BLITAR, iNews.id - Korupsi masih menjadi isu yang paling banyak terjadi di Negeri ini. Meskipun sudah ada lembaga antirasuah yang berumur sudah hampir dua dekade dan bertugas khusus untuk menangani kasus korupsi, namun tetap tidak ada hukuman yang membuat para koruptor merasa jera.
Selain karena adanya kasus korupsi yang masih belum terusut, tingkat korupsi di Negara ini juga terus meningkat lantaran tidak adanya hukuman berat bagi para koruptor. Hal tersebut juga diperkuat karena belum adanya vonis hukuman mati dan eksekusi bagi koruptor seperti halnya pelaku pembunuhan berencana maupun tersangka terorisme.
Padahal dampak dari kasus korupsi tersebut, dirasa sangat merugikan keuangan negara, mengganggu roda perekonomian sehingga semua lapisan masyarakat merasa dirugikan.
Secara umum, pelaku korupsi di Indonesia mendapatkan vonis dan hukuman penjara hanya separuh dari waktu tuntutan yang diajukan. Hal tersebut nyatanya masih bisa berkurang ketika para koruptor juga melakukan upaya hukum lebih lanjut. Keadaan seperti ini memperlihatkan seolah-olah koruptor mendapatkan keistimewaan.
Saat menjalankan hukuman di lembaga pemasyarakatan pun banyak dari mereka yang masih menikmati hidup nyaman dan bebas berkomunikasi dengan dunia luar. Hukuman terhadap mantan jaksa, Pinangki Sirna Malasari misalnya, dipangkas dari 10 tahun penjara menjadi hanya hanya 4 tahun penjara. Dengan beragam ‘’obral’’ remisi yang kerap diberikan kepada koruptor, dan privilege lainnya, bisa jadi mantan jaksa yang tersangkut kasus buron terdakwa korupsi cessie (hak tagih) eks Bank Bali, Djoko S Tjandra itu tak perlu menikmati dinginnya jeruju besi hingga 4 tahun.
Potongan hukuman itu diberikan oleh hakin Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena Pinangki dinilai menyesali perbuatannya. Dalam putusan pengadilan tinggi, salah satu pertimbangannya yakni Pinangku masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik.
Masyarakat juga terhenyak saat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mengabulkan banding terdakwa Djoko Tjandra dalam kasus suap status red notice yang juga menjerat Jaksa Pinangki. Pengadilan mengurangi hukuman Djoko dari semula 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 3 tahun 6 bulan. Sebelumnya, majelis hakim tindak pidana korupsi memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara. Bahkan salah satu hakim agung yang menangani peninjauan kembali (PK) yang diajukan Djoko S Tjandra, Eddy Army menilai, Djoko Tjandra layak dilepaskan karena yang diperbuatnya adalah perkara perdata.
Terlihat ada kesenjangan antara vonis dengan aspirasi masyarakat yang menginginkan koruptor dihukum berat.
Dari catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 20 koruptor yang mendapatkan keringanan hukuman selama periode 2019-2020. Keringanan yang diberikan bahkan hingga potongan 3 tahun penjara. OC Kaligis misalnya, dalam kasus suap PTUN Medan, hukumannya dipotong menjadi 7 tahun dari sebelumnya 10 tahun.
Sedangkan mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dalam kasus suap, dipotong menjadi 4 tahun dari sebelumnya 5,5 tahun penjara.
KPK pernah menjerat advokat bernama Lucas karena dianggap merintangi penyidikan terhadap Eddy Sindoro, bekas petinggi Lippo Group yang menjadi tersangka penyuap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman pelaku menjadi 5 tahun. Di tingkat kasasi, MA kembali memberikan diskon menjadi hanya 3 tahun saja.
Mantan Menteri Sosial dan politisi Partai Golkar Idrus Marham dihukum bui tiga tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1. Namun, MA memberikan diskon menjadi 2 tahun penjara. Idrus pun sudah menikmati udara segar.
Komitmen pemberantasan korupsi di Tanah Air terus mendapat sorotan. Vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor banyak dipertanyakan karena dinilai masyarakat terlalu ringan. Vonis tersebut tidak sebanding dengan kerugian dan penderitaan yang mereka ciptakan.
Maraknya kasus korupsi menunjukkan hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor belum memberikan efek jera. Karenanya perlu ada terapi kejut bagi para koruptor dengan mengabulkan tuntutan vonis mati sesuai dengan dakwaan jaksa dan fakta hukum. Sehingga putusan itu bisa menjadi yurisprudensi agar para pejabat publik gemetar saat hendak melakukan tindak pidana korupsi. iNews Blitar
Editor : Robby Ridwan
Artikel Terkait