BLITAR, iNewsBlitar.id – “Pagupon omahe doro, melu Nippon tambah sengsoro” yang artinya “pagupon rumahnya burung dara, ikut Nippon (jepang) tambah sengsara”. Kidungan dari Cak Durasim pada waktu pentas di Keputran Kejambon Surabaya pada Tahun 1943. Pasukan Jepang yang merasa tersindir lantas menangkap Cak Durasim. Dia disiksa oleh tentara Jepang dan akhirnya mereka menyeretnya ke penjara.
BACA JUGA:
Pemimpin Pemberontakan PETA Blitar yang Suka Memancing Amarah Ratu Kidul
Ia meninggal dunia 7 Agustus 1944. Cak Durasim dimakamkan di Makam Islam Tembok. Berkat keberanian itu, namanya dikenang sepanjang masa sebagai seniman serta pahlawan. Hari ini, 14 Februari diperingati sebagai hari Pemberontakan PETA di Kota Blitar pada 14 Februari 1945 dipimpin oleh Sudancho Supriyadi.
Cak Durasim dan Sudancho Soepriyadi (EYD, Supriyadi) adalah dua tokoh satu masa. Keduanya tumbuh perkasa digembleng oleh kesengsaraan penjajahan Jepang. Keduanya melawan Jepang dengan cara berbeda. Cak Durasim berjuang dari panggung ke panggung ludruk. Supriyadi mengangkat senjata mengusir Jepang dari bumi Aryo Blitar.
Kidungan Cak Durasim sangat melegenda dan membuka mata rakyat kecil. Parikan itu mengungkap fakta bahwa penjajah Jepang lebih kejam dan bengis. Parikan itu pula yang tersebar dari mulut ke mulut laksana status Facebook era kekinian. Semangat perlawanan yang dicetuskan Cak Durasim, bagai benih yang ditancapkan pada tanah subur perjuangan Bangsa Indonesia. Boleh saja Cak Durasim meninggal dunia pada 7 Agustus 1944, tapi percikan api perlawanan dilanjutkan putra putri pertiwi. Setelah era perlawanan Cak Durasim, setahun kemudian muncul perlawanan terhadap Jepang.
Pemain Drama Kolosal Pemberontakan PETA Blitar menggunakan masker saat pentas di depan kompleks bekas markas PETA, Kota Blitar, Senin (14/2/2022)
Pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar, di bawah pimpinan Supriyadi melakukan pemberontakan pada 14 Februari 1945 atau tepat 76 tahun silam. Pemberontakan ini berhasil dipadamkan penjajah dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA maupun Heiho.
Dikutip Okezone dari buku ‘Pahlawan Nasional: Supriyadi’ yang dituliskan Ratnawati Anhar, Supriyadi yang kala itu menjabat Komandan Peleton (Danton) I Kompi III/Bantuan di Daidan PETA Blitar berpangkat Sudancho (setara letnan), memberontak karena tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat, terutama para romusha (pekerja paksa) akibat perlakuan Jepang.
Sebelum pemberontakan meletus, rapat rahasia digelar di Asrama Daidan Blitar, tepatnya di kamar Budancho Halir Mangkudijaya, dengan dihadiri Supriyadi, Sudancho Muradi (Danton II Kompi III/Bantuan), serta dua anggota PETA lainnya. Pertemuan rahasia ini untuk lebih dulu menyepakati adanya pemberontakan.
“Bagaimana kalau kita mengadakan pemberontakan melawan tentara Jepang?” seru Supriyadi dalam buku tersebut, yang kemudian dijawab “Setuju!” oleh rekan-rekannya.
Baru setelah beberapa kali rapat perencanaan pada 1944, mereka berencana mengatur strategi yang bahkan, sempat mencanangkan memancing pemberontakan pula di Daidan Tuban dan Bojonegoro.
Meletusnya Pemberontakan Blitar
Februari 1945, peluru-peluru dan sejumlah granat sudah dibagikan. Susunan kelompok juga sudah dibentuk dengan dipimpin sendiri oleh Supriyadi dengan komandan pertempurannya Muradi. Rencananya jika pemberontakan berhasil di Blitar, mereka akan segera bergerak ke Madiun, Tuban, dan Bojonegoro. Kepada Bupati dan Kepala Kepolisian Blitar, Supriyadi lebih dulu melakukan kontak dengan menyatakan sejumlah anggota PETA akan latihan besar-besaran dengan peluru tajam. Tujuannya agar rakyat sekitar tidak panik.
Tepat pukul 03.30, Supriyadi meneriakkan: “Hajimeee!!!! (mulai!)” yang jadi penanda anak-anak buahnya bergerak ke kantor Kempeitai (Polisi Khusus Jepang) Blitar dan menyerang dari tiga jurusan. Serdadu Jepang dan Kempeitai sempat terkejut meski sayangnya pemberontakan itu bisa dipadamkan.
Pemadaman pemberontakan itu dilakukan dengan upaya yang cenderung persuasif. Beberapa unit PETA lainnya dari Kediri dan Malang, didatangkan untuk membujuk kelompok-kelompok yang memberontak untuk menyerah. Seperti pada 21 Februari 1945 petang, Muradi dan kelompoknya “terpaksa” berunding dengan Kolonel Katagiri di daerah Ngancar.
Mereka “ditawarkan” untuk mau kembali ke Daidan Blitar, tapi Muradi memberi syarat bahwa Jepang takkan menghukum kelompok-kelompok pemberontak yang sudah menyerah. Namun ternyata Jepang ingkar janji. Sejumlah pasukan pemberontak yang tersisa dan tertangkap, disiksa hingga dipenggal Jepang di Ereveld, Pantai Ancol, Jakarta Utara.
Teka-Teki Menghilangnya Supriyadi
Lalu bagaimana Supriyadi? Beliau menegaskan enggan menyerah seperti yang lain dan memilih dibunuh bangsa sendiri dari pada menyerah. Supriyadi menyatakan hal itu saat tercatat berada di rumah Kepala Desa Sumberagung yakni Harjomiarso pada 18 Februari 1945. Terakhir kali Supriyadi terlihat adalah pada 21 Februari pukul 02.00, ketika meninggalkan Desa Sumberagung ke arah barat dan rencananya menuju Trenggalek, tempat kelahirannya.Namun setelah itu Supriyadi hilang secara misterius.
Hingga kini hilangnya sosok pencetus pemberontakan itu tetap jadi misteri dan meninggalkan beberapa versi kisahnya. PETA sendiri merupakan satu dari bibit cikal bakal TNI yang ada saat ini. Pasukan ini dibentuk Jepang saat menduduki Indonesia (dulu Hindia Belanda) dengan tujuan, sebagai kekuatan cadangan seandainya sekutu masuk ke Indonesia di masa Perang Dunia II Front Pasifik.
Tentara PETA dibentuk pada 3 Oktober 1943, berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan Panglima Tentara Ke-16, Letnan Jendral Kumakichi Harada sebagai Tentara Sukarela.iNews Blitar
Editor : Edi Purwanto
Artikel Terkait