get app
inews
Aa Text
Read Next : Pasangan Mas Ibin-Elim Jadi Harapan Baru di Pilkada Kota Blitar 2024

Jiwa-jiwa Pemberontak dari Blitar, Nomor Tiga Memberontak Penjajah Belanda

Selasa, 15 Maret 2022 | 15:31 WIB
header img
Sawito Kartowibowo (berjas berdasi) saat menjalani persidangan (Foto : repro)

Blitar Kutho Cilik Sing Kawentar, Edi Peni Gunung Kelud Sing Ngayomi
Blitar Jaman Jepang Nate Gempar, Peta berontak sing dipimpin Supriyadi

Blitar Nyimpen awune sang noto, Mojopahit ning candi Penataran
Blitar nyimpen layone Bung Karno, Proklamator lan presiden kang kapisan

Itulah kutipan lirik tembang Blitar Kang Kawentar. Tembang yang menuturkan keindahan Blitar, tempat para patriot bangsa Indonesia dibesarkan. Blitar memiliki kemegahan Candi Penataran, kebesaran Bung Karno, dan keindahan pantai selatan. Blitar juga punya cerita tentang orang-orang yang aksinya kontroversial dan menggemparkan. Karena tindakannya, pemerintah marah dan melalui instrumen negara menjatuhkan hukuman. Inilah tiga orang Blitar yang punya jurus kontroversial dilansir iNews Kediri.

 

1. Sawito

Nama lengkapnya Sawito Kartowibowo. Ia lahir pada tahun 1932 di Sananwetan, salah satu Kecamatan di Kota Blitar. Pada 6 Oktober 1977, Sawito duduk di atas kursi pesakitan Pengadilan Negeri Jakarta untuk menjalani dakwaan perbuatan makar.

Sawito seorang pegawai negeri sipil departemen pertanian. Ia ditangkap dan diadili usai menerbitkan petisi “Menuju ke Keselamatan" yang berisi lima dokumen pernyataan.

Salah satu pernyataan “Mundur Untuk Maju Lebih Sempurna” berisi desakan kepada Presiden Soeharto untuk meletakkan jabatan. Soeharto dianggap gagal total menjalankan pemerintahan, dan karenanya diminta melimpahkan kedudukan dan tugasnya kepada Mohammad Hatta.

Dalam dokumen pernyataan  “Pemberian Maaf Kepada Bung Karno”, Suwito juga meminta Soeharto meminta maaf kepada Bung Karno. Yang bikin heboh, dokumen yang tersebar luas itu terdapat nama Proklamator RI Moh Hatta sebagai pembuat pernyataan. Hatta juga membubuhkan tanda tangan.

Kemudian juga Prof Dr Buya Hamka selaku Ketua Majelis Islam Indonesia, Kardinal Yustinus Darmoyuwono selaku Ketua MAWI, Raden Said Tjokrodiatmodjo selaku Ketua Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan Indonesia, TB Simatupang selaku Ketua Dewan Gereja-gereja se Indonesia, Drs Singgih dan Sawito Kartowibowo sendiri. 

Penandatangan berlangsung di Bogor, hari Selasa Kliwon, 7 September 1976. Dalam buku “Sawito, ratu adil, guruji, tertuduh”, Sumi Narto menulis, Sawitotidak merasa telah berbuat jahat. Tidak ada gerakan yang menganggu ketertiban umum. Tidak ada makar dengan aksi bersenjata. 

“Tak ada sebutir peluru pun yang meletus. Bahkan tak ada air teh yang tumpah dari cawan,” kata Sawitodengan tersenyum saat menyampaikan eksepsi di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta. Sawito mendapat pembelaan dari Yap Thiam Hien secara probono (gratis)

Mensesneg Sudharmono menyatakan tegas: pemerintah berkesimpulan sudah terang ada usaha gelap ingin menggulingkan Presiden Soeharto dengan cara inkonstitusional.  Sawito dituduh menyiapkan gerakan makar mulai tahun 1972 hingga 1976.

Permohonan Sawito kepada pengadilan untuk menghadirkan sejumlah saksi, mulai Presiden Soeharto, Jaksa Agung Ali Said, Adam Malik, Kepala Bakin Yoga Sugama, Letjen Ali Moertopo, Bung Hatta, SK Trimurti, JenPol Hoegeng Imam Santoso, Uskup Bogor Harsono, hingga Sigit Soeharto (putra Soeharto), ditolak majelis hakim. 

Pada 18 Juli 1978, dalam persidangan yang ke- 28 atau terakhir, majelis hakim menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dipotong masa tahanan kepada Sawito Kartowibowo. 

 

2. Kusni Kasdut

Sesama anggota laskar pejuang kemerdekaan di Malang Jawa Timur pada akhir penjajahan Jepang hingga jelang pertempuran 10 Nopember 1945, memanggilnya Bung Kusni.

Saat Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945, Kusni bergabung ke dalam barisan pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). BKR berdiri empat hari paska Soekarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan.

Kusni Kasdut berjuang di wilayah Malang di mana saat itu para pejuang di jalan-jalan lazim melontarkan pekik merdeka.

Kusni berpostur tidak terlalu tinggi, namun juga tidak pendek. Perawakannya kecil, berkulit sawo matang, dengan gerak-gerik yang gesit. Kusni yang terkenal pendiam dan cenderung pemurung, memlihara kumis tipis.

Kendati demikian, pemuda bersorot mata tajam itu terkenal memiliki solidaritas yang tinggi kepada sesama pejuang.

Di Malang, Kusni terlibat aksi pelucutan tentara Jepang. Ia juga ikut memimpin penyerbuan gudang-gudang senjata, merampas amunisi Jepang, dan lalu membagi- bagikan ke sesama pejuang.

Kusni juga terlibat aktif dalam aksi perebutan aset-aset vital yang sebelumnya dikuasai Jepang. Darah Kusni Kasdut mendidih ketika mendengar tentara Sekutu dan Belanda yang membonceng NICA berusaha masuk Surabaya.

Pada Oktober 1945, dengan berbekal sepucuk bedil thomson rampasan, sebutir granat rakitan produksi Claket (Malang), serta semangat nasionalisme yang membara,ia bertolak ke Surabaya. Kusni terlibat pertempuran 10 Nopember.

“Kusni dan rombongan naik kereta api menuju Surabaya. Sejak waktu masih di Rampal sampai dekat kota (Malang), suasana terus makin panas,”  tulis Parakitri dalam buku “Kusni Kasdut”. 

Perjalanan hidup Kusni Kasdut berubah drastis begitu kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (ReRa) Kabinet Hatta di tubuh militer Indonesia (TNI), tidak mengikutsertakan namanya.

Negara hanya mengakui namanya sebagai bekas pejuang, namun tidak dianggap sebagai tentara dalam tubuh TNI. Kusni merasa menjadi korban kebijakan demobilisasi. Hatinya panas. Ia mengutuk dirinya sendiri. 

“Namun, dia tidak berhenti di sana. Dia memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang  “menghianati” dirinya dan memilih tempat “berseberangan”, “ tulis Daniel Dhakiade dalam “Menerjang Badai Kekuasaan”.

Kusni Kasdut butuh hidup. Ia kemudian memutuskan menjadi perampok dengan merampok Museum Gajah Jakarta. Kusni bersama teman-temannya menggasak perhiasan kuno, dan diringkus di Semarang. 

Sebelumnya ia lebih dulu menculik seorang dokter tionghoa kaya di Surabaya. Kusni meminta uang tebusan. Saat diinterogasi di kantor polisi Semarang, Kusni mencoba kabur. Dalam baku tembak, seorang polisi tewas terkena peluru yang ia lepaskan.

Kusni Kasdut tertangkap dan dijebloskan penjara. Namun berhasil kabur dengan merusak tembok penjara. Ia kembali beraksi. Saat hendak menculik seorang pengusaha milyader keturunan Arab di Jakarta, sang korban yang melawan tanpa sengaja tertembak dan mati di dalam mobil.

Kusni yang kemudian bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di Yogyakarta, diringkus di depan istri dan anaknya. Sejak itu hidup Kusni Kasdut menjadi buronan.

Ia kabur dari penjara ke penjara. Penjara Semarang, Kalisosok Surabaya dan Cipinang Jakarta, semuanya pernah ia terobos. Setiap diinterogasi aparat kepolisian, Kusni Kasdut selalu mengaku berasal dari Blitar.

Kusni mengaku lahir Desember 1929 di Desa Jatituri, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar. Dalam buku “Kusni Kasdut”, Parakitri menulis, Kusni Kasdut bukan berasal dari Blitar maupun Malang.

Kusni Kasdut  lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar. Ayahnya yang bernama Wonomejo atau Wonorejo bukan kepala desa, melainkan petani biasa. 

Sebelum mengawini Kastum dan memiliki anak Kusni Kasdut, Wonomejo seorang duda dengan delapan anak. Kastum sendiri seorang janda satu anak (bernama Kusmilah alias Kuntring) setelah suaminya yang merupakan adik kandung Wonomejo, meninggal dunia.

Wonomejo menikahi Kastum yang sebelumnya adalah adik iparnya, secara diam-diam. Pernikahan sembunyi-sembunyi tersebut membuat warga menggunjingkan keduanya.

Pada 10 November 1979, Presiden Soeharto menolak permohonan grasi Kusni Kasdut. Pada 6 Februari 1980 eksekusi hukuman mati dilaksanakan. Kusni Kasdut menghembuskan nafas terakhir dengan tiga peluru menembus dada dan lima peluru bersarang di perut.

 

3. Jasmani

Pemerintah Kolonial Belanda menamakan peristiwa yang terjadi pada pada tahun 1887 itu sebagai peristiwa Jasmani. Jasmani merupakan nama seorang laki-laki yang diketahui berasal dari Sengkrong, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Ia menyebarkan gagasan Sultan Adil atau Ratu Adil yang akan membebaskan penderitaan rakyat dari penindasan penjajah.

Jasmani dan kelompoknya menyatakan, di wilayah Birowo, Kawedanan Lodoyo akan segera berdiri Kerajaan Sultan Adil. Peristiwa tersebut akan terjadi pada akhir tahun Jawa, yakni tahun Wawu.

Gerakan Jasmani tercatat dalam laporan surat Residen Kediri no 52 tertanggal 18 Oktober 1888, Geheim. Sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam “Ratu Adil” menulis, Jasmani lahir di Sumawana, Kedu Jawa Tengah.

Ia pernah menerima pendidikan agama dengan belajar di pesantren-pesantren di berbagai tempat. “Misalnya di Yogyakarta, Madiun dan Kediri”.

Jasmani juga bertempat tinggal lama dengan Amat Mukiar, seorang guru yang terkenal keramat. Amat Mukiar mendirikan sekolah agama di Sengkrong, Blitar. Ia dikenal menjalani kehidupan bertapa, suka menyepi untuk keperluan berdoa dan semedi.

Banyak orang sakit, termasuk mengalami kesusahan gagal panen ditolongnya. Ia juga membagi-bagikan jimat yang diyakini mengandung tuah kekebalan kepada masyarakat.

Amat Mukiar berperan sebagai propagandis Jasmani. Ia menyatakan akan memangku kedudukan sebagai panembahan (bupati) dengan Jasmani sebagai Ratu Adil Igama.

Gerakan Jasmani mendapatkan pengikut yang luas. Bahkan menyebar hingga wilayah Madiun. Pengikut Jasmani dapat dikenali dari model pakaian yang khusus, yakni baju dan celana biru serta ikat kepala hitam.

“Jasmani sendiri suka muncul berpakaian Jawa di puncak sebuah bukit di Birowo,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam “Ratu Adil”.

Di tempat permunculannnya Jasmani selalu mengibarkan panji bertuliskan huruf –huruf Arab dan ia mengumumkan akan berbaris di bawah panji memelopori pengikutnya.

Gerakan Jasmani teridentifikasi memiliki banyak cabang, yakni diantaranya di Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun dan Malang. Tetapi sebelum Jasmani memberikan isyarat pemberontakan, Pemerintah Kolonial Belanda telah menangkapnya.

“Pembersihan terhadap orang-orang yang berkomplot itu mengakibatkan banyak orang yang ditangkap,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam “Ratu Adil”.

Editor : Edi Purwanto

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut