Logo Network
Network

Cerita Gedung Agung Jogja, dari HB IX, Bung Karno dan Tan Malaka

Arif
.
Rabu, 04 Januari 2023 | 13:46 WIB
Cerita Gedung Agung Jogja, dari HB IX, Bung Karno dan Tan Malaka
Gedung Agung Yogyakarta banyak menyimpan cerita sejarah tokoh-tokoh penting Indonesia. (foto/ist)

JOGJA, iNewsBlitar - Gedung Agung Yogyakarta sarat dengan cerita sejarah. Keberadaan Gedung Agung di ujung jalan Malioboro dan di depan benteng Belanda Fort Vredenburg sekaligus menjadi saksi perjalanan sejarah berdirinya Negara Indonesia.

Berdiri pada Mei 1824, Gedung Agung atau Gedung Negara yang menghadap Timur itu sejatinya Istana dengan luas wilayah 43.585 meter persegi. Bangunan berarsitektur Eropa itu hasil sentuhan tangan arsitek A. Payen.

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, Gedung Agung merupakan kediaman resmi Residen ke-18 Yogyakarta (1823-1825) Anthonie Hendriks Smissaert, seorang kebangsaan Belanda. Banyak kejadian sejarah pada pra dan pasca kemerdekaan di Gedung Agung yang melibatkan tokoh-tokoh penting tanah air. Berikut peristiwa penting yang terjadi di Gedung Agung Yogyakarta.

 

1.Tempat Hamengku Buwono IX Terima Tahta

Pangeran Dorodjatun menerima keris pusaka Sultan Mataram Yogyakarta Hamengku Buwono VIII di Gedung Agung. Dorodjatun belum lama pulang dari Negeri Belanda.

Kedatangannya di Batavia pada 1939 mendapat jemputan langsung dari Sultan Hamengku Buwono VIII, ayahnya. Kesehatan Sultan Yogya saat itu senantiasa tidak bagus.

Di Gedung Agung, Sultan Yogya dalam keadaan sakit-sakitan menyerahkan keris pusaka kepada Dorodjatun. Dalam buku Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politk (1995), Rosihan Anwar menulis, penyerahan pusaka itu merupakan isyarat sekaligus legitimasi Dorodjatun sebagai pelanjut tahta Sultan Yogya berikutnya.

Isyarat itu benar adanya. Sebelum dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono IX, Dorodjatun lebih dulu berunding dengan pemerintah kolonial Belanda yang diwakili Gubernur Adam. Perundingan memakan waktu 5 bulan.

Dorodjatun meminta kewenangan mengangkat Pepatih Dalam ada di tangan Sultan Yogya, bukan Belanda. Ia melihat selama ini Pepatih Dalam semacam mata-mata Belanda yang ditanam di dalam keraton.

Setelah melalui pertemuan yang alot, permintaan Dorodjatun akhirnya disetujui. Dorodjatun atau Hamengku Buwono IX menjadi sultan pertama yang memerintah langsung dari kepatihan.

 

2. Lokasi Pidato Soekarno Soal Penculikan Sutan Sjahrir

Presiden Soekarno atau Bung Karno berpidato meminta para penculik untuk segera melepaskan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Pada akhir Juni 1946,  Sjahrir yang berada di Solo, Jawa Tengah, tiba-tiba diculik.

Sempat muncul usulan dari Menteri Pertahanan Amir Sjariffudin kepada Bung Karno supaya Mr Soebardjo, ditahan. Amir menuding Soebardjo dalang dibalik aksi penculikan Sjahrir.

Dari Gedung Agung, suara pidato Bung Karno memancar pada saluran radio. Sjahrir yang sempat disandera di wilayah Paras, Boyolali, akhirnya dilepaskan. Paman penyair Chairil Anwar itu kemudian dibawa ke Gedung Agung Yogyakarta.  

 

3. Tempat Penangkapan Para Pengikut Tan Malaka

Peristiwa penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Solo Juni 1946 disusul dengan peristiwa percobaan kudeta oleh kelompok Persatuan Perjuangan, oposisi Pemerintah Soekarno.

Peristiwa percobaan perebutan kekuasaan oleh kelompok yang dipimpin Tan Malaka itu dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946. Dalam peristiwa itu, Panglima Divisi III Mayjen Sudarsono dan sejumlah politisi pendukung Tan Malaka ditangkap.

Penangkapan berlangsung di Gedung Agung Yogyakarta. Selain Mayjen Sudarsono, Moh Yamin, Iwa Kusumasumantri, Soebardjo dan Chaerul Saleh, juga langsung ditahan.

Para aktivis yang terlibat aktif pada masa kemerdekaan itu ditangkap di ruangan tunggu serambi depan Gedung Agung.

“Ya, itu yang terjadi. Saya lihat lagi di ruangan tunggu di serambi depan Gedung Agung di mana Moh Yamin, Iwa Kusumasumantri, Soebardjo Chaerul Saleh langsung ditahan,” kata Soebadio Sastrosatomo dalam buku Soebadio Sastrosatomo Pengemban Misi Politik.  

 

4. Tempat Bung Karno Ditangkap Saat Agresi Militer Belanda II

Belanda menggelar agresi militer keduanya pada 19 Desember 1948. Yogyakarta yang menjadi ibu kota Republik Indonesia diserang dan diduduki. Saat peristiwa itu terjadi, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta bertahan di Gedung Agung.

Terlihat juga Sjahrir, Haji Agus Salim dan Assaat. Dalam situasi genting, kabinet bersidang di Gedung Agung. Diputuskan mengirim telegram kepada Sjaffrudin Prawiranegara supaya membentuk pemerintah darurat republik Indonesia (PDRI) di Sumatera.

Belanda akhirnya menangkap Soekarno dan Hatta serta Sjahrir dan Agus Salim di Gedung Agung. Soekarno, Haji Agus Salim dan Sjahrir diterbangkan ke Brastagi Sumatera Utara.

Sedangkan Hatta dan yang lain dibawa ke Pulau Bangka dan ditahan di Menumbing. Setelah muncul perundingan Roem-Royen, Soekarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta. Tiba di lapangan terbang Maguwo 6 Juli 1949, Dwi Tunggal itu langsung menuju Gedung Agung.

Gedung Agung juga menjadi saksi saat Sudirman dilantik menjadi Panglima Besar. Pelantikan berlangsung di salah satu ruangan Gedung Agung. Begitu juga saat Sutan Sjahrir meletakkan jabatan sebagai perdana menteri dan kemudian diangkat oleh Soekarno menjadi penasihat presiden. Pengangkatan itu juga berlangsung di Gedung Agung.   

Editor : Solichan Arif

Follow Berita iNews Blitar di Google News

Bagikan Artikel Ini