BLITAR,iNewsBlitar- Sosok Kusni Kasdut terlanjur melekat citra sebagai seorang penjahat besar.
Kusni Kasdut dikenal sebagai perampok yang pernah menyatroni Museum Nasional Jakarta (1963) dan menembak mati seorang polisi di Semarang yang berusaha meringkusnya.
Kusni Kasdut juga pernah menculik seorang dokter Tionghoa kaya di Surabaya serta menghabisi milyader keturunan Arab di Jakarta.
Kusni juga membuat kalang-kabut aparat penegak hukum Indonesia atas ulahnya yang berkali-kali kabur dari penjara.
Sebelum memilih jalan “berseberangan” dengan negara, tidak banyak yang tahu Kusni Kasdut ternyata pernah terlibat aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Kusni pernah tergabung dalam Heiho, prajurit pembantu tentara Jepang.
Di Batalyon Matsumura Malang, Kusni mendapat banyak gemblengan ilmu perang. Ia mendapat pelatihan soal senjata, ilmu penyamaran, bertempur, menyabotase, hingga bergerilya.
Kusni berpangkat Jokotei. Saat Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945, Kusni bergabung ke dalam barisan pejuang Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
BKR berdiri empat hari paska Soekarno-Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan. Kusni berada di Malang, di mana di jalan-jalan para pejuang lazim melontarkan pekik merdeka. Tidak terkecuali Kusni Kasdut.
“Bung Kusni” begitu sesama laskar pejuang kemerdekaan memanggilnya. Kusni berpostur tidak terlalu tinggi, namun juga tidak pendek. Perawakannya kecil, berkulit sawo matang, dengan gerak-gerik yang gesit.
Kusni yang memelihara kumis tipis di atas bibirnya terkenal pendiam dan sekaligus pemurung. Kendati demikian, pemuda bersorot mata tajam itu terkenal memiliki solidaritas yang tinggi kepada sesama pejuang.
Di Malang, Kusni terlibat aksi pelucutan tentara Jepang. Ia juga ikut memimpin penyerbuan gudang-gudang senjata, merampas amunisi Jepang, dan lalu membagi- bagikan ke sesama pejuang.
Kusni juga terlibat aktif dalam aksi perebutan aset-aset vital yang sebelumnya dikuasai Jepang. Darah Kusni Kasdut mendidih ketika mendengar tentara Sekutu dan Belanda yang membonceng NICA berusaha masuk Surabaya.
Saat itu bulan Oktober 1945. Kusni Kasdut yang membekali diri dengan sepucuk bedil thomson rampasan, sebutir granat rakitan produksi Claket (Malang), serta semangat nasionalisme yang membara, bertolak ke Surabaya.
“Kusni dan rombongan naik kereta api menuju Surabaya. Sejak waktu masih di Rampal sampai dekat kota (Malang), suasana terus makin panas,” tulis Parakitri dalam buku “Kusni Kasdut”.
Kusni Kasdut berasal dari Blitar. Begitu cerita yang terlanjur tersebar luas. Kelak saat diinterogasi aparat kepolisian Semarang, Jakarta dan Surabaya atas aksi kejahatan yang dilakukan, ia juga menyampaikan cerita serupa.
Kusni Kasdut mengaku lahir Desember 1929 di Desa Jatituri, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.
Daniel Dhakidae dalam “Menerjang Badai Kekuasaan” mengatakan : Mencari tahu kapan Kusni Kasdut dilahirkan sama dengan mencari jarum dalam jerami. Hampir tidak ada catatan yang bisa dipercaya untuk menentukan tanggal lahirnya.
“Namun untuk keperluan resmi tanggal lahir yang dicatatnya sendiri adalah 29 Desember 1929," tulis Daniel Dhakidae.
Kastum atau akrab dipanggil Mbok Cilik adalah nama ibu Kusni Kasdut. Seorang penjual pecel di Gang Jangkrik, Wetan Pasar, Malang.
Cerita Kusni Kasdut berasal dari Blitar, bersumber dari Kastum. Kastum menggungkapkan hal itu saat Kusni bersikeras hendak bertempur di Surabaya.
Kusni Kasdut sempat marah. Ia tak sepenuhnya mempercayai cerita ibunya. Kusni sulit mempercayai keterangan bapaknya seorang Lurah Jatituri yang mati karena disiksa Jepang.
Beragam pertanyaan berputar di kepalanya : Kenapa selama ini dirahasiakan? Ada apa? Kenapa ia dan ibunya tidak bertempat tinggal di Blitar saja? Kenapa harus memilih hidup dengan menyewa rumah di Malang?.
Kusni Kasdut sempat mendatangi Desa Jatituri, Blitar. Ia menemui kepala desa di sana dan mendapat jawaban yang mengecewakan.
Nama- nama yang diutarakan ibunya, tidak pernah ada. Kecurigaan dirinya adalah anak haram, makin berlipat. Kusni menumpahkan kecewanya dengan mengancam tak sudi pulang sebelum ibunya bercerita yang sebenarnya.
Dalam buku “Kusni Kasdut”, Parakitri menulis, Kusni Kasdut memang bukan berasal dari Blitar. Kusni juga bukan dari Malang.
Kusni Kasdut lahir di Desa Bayan Patikrejo Kabupaten Tulungagung, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kabupaten Blitar. Ayahnya yang bernama Wonomejo atau Wonorejo, bukan kepala desa.
Wonomejo seorang petani biasa. Sebelum mengawini Kastum dan memiliki anak Kusni Kasdut, ia seorang duda dengan delapan anak.
Kastum sendiri seorang janda satu anak (bernama Kusmilah alias Kuntring) setelah suaminya yang merupakan adik kandung Wonomejo, meninggal dunia.
Wonomejo menikahi Kastum yang sebelumnya adalah adik iparnya, secara diam-diam. Pernikahan sembunyi-sembunyi tersebut membuat warga menggunjingkan keduanya.
Apalagi Kastum kemudian diketahui mengandung dan melahirkan Kusni Kasdut. Wonomejo meninggal dunia karena sakit ketika Kusni berumur enam tahun.
Kastum bersama Kuntring dan Kusni Kasdut kecil, sempat singgah di Desa Jatituri, Blitar, sebelum memutuskan bertempat tinggal di Malang. Di Jatituri Kastum menginap di rumah seorang teman yang sudah dianggapnya seperti kerabat.
Kastum menitipkan Kuntring, dan lalu ia dan Kusni kecil berangkat ke Malang. Kastum bertahan hidup dengan berjualan nasi pecel di teras rumah kontrakan di Gang Jangkrik, Wetan Pasar Malang.
Saat itu bulan Oktober 1945. Rombongan Kusni Kasdut tiba di Surabaya. Rombongan pejuang Malang tiba di Surabaya sebelum terjadi insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato.
Dr Moestopo, seorang doktor yang juga dokter gigi kelahiran Ngadiluwih, Kediri bekas komandan PETA Sidoarjo, memimpin perlawanan arek-arek Surabaya.
Bung Tomo di siaran RRI terus berorasi, membakar semangat perjuangan. Pekik merdeka atau mati bergelora di mana-mana.
Brigadir Jendral AWS Mallaby Komandan Brigade 49 Divisi India Ke- XXIII, tewas dalam sebuah insiden di dekat Jembatan Merah. Inggris marah dan mengultimatum ejuang untuk menyerah, atau Surabaya akan diluluhlantakan.
Para pejuang melawan. Pada 10 November 1945, tepat pukul 06.00 Wib, pertempuran dahsyat yang kelak dikenang sebagai Hari Pahlawan, meletus. Semua melawan.
Termasuk pasukan Kusni Kasdut yang sejak tiba di Surabaya memakai bekas gedung sekolah di wilayah Sawahan sebagai kubu pertahanan, melawan.
Perang dengan kekuatan tempur yang tidak seimbang itu berlangsung tiga minggu. Inggris menghujani bom dari pesawat. Di buku “Kusni Kasdut”, Parakitri menulis pada akhir Minggu pertama, Sawahan terkepung.
“Kusni dan brigade Malang serta arek-arek Surabaya bertahan di dalam gedung sekolah”.
Inggris terus membombardir. Beruntung, pada saat kritis itu datang bala bantuan yang menyerang pasukan Inggris dengan lemparan granat dari belakang. Pasukan Inggris kocar kacir, mundur, menjauhi gedung sekolah.
Kusni Kasdut bersama pejuang lain selamat dan melanjutkan pertempuran. “Dia (Kusni Kasdut) terlibat dalam hampir semua pertempuran besar di Surabaya,” tulis Daniel Dhakidae dalam “Menerjang Badai Kekuasaan”.
Selama tiga minggu terlibat dalam pertempuran hebat. Kusni Kasdut bersama pejuang lain akhirnya terpaksa mundur dan keluar dari Surabaya. Mereka mengubah taktik perang gerilya.
Sekutu dan Belanda berhasil menduduki Surabaya. Kusni Kasdut bergeser kembali Malang. Ia mendengar dari pecakapan antar sesama pejuang, Belanda juga sudah menduduki Jakarta.
Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi. Kusni Kasdut yang bertahan di wilayah Kota Malang, terdesak ke wilayah lebih dalam. Kusni bersama pejuang lain bertahan di Kepanjen.
Ia dan pasukannya beberapa kali terlibat bentrok dengan patroli pasukan Belanda. Pada periode 1948-1949. Kusni Kasdut sempat berada di Yogyakarta yang saat itu ibu kota Republik Indonesia.
Kusni berharap bergabung dengan Barisan Bambu Runcing yang kabarnya hendak dikirim bertempur ke Bandung, Jawa Barat. Namun gagal.
Kusni kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan khusus laskar Brigade Teratai. Ia berposisi sebagai Staf Pertempuran Ekonomi, departemen ekonomi.
Pasukan khusus yang bertangsi militer dengan nama Asrama Pandu Teratai ini beranggotakan orang -orang dari dunia gelap. Pelacur, germo, garong, perampok dan pencuri.
Dr Moestopo, pemimpin perang Surabaya yang mendirikan Brigade Teratai. Saat itu Mostopo menjabat penasihat presiden bidang kemiliteran dan berkantor di ibukota Yogyakarta.
Moestopo yang selalu berapi api meyakini kekuatan revolusi tidak terletak pada kelengkapan peralatan. Tapi lebih pada kekuatan rakyat.
Kusni Kasdut di Brigade Teratai berada di bawah komando seorang perempuan berpangkat letnan kolonel.
Kusni menjalankan tugasnya merampoki harta orang orang kaya untuk kemudian dipakai sebagai dana perjuangan. Di Gorang Gareng, Plaosan, Magetan (Saat itu Madiun), Kusni Kasdut menggasak perhiasan serta intan berlian milik pedagang Tionghoa kaya.
Kusni Kadut yang memiliki julukan “Bung Kancil” sempat tertangkap pasukan Belanda dan disiksa.
Ia bersama pejuang lain dijebloskan ke dalam tahanan yang berlokasi di Pabrik Gula, Kebonagung, Malang. Kusni berhasil kabur dengan merusak engsel terali besi.
Ia juga berhasil membebaskan par pejuang yang sebelumnya sama-sama ditahan. Kusni Kasdut dalam peristiwa itu kakinya tertembak yang membuatnya terpaksa bersembunyi.
“Dia bertempur untuk terakhir kalinya di Blitar, Jawa Timur kira kira pada pertengahan 1949, sedikit sebelum gencatan senjata menuju Konferensi Meja Bundar, KMB, di Den Haag,” tulis Daniel Dhakidae dalam "Menerjang Badai Kekuasaan".
Nasib baik tidak berpihak. Kabinet Hatta mengeluarkan kebijakan politik ReRa, yakni Reorganisasi dan Rasionalisasi di tubuh militer Indonesia. Pemerintah mendata ulang tentara di TNI.
Termasuk para pejuang dalam laskar-laskar juga diseleksi. Brigade Teratai tempat Kusni Kasdut bernaung dalam perjuangan kemerdekaan, tidak lolos seleksi.
Setelah menunggu selama setahun, Kusni mendapat selembar surat pernyataan bekas pejuang dari Rampal, Malang. Negara hanya mengakuinya sebagai bekas pejuang. Ia juga mendapat sedikit uang pemulihan.
Namun negara menyatakan dirinya bukan tentara. Kusni merasa menjadi korban kebijakan demobilisasi. Hatinya panas. Ia mengutuk dirinya sendiri.
“Namun, dia tidak berhenti di sana. Dia memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang "menghianati" dirinya dan memilih tempat “berseberangan”," tulis Daniel Dhakiade.
Faktanya selembar surat pernyataan bekas pejuang itu tidak banyak membantu hidup Kusni Kasdut.
Surat tersebut tidak berguna saat Kusni Kasdut mondar mandir mencari lowongan kerja. Malang, Surabaya, dan Jakarta ia datangi untuk mendapat pekerjaan yang pantas. Termasuk orang orang yang dikenalnya di masa revolusi fisik ia temui. Semua tidak memberi kesempatan untuknya.
Kusni Kasdut di sisi lain melihat negara yang kemerdekaanya pernah ia perjuangkan dikuasai orang orang yang tidak ia kenal. Orang orang kaya. Para politisi yang keluar masuk hotel mewah. Sementara di jalan jalan ia menyaksikan pemandangan kemiskinan rakyat semakin parah.
Kusni memutuskan mengambil tempat “berseberangan” dengan negara. Ia butuh hidup dan menghidupi keluarganya.
Di kelompoknya yang berisi orang-orang yang kemudian dikenal sebagai penjahat, Kusni memakai nama Kasdut.
Kusni Kasdut merampok Museum Gajah dengan menggasak perhiasan kuno, namun kemudian ditangkap di Semarang.
Sebelumnya ia lebih dulu menculik seorang dokter Tionghoa kaya di Surabaya. Kusni meminta uang tebusan. Saat diinterogasi di kantor polisi Semarang, Kusni mencoba kabur.
Dalam baku tembak, peluru yang ia lepaskan menewaskan seorang polisi. Kusni Kasdut tertangkap dan dijebloskan penjara. Namun berhasil kabur dengan merusak tembok penjara.
Ia kembali beraksi. Saat hendak menculik seorang pengusaha milyader keturunan Arab di Jakarta, sang korban yang melawan tanpa sengaja tertembak dan mati di dalam mobil.
Kusni yang kemudian bersembunyi di sebuah rumah kontrakan di Yogyakarta, diringkus di depan istri dan anaknya.
Sejak itu hidup Kusni Kasdut menjadi seorang buronan. Ia kabur dari penjara ke penjara. Penjara Semarang, Kalisosok Surabaya dan Cipinang Jakarta, semuanya pernah ia terobos.
Kusni sempat berusaha membersihkan nama dengan menyusup ke kapal laut yang hendak berlayar dari Tanjung Perak Surabaya menuju Manado.
Ia berniat bergabung menjadi sukarelawan perang melawan pemberontak PRRI Permesta. Namun harapannya gagal. Kusni malah kembali dijebloskan penjara.
Ia mengalami keputusasaan dalam hidup. Di penjara Kusni masuk Katolik dengan nama baru Ignatius Waluyo. Ia merasa dirinya telah terlahir kembali sebagai manusia.
“Apakah sesungguhnya yang kukejar selama ini? Harta?. Telah kuserahkan di Madiun. Tujuh kilo emas-berlian. Uang? Telah kuhamburkan di Surabaya dan telah sia sia,” tanya Kusni seperti ditulis Parakitri dalam buku “Kusni Kasdut”.
“Di Semarang. Kehormatan? Kakiku adalah medali yang tak tercabut kekuasaan? Apakah itu? Apakah itu?,” tambahnya.
Revolusi yang mengajari Kusni Kasdut merampok. Kusni sempat bertanya tanya. Apa bedanya merampok di Gorang Gareng Madiun dengan museum negara.
Apa bedanya merampok keluarga Tionghoa, keluarga Indonesia dan merampok museum milik rakyat Indonesia?.
“Dia sampai kepada kesimpulan dan keyakinan penuh bahwa tidak ada bedanya. Berlian adalah berlian. Merampok adalah merampok,” tulis Daniel Dhakidae dalam “Menerjang Badai Kekuasaan”.
Pada 10 November 1979, Presiden Soeharto menolak permohonan grasi Kusni Kasdut. Hari itu tanggal 6 Februari 1980. Eksekusi atas vonis hukuman mati oleh regu tembak dilaksanakan.
Kusni Kasdut menghembuskan nafas terakhir dengan tiga peluru menembus dada dan lima peluru bersarang di perut. Kusni meninggalkan dua anak, seorang istri serta seorang mantan istri.
Editor : Solichan Arif
Artikel Terkait