setelah ditangkap bersama kolega politiknya pada 16 Januari 1962, dan 3 bulan kemudian dijebloskan ke dalam penjara Madiun, Jawa Timur, Perdana Menteri Pertama Indonesia itu sakit.
Tak lama menghirup udara pengap penjara Madiun, tekanan darah Sjahrir tiba-tiba meningkat tajam. Diastolis 150 dan systolis 245. Sjahrir membutuhkan perawatan medis serius.
Setelah disetujui, tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang menjadi pesakitan politik itu kemudian dibawa ke Jakarta. Ia ditempatkan di RSPAD Jakarta. “Dengan menumpang kereta api Sjahrir tiba di stasiun Gambir menjelang akhir November 1962,” tulis Rosihan Anwar dalam buku Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik (1995).
Praktis, hari-hari Sjahrir lebih banyak dihabiskan di rumah sakit. Selama 8 bulan ia menempati ruang perawatan. Kendati demikian statusnya sebagai tahanan politik masih melekat.
Sutan Sjahrir dan kolega politiknya, yakni Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo serta para pemimpin Masyumi, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Yunan Nasution, dan Isa Anshari dituduh merencanakan tindakan subversif.
Kehadiran Sjahrir bersama koleganya untuk memenuhi undangan Anak Agung Gde Agung menyaksikan upacara Ngaben di Bali dicurigai hendak melakukan konspirasi. Karena itu, mereka semua ditangkap dan ditahan.
Soebadio Sastrosatomo menilai tuduhan subversif itu hanya akal-akalan orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia), yakni melalui laporan yang dibuat kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Subandrio. “Kami dijebloskan di penjara Madiun karena rekayasa PKI”.
Sjahrir setelah menjalani 8 bulan perawatan di rumah sakit Jakarta, kemudian dipindahkan ke tempat penahanan di jalan Keagungan. Kondisi kesehatannya belum membaik sepenuhnya.
Bahkan pada tahun 1963 dan 1964, Sjahrir mengalami 2 kali serangan stroke ringan. Hidup Sjahrir berpindah dari satu tahanan ke tahanan lain. Dari jalan Keagungan, ia dipindahkan ke rumah tahanan militer di Jalan Budi Utomo.
Sjahrir mengalami serangan stroke yang ketiga. Kondisinya memperihatinkan. Tangan dan kaki Perdana Menteri pertama Indonesia itu lumpuh. Melalui serangkaian operasi, dokter berhasil memulihkan fungsi tangan dan kakinya, tapi Sjahrir tak mampu lagi menulis dan berbicara.
Pihak keluarga, terutama Poppy Sjahrir, istri Sutan Sjahrir meminta kebijaksanaan Presiden Soekarno membawa suaminya ke luar negeri untuk berobat. Dan Soekarno mengijinkan.
Pada bulan Juli 1965, Poppy Sjahrir beserta 2 anaknya, membawa Sutan Sjahrir ke Zurich, Swiss. Sjahrir mendapat penanganan tenaga medis luar negeri. Namun para dokter asing itu juga tak mampu berbuat banyak. Kemampuan bicara dan menulis Sjahrir tetap tak bisa dikembalikan.
Setelah kurang lebih 9 bulan menjalani perawatan di Swiss, pada 9 April 1966 Sutan Sjahrir dinyatakan tutup usia. Founding father bangsa Indonesia itu wafat dengan masih menyandang status tahanan politik.
Sepuluh hari setelah kematiannya, yakni 19 April 1966, jenazah Sutan Sjahrir tiba di tanah air. Ia dimakamkan di Taman Makam Kalibata, Jakarta. Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan Sutan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional.
Dalam buku Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik, Soebadio mengatakan, Sjahrir tidak pernah membenci Soekarno, meski keduanya berbeda pandangan politik.
Bahkan Sjahrir meminta kader PSI Soedjatmoko untuk membantu Soekarno, jika memang terbuka kesempatan. Dari situ kemudian lahir konsep ekonomi DEKON atau Deklarasi Ekonomi jelang pertengahan tahun 1963.
“Sjahrir tidak pernah membenci Soekarno. Dia sungguh-sungguh kalau soal Soekarno itu, meskipun dia ditahan oleh Soekarno”.
Editor : Solichan Arif