JAKARTA, iNewsBlitar - Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta didahului dengan pergulatan pikiran antara Sutan Sjahrir di satu sisi dengan Bung Karno dan Bung Hatta di sisi lain.
Sutan Sjahrir yang sejak 15 Agustus 1945 menginginkan kemerdekaan segera diproklamirkan, telah menyusun teks proklamasi kemerdekaan. Pada malam 16 Agustus 1945 di rumah Laksamana Maeda, teks karangan Sjahrir bahkan sempat didiskusikan.
Malam itu Sjahrir mengambil sikap pasif. Ia menolak bergabung lantaran pemikirannya soal Proklamasi Kemerdekaan sudah tak sejalan dengan Bung Karno dan Bung Hatta. “Namun teks ini (karangan Sutan Sjahrir) langsung dibuang,” tulis Lambert Giebels dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950.
Sutan Sjahrir yang kelak menjadi perdana menteri pertama Indonesia lebih dulu mendengar kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Sjahrir menyampaikan informasi gembira itu kepada Soekarno dan Bung Hatta, namun keduanya masih belum percaya sepenuhnya.
Bersama dengan Subardjo, Bung Karno dan Bung Hatta mengonfirmasi kebenaran kabar Sjahrir kepada Laksamana Maeda. Jawaban Maeda tidak jelas, dengan alasan pihaknya belum mendapat konfirmasi resmi.
Maeda meminta sabar menunggu. Petinggi Angkatan Laut Jepang itu juga menganjurkan Soekarno dan Hatta bekerja seperti biasa di PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) “Soekarno maupun Hatta tampak gelisah dan terguncang serta kecewa,” kata Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution.
Sementara di hari yang sama, yakni 15 Agustus 1945 Sjahrir sudah tidak sabar . Ia kukuh Proklamasi Kemerdekaan harus segera dikumandangkan. Dikutip dari Sjahrir Politik Dan Pengasingan di Indonesia, Sutan Sjahrir mengatakan, semua pesan telah disampaikan ke semua pos penting di Pulau Jawa bahwa proklamasi akan dikumandangkan setelah pukul lima petang hari itu.
Di Batavia atau Jakarta, demonstrasi akan dipusatkan di lapangan Gambir. Ribuan orang telah disiapkan. Stasiun radio dan kantor polisi militer (Kempei) akan direbut. Sjahrir juga sudah menyiapkan naskah Proklamasi Kemerdekaan yang ia tulis sehari sebelumnya, yakni 14 Agustus 1945.
Teks proklamasi kemerdekaan yang akan dibaca Soekarno itu telah disampaikan secara sembunyi-sembunyi kepada para aktifis pergerakan di kantor surat kabar Domei dan stasiun radio untuk diterbitkan dan disiarkan.
Namun, persis sebelum pukul enam petang 15 Agustus 1945, datang kabar dari Soekarno yang intinya belum bisa mengumumkan proklamasi kemerdekaan. “Ia (Soekarno) belum dapat mengumandangkan proklamasi, dan menginginkan penundaan selama sehari”.
Sjahrir seketika kecewa sekaligus marah kepada Soekarno. Lalu bagaimana dengan teks Proklamasi Kemerdekaan yang sudah ditulisnya?. Kepada peneliti asing George Kahin pada 15 Februari 1949, Sjahrir mengatakan, seingatnya teks proklamasi kemerdekaan itu diketik dengan panjang 300 kata.
Isi teks menggambarkan penderitaan rakyat di bawah pemerintahan Jepang, dan sekaligus untuk menyatakan rakyat Indonesia menolak menjadi barang inventaris yang diserahkan dari tangan pemerintahan kolonial satu ke tangan pemerintahan kolonial yang lain.
Teks dirancang tidak untuk mengisolasikan unsur-unsur pro Jepang, tetapi untuk membangkitkan rakyat. “Teks itu, menurut Sjahrir adalah anti Jepang bukan anti Belanda,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir Politik Dan Pengasingan Di Indonesia.
Dalam perjalanannya, teks proklamasi kemerdekaan karangan Sjahrir lantas tidak jelas nasibnya. Sutan Sjahrir sendiri tidak menyimpan salinannya. Begitu pula dengan Des Alwi, anak angkat Sjahrir asal Banda Neira juga mengaku tidak ingat lagi isi dari teks proklamasi tersebut.
Dr Soedarsono, pemimpin Pendidikan di Cirebon mengaku pernah melihat teks proklamasi karangan Sjahrir tersebut. Namun ia tak mampu mengingat seluruh isinya. Yang bisa diingat, teks proklamasi itu memuat kata-kata aneh dan manis seperti masyarakat demokratis.
Sementara dikutip dari Soekarno Biografi 1901-1950, Lambert Giebels menulis teks proklamasi kemerdekaan karangan Sutan Sjahrir sempat didiskusikan di rumah Laksamana Maeda pada malam 16 Agustus 1945. Namun teks itu langsung dibuang karena dinilai terlalu radikal bagi mereka yang mengedepankan kehati-hatian.
“Teks ini sifatnya terlampau anti Jepang, bagi para pemuda kurang anti Belanda,” tulis Lambert Giebels.
Sejarah kemudian mencatat, teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disusun di rumah Laksamana Maeda sebagian besar didiktekan Bung Hatta, dicatat oleh Soekarno dan disepakati bersama. Teks Proklamasi Kemerdekaan yang lalu diketik Sayuti Melik dengan tergesa-gesa itu, pada 17 Agustus 1945 dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta.
Editor : Solichan Arif