Haul Bung Karno Pudar, Akankah Grebeg Pancasila ...?

Penulis; Purwanto, Budayawan Blitar
Lukisan Bung Karno saat sungkem kepada ibunda. Sumber: Tangkapan Layar perpusbungkarno.perpusnas.go.id

UNTUK pertama kali, saya melihat Pak Islan Gatot Imbata marah. Dia mantan Kepala Urusan Rumah Tangga Istana Gebang, Blitar, yang pernah berjasa mencetuskan Haul Bung Karno (BK) yang spektakuler itu.

Amarahnya terlontar dalam rapat koordinasi perencanaan Upacara Grebeg Pancasila (UGP) 2022 di Aula Dispudpar Kota Blitar, (22/4). “Jas Merah. Jangan Melupakan Sejarah. Mula-bukane (permulaan) grebeg itu, dilaksanakan di rumah Pak Sosrodiharjo, bapaknya Bung Karno. Mbok tolong, grebeg tahun 2022 dikembalikan ke Istana Gebang”.


Budayawan Blitar, Purwanto.

Pak Is menolak ritual Bedhol Pusaka dilaksanakan di rumah dinas Walikota Blitar seperti 10 tahun belakangan ini. Alasannya, tidak ada akar sejarahnya. Lagian, rumah dinas walikota yang dibangun tahun 1928 itu merupakan kelengkapan pembangunan Taman Kebon Rojo. Gagasan membuat Taman Kebon Rojo adalah menyongsong peringatan ulang tahun Ratu Wilhelmina di Belanda. Haruskah ritual Bedhol Pusaka disebut napak tilas ulang tahun Ratu Belanda ?

UGP adalah upacara tiap tanggal 1 Juni untuk mengenang Pancasila yang dicetuskan Ir Sukarno. Seniman-seniman Blitar menamai Grebeg Pancasila, dengan harapan dapat lestari sebagaimana grebeg-grebeg di Kraton Yogya dan Kraton Solo.

Inilah bom waktu yang meledak. Sejak pergantian Walikota Blitar tahun 2010, aroma kecemburuan sudah muncul. Turunnya Drs Djarot Syaiful Hidayat MS setelah dua periode menjabat, diikuti gerakan de-Djarot-isasi. Program kerja Pemkot tak perlu lagi membebek pada kinerja Walikota Djarot. Cemburu akut.

Para seniman prihatin, karena format UGP juga diacak-acak. Padahal UGP bukan instruksi Djarot, tapi hasil karya seniman. Perubahan paling radikal terjadi saat Presiden Joko Widodo mengikuti GP tahun 2016. Pihak protokoler istana mengharuskan Presiden RI mengikuti upacara dengan standar kepresidenan yaitu menggunakan Tata Upacara Militer (TUM).

Uniknya, tahun berikutnya penyelenggara UGP bersikukuh pakai format TUM padahal tidak ada presiden yang hadir. Akibatnya, corak budaya kharakter UGP pun luruh, menjadi rutinitas upacara resmi oleh aparat birokrasi di Kota Blitar. Sejumlah seniman memilih walk out, dan tidak mau lagi terlibat dengan pelaksanaan UGP. Dan UGP benar-benar mati, akibat terjadi Pandemi Covid 19.

Era Baru

Berakhirnya status PPKM tahun 2022, menandai era baru. Menyongsong UGP tahun 2022 ada beberapa fakta yang layak dipertimbangkan.

Pertama, UGP ke 1 tahun 2002 merupakan rentetan aksi seniman, setelah tahun sebelumnya menggelar Upacara Rakyat 17 Agustus di eks halaman Kecamatan Kepanjen Kidul yang sekarang menjadi Kompleks PIPP. Alasan seniman saat itu, karena rakyat tidak pernah dilibatkan dalam Upacara Peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus oleh Rezim Orde Baru. Greget seniman itu akhirnya menemukan formula, berupa Grebeg Pancasila. Nah, dengan format TUM, ruang partisipasi rakyat menjadi minim. Haruskah sejarah terulang, seniman-seniman membuat upacara baru lagi ?

Kedua, awalnya UGP sangat menarik, karena berbentuk sendratari budaya, yang menjadi magnet media, dan wisatawan, sehingga UGP mampu menyedot perhatian Jakarta, sehingga mendorong lahirnya Hari Pancasila bahkan menjadi hari libur nasional. Andaikata sejak awal menggunakan konsep TUM, kecil kemungkinan acara ini mendapat dukungan luas.

Ketiga, sejak lama beredar isu bahwa kroni-kroni Samanhudi yang mengacak-acak UGP. Naiknya Drs. H.Santosa MPd menjadi Walikota Blitar periode 2019- 2024, digadang-gadang bakal mengembalikan ruh UGP seperti sedia kala. Pertanyaannya, mampukah Walikota Santosa keluar dari bayang-bayang Samanhudi, mengingat dirinya adalah Wakil Walikota periode 2014-2019 yang mendampingi Samanhudi sebelum ditangkap KPK.

Keempat, sejarah telah berbicara, UGP yang berusia ke 22 tahun, sangat rawan diintervensi oleh rezim penguasa. 10 tahun pertama, konsiten sebagai sendratari budaya. Namun 10 tahun kedua, formatnya berubah menjadi upacara semi militer. Tidak ada jaminan, tahun berikutnya menjadi aman dari kocokan oleh pihak-pihak yang bermain. Maka sulit bagi UGP menjadi kegiatan yang dicita-citakan, bisa selanggeng Grebeg Maulud, Sekatenan, atau contoh lokal yang tidak jauh yaitu Jamasan Gong Mbah Pradah di Lodoyo, Kabupaten Blitar.

Ini sinyal yang berbahaya. Masih beruntung pemenang Pilkada Kota Blitar tahun 2019 adalah PDIP yang berafiliasi pada ajaran Bung Karno. Mengingat tanggal 1 Juni merupakan peristiwa mengenang kesejarahan Pancasila versi Bung Karno. Jika, pemenang Pilkada kelak adalah lawan politik PDIP, sangat mungkin UGP bakal dihapus. Alasannya bisa saja, dianggap tidak sejalan dengan syariat agama.

Atmosfir di tubuh Pemkot Blitar saat ini sedang terbelah menyikapi UGP. Ada dua kubu, yaitu kubu pro sendratari vs kubu pro TUM. Inilah potret menggelikan di tengah persiapan peringatan Hari Pancasila tahun 2022.

Getir rasanya, mengenang acara Haul BK yang hebat itu, kini telah pudar kumandangnya. Pak Islan yang menjadi Ketua DPRD Kota Blitar lalu legislator di DPRD Prop Jatim, tidak lagi bisa menangani Haul BK seperti dia laksanakan dulu. Acara itu telah diambil-alih oleh Pemkot Blitar, dan ujungnya bernasib tragis. Naga-naganya, UGP pun tidak butuh seniman lagi, karena pelaksanaanya pun telah diambil-alih oleh Pemkot Blitar.

Pak Islan memang patut marah. Karena kita pandai melupakan sejarah.

Blitar, 24 April 2022

Editor : Edi Purwanto

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network