get app
inews
Aa Read Next : Capres Prabowo Subianto Mendadak ke Blitar Ziarahi Makam Bung Karno, Ada Apa?

Hari ini Ultah Iwan Simatupang, “Manusia Hotel” Sang Pembaharu Sastra Indonesia

Selasa, 18 Januari 2022 | 03:03 WIB
header img
sastrawan Iwan Simatupang

BLITAR, iNews.id - Hari ini tanggal 18 Januari adalah hari kelahiran sastrawan besar Iwan Simatupang. Iwan Simatupang lahir pada 18 Januari 1928, di Sibolga Sumatera Utara. Andai hari ini masih menghirup udara segar, Iwan Simatupang akan merayakan ulang tahun ke-94.

 

Iwan merupakan seorang pembaharu sastra Indonesia yang pernah dimiliki republik ini. Dari tangannya lahir novel Ziarah, Merahnya Merah, Kering, Kooong serta kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit yang menggemparkan dunia sastra Indonesia.

 

Karyanya yang dianggap ganjil dan menggugah itu, menuai banyak pujian sekaligus kecaman. Iwan seorang penganut filsafat eksistensialisme dan fenomenologi. Ia menyebut novel-novelnya sebagai novel masa depan, tanpa pahlawan, tanpa tema dan tanpa moral.

 

Tokoh utamanya nyaris selalu berjenis kelamin laki-laki, tidak memiliki identitas atau nama pribadi, kecuali sebutan profesi atau alias dan kerap memakai frase panggilan “tokoh kita”.  

 

“Sastrawan ini secara kontroversial telah mengguncang dunia kesusasteraan Indonesia modern menjelang akhir dekade 1960-an dengan novel-novelnya,” tulis Kurnia Jr dalam buku “Inspirasi ?Nonsens!, Novel-novel Iwan Simatupang”.

 

Di sepanjang tahun 1953 hingga 1970, Iwan nyaris tidak berhenti menulis esai. Esai-esainya dikumpulkan dan diberi judul Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air. Ia juga menulis sejumlah sajak yang tidak banyak orang tahu.

 

Korespondensinya dengan sastrawan Yogyakarta, Bambang Soelarto (Penulis naskah drama Domba-domba Revolusi) kumpulan surat politik dan  oleh penerbit kemudian diberi judul Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966.

 

Iwan mulai menggauli dunia sastra pada umur 20 tahun. Iwan seorang jebolan HBS Medan yang pernah menjadi komandan TRIP di Sumatera Utara (1949). Ia memulai menulis pada awal tahun 1950-an dan pernah mengajar sastra di sebuah SMA di Surabaya (1950-1953).

 

Di saat yang sama Iwan tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran di Surabaya. “Kala itu ia tengah belajar di Fakultas Kedokteran, Sekolah Kedokteran Surabaya,“ tulis Kurnia JR.

 

Dalam kumpulan esai Iwan Simatupang “Kebebasan Pengarang dan Masalah Tanah Air”, disebutkan Iwan Simatupang merupakan  mahasiswa Fakultas Kedokteran Unair Surabaya. Sayangnya ia hanya kuliah sampai tahun 1953, dan tidak tamat.   

 

Sekitar tahun 1954-1959, Iwan memperoleh bea siswa ke Eropa dari Sticusa (Stichting Culturele Samenwerking) atau Yayasan kerjasama Indonesia-Belanda. Di Paris, Iwan menekuni filsafat. Di Leiden Belanda, ia belajar drama.

 

Selama belajar di Eropa, Iwan menikahi wanita Indo bernama Cornelia Astrid Van Geem alias Corry. Pernikahannya dikarunia dua anak laki-laki bernama Ion dan Ino. Saat pulang ke tanah air, Iwan Simatupang membawa serta istri dan kedua anaknya.

 

Kematian Corry pada tahun 1960 membuat Iwan Simatupang merasa sedih dan hancur. Dalam keadaan berduka, Iwan memulai menggarap novel Ziarah. Pada manuskripnya ia tuliskan kata persembahan untuk Corry.

 

Novel Merahnya Merah yang dimulai belakangan, terbit duluan pada tahun 1961. Merahnya Merah meraih Hadiah Sastra Nasional pada tahun 1970. Iwan memulai novel Kering ketika merasa muak dengan kemelut politik yang terjadi saat itu (Orde Lama).

 

Iwan tak sepakat dengan prinsip politik adalah panglima. Ia merasa sebal melihat seluruh bidang kehidupan masyarakat di bawah kendali politik. Iwan Simatupang merupakan salah satu dari sejumlah sastrawan yang ikut menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu).   

 

Manikebu merupakan kelompok sastrawan, seniman, pelukis, penulis, pemusik yang berada pada kutub yang berseberangan dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

 

Manikebu mengusung tag line seni untuk seni dengan humanisme universal sebagai basis pemikirannya. Sedangkan para seniman Lekra yang merupakan ounderbow PKI mengusung realisme sosialis.   

 

Dalam perjalanan hidupnya Iwan cukup lama singgah di Hotel Salak, Bogor. Di kamar hotel bernomor 52, hampir seluruh esai Iwan Simatupang lahir. Dalam surat yang ia tujukan kepada HB Jassin (17 Januari 1962), ia menyebut dirinya sebagai “Manusia Hotel”.

 

“Kalau kukaji hidupku sendiri hingga kini, aku sendiri adalah “manusia hotel” itu. Terus menerus di hotel. Uit liefde & leed, karena suka dan terpaksa..,” tulisnya.     

 

Pada 4 Agustus 1970, Iwan Simatupang tutup usia. Ia meninggal dunia di rumah kakak perempuanya di Jakarta, karena mengidap penyakit komplikasi. Sastrawan besar itu meninggal dalam kondisi ekonomi yang parah, selalu mengalami kesulitan biaya hidup, karena tak memiliki pekerjaan yang tetap, dan sering berpindah pekerjaan. blitar.iNews.id

Editor : Solichan Arif

Follow Berita iNews Blitar di Google News Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut