BLITAR, iNewsBlitar.id - Motto atau semboyan pemerintah daerah, khususnya Gemeente atau Kotapraja ternyata sudah berlaku sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Motto yang biasanya muncul bersama simbol (lambang daerah) menjadi representasi daerah dan masyarakat setempat.
Tag line tersebut seringkali memakai bahasa latin atau bahasa Belanda yang tidak semua warga mampu memahaminya. Motto yang ada kemudian hanya bisa dipahami para birokrat pemerintah. Yakni mereka yang sebagian besar berasal dari kalangan priyayi (aristokrat) Jawa dan pernah menempuh sekolah Belanda.
“Seperti juga kita sekarang yang begitu doyan dalam Bahasa Sansekerta, Kawi (Jawa Kuno) atau bahasa daerah yang mustahil semua orang tahu akan arti maknanya. Padahal semboyan atau motto harus mudah dipahami, sehingga kemudian dapat lebih dihayati artinya,” kata Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe.
Munculnya motto Gemeente yang mengikuti lambang kotapraja secara resmi muncul mulai tahun 1928. Dasarnya adalah ordonansi 7 September 1928 dengan kalimat bahasa Belanda yang berbunyi: Tak ada suatu lambang yang berlaku tanpa persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adanya ordonansi mendorong sejumlah kotapraja membuat motto dan lambang kotanya masing-masing.
Misalnya Kotapraja Blitar Jawa Timur mengusung motto Labor Improbos Omnia Vin Cit. Semboyan berbahasa latin itu memiliki terjemahan Kerja Mengalahkan Segalanya.
Pemakaian semboyan Labor Improbos Omnia Vin Cit atau Kerja Mengalahkan Segalanya kemungkinan untuk menunjukkan kepada pemerintah Kolonial Belanda bahwa masyarakat Blitar merupakan masyarakat pekerja keras.
Pada masa kemerdekaan semboyan Labor Improbos Omnia Vin Cit itu kemudian diganti Hurub Hambangun Praja yang berarti Semangat Membangun Negeri atau Daerah.
Dikutip dari website resmi Pemerintah Kota Blitar, berdasarkan Staatsblad van Nederlandsche Indie tahun 1906, sejak 1 April 1906 wilayah ibu kota (Kabupaten Blitar) ditetapkan sebagai Gemeente (Kotapraja) Blitar.
Dalam sejarahnya, pada tahun 1928 Kotapraja Blitar pernah berubah status menjadi kota karsidenan dengan nama Residensi Blitar.
Namun entah kenapa, berdasarkan Stbld nomor 497 tahun 1928, kemudian kembali ditetapkan sebagai Gemeente Blitar. Selain Gemeente Blitar, beberapa Gemeente di wilayah Jawa Timur juga mengusung semboyan daerahnya.
Seperti Malang memakai semboyan Nominor Sursum Moveor yang berarti Malang Namaku Maju Tujuanku. Kotapraja Malang memakai lambang singa dan mahkota. Dwi Cahyono dalam buku Malang, Telusuri dengan Hati menyebut semboyan dan lambang pada masa kolonial Belanda itu, dalam perjalanannya kemudian diganti.
“Tanggal 10 April 1964 dengan keputusan DPRD no 7/DPRDGR sesanti Kota Madya Malang diganti menjadi Malang Kuca Icwara, atau lazim dibaca dalam kalimat lengkap Malangkuceswara (Tuhan Menghancurkan Yang Bathil),” tulis Dwi Cahyono. Kotapraja Madiun mengusung semboyan Montes Prosperitatem Vident, yang artinya Gunung-gunung menjadi saksi akan kemakmurannya.
Kota Batavia (Jakarta) memakai motto Dispereet Niet. Semboyan berbahasa Belanda itu berarti pantang menyerah atau jangan putus asa.
Kemudian Gemeente Bandung, Jawa Barat menggunakan motto berbahasa latin Ex Undis Sol atau jika diBelandakan Uit de Golven de Zon. Artinya Mentari Muncul di Atas Gelombang.
Sedangkan Kotapraja Cirebon memakai motto Per Aspera Ad Astra ( Menuju Bintang melalui Jerih Payah), Kotapraja Padang Sumatera Barat menggunakan motto Salus Populi Suprema Lex (Keselamatan Rakyat merupakan Hukum Tertinggi), dan Kotapraja Medan memakai motto Ef Florescens E Planttie.
Meski sudah diatur jelas, dalam kenyataanya tidak semua kotapraja di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki motto atau semboyan daerahnya.
Sejumlah kotapraja diketahui hanya mencanangkan lambang daerah tanpa mengikutsertakan motto. Sejumlah daerah itu diantaranya adalah Gemeente Palembang, Surabaya, Makassar, Bogor, Salatiga dan Semarang.iNewsBlitar
Editor : Edi Purwanto