BLITAR, iNewsBlitar - NII (Negara Islam Indonesia) menjadi ungkapan pembangkangan politik Kartosoewirjo karena kecewa terhadap isi perjanjian Roem Royen yang dinilainya sangat merugikan Indonesia.
Perjanjian Roem Royen berlangsung pada 7 Mei 1949 di mana Republik Indonesia baru empat tahun merayakan hari kemerdekaan.
Perjanjian ditandatangani Muhammad Roem sebagai wakil Indonesia dan Herman Van Roijen sebagai wakil Belanda.
Isinya, pasukan RI dan gerilyawan diperintah untuk menghentikan perlawanan. Di sisi lain sebagian besar wilayah Indonesia diambil alih oleh Belanda.
Dipicu kekecewaan itu, Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo menilai NII waktunya berdiri. Pemerintah Indonesia dianggapnya sudah tidak amanah di dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Seiring tekad bulatnya mendirikan NII, Kartosoewirjo juga menyerang Muhammad Roem.
“Muhammad Roem, sungguh sangat keterlaluan! Tidak punya malu! Menjual negara sampai habis total kepada penjajah!,” demikian dikutip dari buku Kahar Muzakkar & Kartosoewirjo, Pahlawan atau Pemberontak?! (2013)”.
Kartosoewirjo merupakan pendiri laskar Hizbullah dan Sabilillah saat Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama di Jawa Barat 27 Juli 1947.
Imam besar NII yang lahir di Cepu, Kabupaten Blora Jawa Tengah itu memiliki rekam jejak perjuangan yang panjang.
Kartosoewirjo yang memulai aktivitas politiknya di Sarikat Islam (SI) pernah menjadi sekertaris pribadi HOS Cokroaminoto, yakni mertua sekaligus guru politik Soekarno atau Bung Karno.
Selama dua tahun (1927-1929) menjadi redaktur koran Fajar Asia. Kemudian juga memimpin Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII).
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo sudah memperlihatkan sikap politik yang berseberangan dengan pemerintahan Soekarno Hatta.
Ia menolak perjanjian Renville yang berlangsung tahun 1948. Di saat Indonesia dipaksa melakukan gencatan senjata serentak, yakni termasuk menarik pasukan dan gerilyawan dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur yang dikuasai Belanda, Kartosoewirjo tetap memimpin perang gerilya.
Gerakannya banyak didukung oleh para gerilyawan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Saat pasukan Indonesia beserta gerilyawan berhenti melawan penjajah Belanda, pihak tentara Hizbullah dan Sabilillah tetap aktif melawan penjajah sampai berhasil merebut sebagian wilayah di Jawa Barat”.
Langkah perlawanan Kartosoewirjo mengusik Markas Besar Tentara (Sekarang Markas Besar TNI). TNI melalui Divisi Siliwangi meminta laskar Hizbullah dan Sabilillah pimpinan Kartosoewirjo menyerahkan sebagian wilayah Jawa Barat.
Kartosoewirjo menolak dan melawan. Konflik antara Divisi Siliwangi dengan laskar Hizbullah dan Sabilillah tak terelakkan.
Selain merasa sudah melakukan perjuangan yang panjang, Kartosoewirjo telah menyiapkan sebagian wilayah Jawa Barat sebagai wilayah NII. Pada pertengahan bulan Februari 1958, TII (Tentara Islam Indonesia) resmi didirikan di Jawa Barat.
Sebulan berdiri, banyak gerilyawan yang berasal dari Jawa Tengah menyatakan bergabung. TII yang sejatinya gabungan dari tentara Hizbullah dan Sabilillah diyakini Kartosoewirjo akan mampu melawan tentara Divisi Siliwangi.
Kartosoewirjo memproklamirkan NII pada 7 Agustus 1949 atau bertepatan 12 Syawal 1368. Yakni sebuah negara yang berlandaskan Islam. Kartosoewirjo didaulat sebagai presiden dan mendapat dukungan penuh dari TII dan sejumlah kelompok masyarakat.
Dari NII, wilayah Jawa Barat yang menjadi kekuasaannya dikenal dengan nama Darul Islam. Secara bahasa Darul Islam berasal dari kata Dar al-Islam yang bermakna rumah atau kawasan Islam.
Pemberontakan Kartosoewirjo dengan cita-cita NII nya berakhir setelah imam besar DI TII itu dibekuk di kawasan Gunung Rakutak Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Setelah melalui persidangan selama tiga hari (14-16 Agustus 1962), Sekarmaji Marijan Kartosoewirjo menjalani hukuman mati yang dilaksanakan pada 5 September 1962.
Editor : Solichan Arif