BLITAR, iNewsBlitar.id - Presiden Soekarno atau Bung Karno di masa mudanya pernah dijebloskan pemerintah kolonial Belanda di Lapas Sukamiskin Bandung. Namun, hal itu tak mampu memadamkan semangat juangnya. Penjara hanya mampu mengubah penampilan Bung Karno yang sebelumnya gagah, menjadi lebih kurus dan kulit menghitam.
Perubahan fisik itu membuat kedua orang tua Bung Karno, yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman yang tinggal di Blitar, Jawa Timur tak kuasa menemui putranya. Karenanya, selama Bung Karno mendekam di dalam jeruji besi mulai Desember 1929 hingga 31 Desember 1931, keduanya sengaja tak membesuk. "Hati mereka tidak kuat menahan iba," kata Ny Sukarmini atau Ibu Wardoyo, kakak kandung Bung Karno seperti tertulis dalam buku Bung Karno Masa Muda (1978).
Sebelum menghuni Sukamiskin, Bung Karno lebih dulu ditahan di penjara Banceuy dan sempat menuliskan pledoinya yang terkenal: Indonesia Menggugat. Aktivitas Bung Karno di Algeme Studi Club, Bandung dianggap kolonial Belanda membahayakan dan karenanya harus ditahan. Algeme Studi Club merupakan cikal bakal PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berdiri tahun 1927. Menggantikan orang tuanya, Bu Wardoyo membezuk Bung Karno di penjara.
Melihat kondisi adiknya yang kurus dan hitam, sebagai saudara kandung dia juga sedih. Namun perubahan fisik kurus dan hitam yang menurut orang lain sebagai penderitaan, bagi Bung Karno bukan penderitaan. Menjadi kurus dan lebih hitam merupakan cara Bung Karno bertahan hidup di dalam penjara. Dia sengaja membuat kulitnya menjadi hitam dengan bekerja dan bergerak di bawah terik matahari. Tujuannya untuk memanaskan tulang-tulangnya.
"Sebab di dalam sel tidak ada sinar matahari, lembab, gelap dan dingin," demikian yang tertulis dalam buku "Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Soekarno". Bung Karno tak pernah menyerah. Meski disel bersama para pesakitan kasus korupsi, penyelewengan atau penggelapan, dia terus memutar akal bagaimana bisa berkomunikasi dengan dunia luar.
Dia berusaha mengetahui perkembangan pergerakan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Bung Karno memanfaatkan kehadiran Bu Wardoyo dan Inggit Garnasih, istrinya yang rutin membesuk. Terutama Inggit Garnasih yang memasok seluruh kebutuhan hidup Bung Karno selama sang Proklamator itu mendekam di penjara. Dibantu Bu Wardoyo, Inggit kerap mengirim makanan ke dalam penjara. Saat itu, telur menjadi sandi rahasia antara Bung Karno dengan Inggit.
Telur yang dibawa sebagai lauk makanan dipakai untuk mengabarkan situasi yang terjadi di luar. "Bila Inggit mengirim telur asin, artinya di luar ada kejadian buruk yang menimpa rekan-rekan Bung Karno". Sandi itu terus dikembangkan. Agar diperoleh informasi lebih detail, Bung Karno dan Inggit menggunakan tanda berupa tusukan lembut pada permukaan cangkang telur yang dikirim bersama makanan.
Satu tusukan berarti semua kabar baik. Dua tusukan artinya seorang kawan ditangkap dan tiga tusukan berarti telah terjadi penyergapan besar-besaran terhadap para aktivis pergerakan kemerdekaan. Di kesempatan lain, Bung Karno dan Inggit Garnasih memakai Alquran dan buku agama. Inggit yang berkunjung ke penjara dua kali dalam sepekan diijinkan membawa buku agama dan Alquran. Sandi dirupakan tusukan kecil di bawah huruf-huruf yang menjadi semacam aksara braille. Sebelum membaca pesan itu Bung Karno lebih dulu membuka halaman dan mencari surat Alquran sesuai tanggal besuk yang dilakukan.
Sementara Bu Wardoyo memilih menggunakan sandi dengan cara lebih sederhana. Untuk menyampaikan informasi penting kepada Bung Karno, ia memakai bahasa tubuh, seperti menarik telinga, menyilangkan jari, mengedipkan mata, menggerakkan satu tangan, hingga menggerakan bagian muka. Bung Karno memahami makna dari semua kode yang disampaikan kakak kandungnya.
Berbagai sumber sejarah menuliskan, Bung Karno menjalani persidangan selama 19 kali dan akhirnya divonis 4 tahun penjara. Perkara Bung Karno sempat naik banding ke Pengadilan Tinggi (Rand Van Justitie). Namun, vonis 4 tahun penjara tetap tidak berubah. Adanya kritik dan protes dari para ahli hukum di negeri Belanda yang kemudian memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda memangkas hukuman menjadi 2 tahun penjara. Bung Karno menghirup udara bebas pada 31 Desember 1931 dan pada 17 Agustus 1945, bersama Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur Jakarta. Presiden pertama RI yang lahir 6 Juni 1901 itu wafat pada 21 Juni 1970 dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur .
Editor : Edi Purwanto
Artikel Terkait