get app
inews
Aa Text
Read Next : Kawal Prabowo-Gibran Menangi Pilpres 2024, Khataman Indonesia Maju Dideklarasikan di Sidoarjo

Tradisi Cium Tangan Dihapus dan Cerita Perpecahan Orang Arab di Nusantara

Selasa, 02 Agustus 2022 | 16:15 WIB
header img
Komunitas orang Arab di Nusantara (foto: repro/istimewa)

BLITAR, iNewsBlitar - Perpecahan melanda orang-orang Arab asal Hadhramaut (Yaman) di awal mereka hijrah ke Jawa masa Pemerintah kolonial Hindia Belanda. Perpecahan yang terjadi utamanya dipicu tradisi sosial budaya asal yang masih dipegang erat.

Orang-orang Arab di Nusantara sebagian besar berasal dari Hadhramaut, dan selebihnya dari Hejaz. Di masyarakat Hadhramaut yang berbasis keturunan, golongan sayid menempati struktur kelas sosial tertinggi.

Kelompok sayid mengklaim sebagai dzurriyah (keturunan) Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayidina Husein. Mereka biasa disebut Ba-’Alawi atau Alawi, yang merujuk pada nama Alawi, cucu leluhur klan mereka Ahmad bin Isa yang lebih dari 1.000 tahun hijrah ke Hadhramaut dari Basrah, Irak.

Di Hadhramaut, golongan sayid merupakan bangsawan agama. Tugas dan fungsinya di masyarakat adalah mengurusi kerohanian, kependidikan dan politik, termasuk terlibat dalam kegiatan ekonomi. Mereka memiliki tanah dan secara ekonomi hidup dari berdagang.

Sebagai wujud salam hormat, mencium tangan sayid setiap bertemu dan rutin menziarahi makam sayid yang dianggap suci, sebagai hal yang lazim di masyarakat Hadhramaut. Di tempat baru (Nusantara), orang-orang Arab golongan sayid tetap mempertahankan tradisi feodalnya.

Hal itu tidak disukai orang-orang Arab di luar golongan sayid yang memiliki pemikiran lebih moderat sekaligus radikal.

“Sayid memandang diri sebagai garis keturunan bangsawan yang lebih murni daripada keturunan Nabi Muhammad di negeri-negeri lain,” tulis E Gobee dan C Adriaanse dalam Ambtelijke adviezen van .C. Snouck Hurgronje (1889-1936).    

Di bawah golongan sayid terdapat dua kelompok sosial yang menempati lapisan tengah masyarakat. Mereka adalah syekh dan qabili yang sama-sama mengaku keturunan Qahtan, leluhur semua orang Arab Selatan.

Syekh memiliki kedudukan sosial lebih tinggi dari qabili. Tugasnya sama dengan sayid, namun jumlah populasi syekh lebih sedikit dibanding golongan sayid.

Sedangkan qabili merupakan anggota suku di mana setiap suku memiliki wilayah kekuasaan sendiri yang dipertahankan mati-matian. Sementara lapisan sosial terbawah ditempati masakin atau da’fa yang berarti orang yang lemah. Mereka terdiri dari pedagang, saudagar, buruh, pelayan dan budak yang asal muasalnya tak dianggap penting.

A.S. Bujra dalam The Politics of Stratafication, A Study of Political Change in a South Arabian Town (1971) menduga sebagian besar orang-orang Arab yang hijrah ke Asia Tenggara adalah golongan sayid. “Mereka kebanyakan mampu mengumpulkan uang untuk perjalanan dan membawa sejumlah kecil modal untuk berdagang”.

Pada tahun 1930-an, tercatat ada sebanyak 700 anggota keluarga terkenal al-Attas di Batavia. Mereka adalah sayid dari kota Huraidah. Sedangkan golongan masakin merupakan migran Arab terbesar kedua. Mereka datang ke Hindia Belanda untuk melayani sayid atau syekh.

Sementara meski tersebar merata di hampir setiap komunitas Arab penting di Jawa, kelompok migran syekh dan qabili berjumlah paling sedikit. Komunitas orang-orang Arab banyak tersebar di wilayah Batavia, Surabaya, Semarang, Cirebon, Gresik, Tegal, Pekalongan, Bangil, Bondowoso dan Sumenep.

“Di kalangan sayid, banyak yang menjadi pemuka agama dan pendakwah, yang di beberapa daerah memiliki banyak pengikut di kalangan penduduk setempat. Sebagai keturunan Nabi Muhammad, mereka dihormati,” kata Huub De Jonge dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).  

Didorong orang-orang Arab yang memiliki pemikiran moderat, pada kisaran tahun 1912 dan 1934, golongan sayid dan syekh di Jawa terlibat polemik panas. Perseteruan mereka nyaris menenggelamkan isu Pan Islamisme dan Nasonalisme Arab di Hindia Belanda.

Perselisihan yang terjadi diawali dari berdirinya Jamiat Khair (Perhimpunan untuk Kebaikan) di Batavia pada tahun 1901. Pendirian Jamiat Khair bertujuan merawat budaya Arab dan bahasa Arab di Hindia Belanda.

Untuk mencapai tujuan, organisasi membuka sekolah sendiri sekaligus mengirim pemuda ke negara-negara Islam guna melanjutkan pendidikannya. Dalam perjalanannya, Ahmad Soerkati, seorang guru Jamiat Khair rekrutan dari  Sudan, tiba-tiba menyerang prilaku para sayid di Jawa.

Ia menuding sayid bertindak-tanduk aristokrat dan angkuh. Saat bertemu kepala komunitas Arab di Solo, Soerkati juga mempersoalkan masalah perkawinan dan cium tangan. Ia mengatakan perkawinan antara anak perempuan seorang sayid dengan laki-laki non sayid, diperbolehkan.

Soerkati menggugat pemuliaan diri dan delusi kesucian kaum sayid. Ia menganjurkan tradisi mencium tangan para sayid, sebaiknya dihapuskan. Soerkati yang merupakan pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir, mengajarkan kesetaraan semua mukmin.

Sikap lantang Soerkati mendapat dukungan komunitas Arab non sayid, terutama syekh yang sudah lama ingin lepas dari pengaruh sayid. “Sayid sangat terhina dan merasa terancam,” tulis  Huub De Jonge.

Pada tahun 1914, Ahmad Soerkati memutuskan hengkang dari Jamiat Khair, dan mendirikan Jamiyah al-Islah-wal-Irsyad atau Al-Irsyad (Perhimpunan untuk Reformasi dan Kepmimpinan). Ia hendak mewujudkan emansipasi kelas bawah dalam komunitas Arab di Nusantara.

Al-Irsyad mengutamakan kesetaraan semua orang (sama rata sama rasa), bukan keturunan. Pertarungan antara kubu sayid dan syekh di Hindia Belanda berlangsung sengit. Golongan sayid tidak mendiamkan serangan.

Sayid dengan Rabitah Alawiyahnya (Persatuan keturunan Nabi) menuding golongan syekh sebagai komunis, tukang fitnah dan pelaku bid’ah. Sebaliknya sayid dicela sombong, angkuh dan berprilaku bergelimang dosa.

Pemerintah Kolonial Hindia  Belanda yang sejak awal kurang menyukai kehadiran orang-orang Arab di Nusantara, secara tidak langsung menginginkan perpecahan itu. Snouck Hurgronje yang selalu berfikir menjaga kepentingan kolonialisme Belanda, berusaha menjauhkan pribumi Jawa dari keturunan Arab yang baginya identik dengan Islam.

Snouck merupakan penasihat terpenting khusus Urusan Arab di Hindia Belanda (Islamitischeen Arabische Zaken). Snouck selalu mengaitkan soal Arab dan keturunan Arab di Nusantara dengan gerakan Pan Islam di Hindia Belanda.

Ia khawatir Islam dan gerakan Pan Islamisme akan semakin tersebar luas. Bagi kolonial Belanda, konflik intenal orang-orang Arab akan menenggelamkan isu Pan Islamisme. Premis itu diperkuat keterangan tertulis Godard Arend Johannes Hazeu, yang juga penasihat Kantor Urusan Pribumi dan sekaligus murid Snouck Hurgronje.

“Fanatisme dan Pan Islam, hal ini tidak dapat dibantah, tidak merupakan kata-kata kosong bagi pemerintah kita (Hindia Belanda), soal-soal ini dapat menimbulkan banyak keributan dan kekacauan di Pulau Jawa dan setiap waktu dapat menempatkan pemerintah dalam keadaan yang sangat sulit,” tulisnya. 

Namun yang terjadi di luar perhitungan kolonial Belanda. Pada akhir tahun 1934 atau tepatnya 4 Oktober 1934, sebanyak 39 orang sayid dan syekh progresif muda yang lahir di Hindia Belanda menyatakan tidak lagi memandang Hadhramaut sebagai tanah air mereka.

Mereka memilih Indonesia sebagai tanah air, yakni nama yang sering dipakai kalangan nasionalis untuk menyebut Hindia Belanda. Para pemuda itu mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI) sekaligus berikrar sebagai putra Indonesia yang akan berjuang untuk wilayah dan masyarakat Indonesia.

Pendiri sekaligus pemimpin PAI adalah A.R Baswedan, seorang jurnalis keturunan Arab kelahiran Jawa tahun 1908 yang berjuang keras untuk emansipasi komunitas Arab dan integrasinya ke dalam masyarakat luas Indonesia. 

Mereka mengumandangkan lagu yang mengusung semangat nasionalisme. Indonesia semboyan persatuanku. Indonesia tanah tumpah darahku. Persatuan Arab Indonesia makin lama makin bercahaya dan kita tetap bersetia, menjadi lirik syair lagu perhimpunan PAI.

Lahirnya PAI yang sekaligus membebaskan hubungan sosial orang Arab Indonesia dengan Hadhrami secara berangsur –angsur meredam pertikaian antara kaum sayid dan syekh di Nusantara.

”Perserikatan ini secara eksplisit menentang perpecahan dalam komunitas Arab dan berupaya meningkatkan kerja sama dan solidaritas di kalangan Arab Indonesia,” tulis Huub De Jonge dalam Mencari Identitas, Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950).   

Editor : Solichan Arif

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut