CERITA tentang perjalanan hidup Soekarno, Presiden pertama Indonesia, selalu menarik untuk diulas. Mulai dari kisah hidupnya, pemikirannya, romantisme perjuangannya, hingga percintaannya.
Dari banyak tokoh pendiri bangsa, mungkin Soekarno yang paling banyak dibahas. Demikian, Cerita Pagi akan menambah panjang ulasan mengenai sosok kharismatik ini. Seperti apa, sebagai berikut.
Dalam buku otobiografinya, seperti yang dituturkan langsung kepada Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, dikisahkan fenomena-fenomena yang menyertai kelahiran Soekarno.
"Ketika aku lahir, saat itu bukan hanya awal dari hari yang baru. Tetapi juga awal dari abad yang baru. Aku dilahirkan pada tahun 1901," papar Soekarno, dikutip dari halaman 21 buku tersebut.
Soekarno mengatakan, hari lahirnya ditandai oleh angka serba enam. Bagi sebagian masyarakat Indonesia, angka memiliki arti kehidupan. Semua angka memiliki makna dan perlambang.
Seorang yogi menyebutkan, angka 6 paling baik. Jika di balik, angka 6 akan menjadi 9 yang merupakan angka tertinggi.
"Hari lahirku ditandai oleh angka serba enam. Tanggal 6 Juni. Aku bernasib sangat baik dengan dilahirkan di bawah bintang Gemini, lambang kembar," sambungnya di halaman 22.
Sebagai pria kelahiran Gemini, Soekarno memiliki dua sifat yang saling bertentangan. Dia bisa lembut, tetapi bisa juga bawel, bisa keras bagai baja, tetapi bisa juga sangat puitis. Dia mudah memaafkan, tetapi juga keras kepala.
Soekarno percaya, bawaan bintangnya tersebut yang membuatnya mampu merangkul semua golongan di Indonesia.
"Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang yang percaya hal-hal gaib meramalkan, ini adalah penyambutan terhadap bayi Soekarno," tambahnya.
Gunung Kelud atau Gunung Kampud, merupakan gunung berapi yang menjadi arah pengkiblatan Candi Palah atau Penataran. Letusan gunung ini, membawa petaka bagi warga yang ada di wilayah Blitar, Kediri dan Malang.
"Aku adalah anak dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana. Ibuku, Idayu, merupakan keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman ibuku," ungkap Soekarno, di halaman 23.
Sedang bapaknya, berasal dari Jawa. Namanya Raden Sukemi Sosrodiharjo, masih keturunan Sultan Kediri. Moyang dari pihak ibunya, meninggal dari Perang Puputan, di pantai utara Bali.
"Keluarga Bapak juga patriot-patriot hebat. Nenek dari nenek bapak, memiliki kedudukan di setingkat bawah seorang putri yang merupakan pejuang pendamping pahlawan besar kami, Diponegoro," sambungnya.
Meski berasal dari keluarga bangsawan, dengan perlambang baik yang mengiringi kelahirannya, ternyata kelahiran Soekarno sangat menyedihkan. Bapaknya tidak mampu memanggil dukun beranak untuk kelahiran Soekarno.
"Kami terlalu miskin. Satu-satunya orang yang mengurus Ibu adalah sahabat keluarga kami, seorang lelaki yang sudah sangat, sangat tua. Adalah dia, dan tidak ada orang yang lain, yang menyambut kelahiranku di dunia," paparnya.
Saat masih bocah, Soekarno melihat ibunya duduk memandang ke arah timur menantikan datangnya sang fajar.
Soekarno mengingat pertemuan sehari-hari yang penuh kehangatan itu. Dia ingat pelukan ibunya yang penuh kasih sayang seraya mengatakan kepadanya, bahwa dia lahir di saat fajar menyingsing.
"Kita orang Jawa memiliki kepercayaan, bahwa seseorang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah digariskan sebelumnya. Jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra sang fajar," tukasnya.
Demikian ulasan singkat ini diakhiri. Semoga bermanfaat.
Sumber tulisan:
1. Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir I, Tempo Publishing, Buku Elektronik.
2. Dukut Imam Widodo, Sidoardjo Tempo Doeloe, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, 2013.
3. Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno, 2011.
Editor : Edi Purwanto