JAKARTA, iNewsBlitar – Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dibentuk sebagai pasukan elite TNI AD. Kopassus yang di awal kelahirannya bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) banyak melahirkan para prajurit pemberani di medan operasi sekaligus berjiwa patriotik.
Salah satu legenda prajurit Kopassus yang terkenal dengan aksi heroiknya adalah Kolonel Inf. Agus Hernoto. Sepak terjang Agus Hernoto di medan pertempuran membuat ciut nyali lawan.
Keberanian laki-laki kelahiran Malang, Jawa Timur, 1 Agustus 1930 menyabung nyawa dalam tugas operasi membuatnya disegani dan dihormati oleh para senior serta komandannya di Korps Baret Merah.
Bahkan, tokoh militer dan intelijen sebesar Jenderal TNI (Purn) Leonardus Benyamin Moerdani atau Benny Moerdani rela dikeluarkan dari Kopassus demi membela Agus Hernoto.
Saat itu, Komandan RPKAD Kolonel Moeng Parhadimoeljo memindahkan Agus Hernoto ke Staf Umum Angkatan Darat III Bagian Organisasi karena cacat seusai pulang dari operasi militer di Papua.
Diceritakan dalam buku biografi berjudul "Kolonel Inf. Agus Hernoto: Legenda Pasukan Komando dari Kopassus Sampai Operasi Khusus”, bahwa Agus Hernoto yang saat itu berpangkat Letnan Dua (Letda).
Ia ditugasi memimpin Operasi Banteng I untuk membebaskan Irian Barat (Papua) dari cengkeraman Belanda. Operasi Banteng I merupakan operasi infiltrasi atau penyusupan ke belakang garis musuh melalui udara.
Operasi militer yang digelar tersebut merupakan tindak lanjut gerakan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikumandangkan Presiden Soekarno pada 9 Desember 1961.
Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto melepas keberangkatan pasukan di Lapangan Udara Lahat, Amahai, Ambon. Ia menyebut misi ini sebagai one way ticket (misi tanpa ada jaminan bisa selamat kembali pulang).
Aksi berani prajurit Kopassus juga membuat heran Belanda. Mereka tidak menyangka, tentara Indonesia berani melakukan penerjunan pagi buta di pedalaman hutan rimba Papua yang terkenal ganas.
Bagi mereka hanya orang-orang gila dan punya nyali nekat yang berani melakukan misi ini.
Pasukan yang ikut dalam operasi ini merupakan hasil rekrutan Benny Moerdani. Agus yang pernah mengikuti pendidikan komandi di Amerika Serikat mengajukan diri untuk ikut dalam operasi dan lantas terpilih sebagai komandan.
”Saat Kapten Benny Moerdani bertanya siapa yang mau jadi komandan dan terlibat dalam operasi ini, saya lihat Pak Agus salah satu dari segelintir yang maju. Sementara yang lain hanya saling menatap satu sama lain,” kata Pratu Tambeng Tamto, anak buah Agus Hernoto dikutip SINDOnews Minggu (4/9/2022).
Tepat pukul 03.30 dini hari waktu setempat, tiga pesawat Dakota C-47 dipimpin Mayor Udara Y.E. Nayoan, Komandan Skuadron 2 Transport lepas landas mengangkut pasukan yang akan diterjunkan di daerah Fakfak.
Sempat terjadi serangan dari pesawat Neptune Belanda, namun Agus Hernoto dan pasukannya berhasil melakukan penerjunan. Menjelang pagi, pasukan Agus mendarat di sebelah utara Fakfak.
Kawasan penerjunan merupakan hutan belantara yang belum terjamah manusia. Akibatnya, tidak sedikit pasukan Agus yang tersangkut di pohon dengan ketinggian 20-30 meter. Tali yang dibawa pasukan ternyata tidak cukup membantu mereka untuk turun.
”Beberapa prajurit ada yang patah kakinya karena meloncat dari pohon yang tinggi,” ucap Tambeng.
Lebatnya belantara Papua juga membuat mereka tidak dapat membedakan siang dan malam. Kondisi itu diperparah dengan rusaknya radio komunikasi. Akibatnya, komunikasi Agus dan pasukannya dengan komando pusat di Ambon terputus.
Kondisi ini membuat Agus bersama anak buahnya bertahan dengan perbekalan seadanya. Setelah sebulan bertahan sekaligus berkonsolidasi di Kampung Urere, Agus dan pasukannya, kemudian memutuskan untuk bergerak.
Namun baru saja meninggalkan kampung tiba-tiba tentara Belanda menyerang. Serangan mendadak itu membuat lima anak buahnya gugur. Pertempuran demi pertempuran sengit melawan tentara Belanda berlangsung semakin intensif. Satu persatu anak buahnya gugur ditembak musuh. Dua anggotanya kembali gugur saat kontak tembak di dekat Kampung Nemboektep. Dalam kondisi terdesak, Agus dan pasukannya terus bergerak sampai mereka menemukan sebuah gubuk.
Namun belum lama beristirahat, serangan tentara Belanda kembali datang. Karena kekuatan yang tak sebanding, sejumlah anak buah Agus gugur dalam pertempuran.
Saat itu juga diputuskan kembali masuk hutan. Tentara Belanda yang tak mau kehilangan jejak, terus mengejar. Agus dan sisa pasukannya terkepung. Dalam baku tembak, sebuah timah panas menembus kaki kirinya.
Kepingan granat yang meledak juga menancapi punggung kanannya yang itu membuat Agus tersungkur seketika. Anak buahnya yang tersisa mencoba membopongnya pergi, namun Agus menolak.
Ia meminta pasukan yang tersisa untuk meninggalkannya. Agus tak ingin pergerakan pasukan terhambat karena harus mengurus dirinya. Pasukan Belanda menemukan Agus dalam kondisi bersimbah darah, dan seketika menawannya.
Ia digelandang ke kamp militer. Dalam interogasi, Agus disiksa. Kakinya yang sudah terluka akibat terkena tembakan, ditusuk bayonet. Namun ia tetap bergeming, menolak membocorkan informasi posisi pasukannya.
“Lebih baik mati daripada membocorkan rahasia negara,” kenang Agus. Akibat siksaan yang dialami kaki kiri Agus hancur. Luka pada kaki itu sampai busuk dan muncul belatung.
Melihat itu tentara Belanda memutuskan mengamputasi atau memotong kaki kiri Agus yang itu membuatnya cacat selama-lamanya. Sementara upaya TNI merebut Papua dari tangan Belanda membuahkan hasil.
Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia dan menyerahkan wilayah tersebut kepangkuan Ibu Pertiwi. Agus yang ditemukan selamat, lantas diterbangkan ke Jakarta untuk menjalani perawatan medis di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Presiden ke 2 RI Soeharto menganugerahi Agus sebuah medali “Bintang Sakti” pada 1987. Bintang Sakti merupakan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan keberanian dan ketabahan tekad melampaui dan melebihi panggilan kewajiban dalam pelaksanaan tugas operasi militer.
Editor : Solichan Arif