BLITAR, iNewsBlitar.id - Pesarean Djojodigdan di Kota Blitar selalu menjadi tempat mengungsi warga tiap Gunung Kelud meletus. Mbah Lasiman, penjaga pesarean masih ingat bagaimana wajah para pengungsi bersimbah keringat. Kepala mereka menengadah ke langit malam, menyaksikan kilat yang tidak berhenti menyambar-nyambar.
Meski was-was, warga percaya lahar panas, material batu bercampur kerikil serta pasir yang dimuntahkan Kelud, tak akan berani menyentuh kediaman Eyang Djojodigdo. “Lahar Kelud larinya ke utara. Tidak ke selatan,” tutur Mbah Lasiman penjaga pesarean Djojodigdan Kota Blitar.
“Karena lahar takut sama eyang (Djojodigdo)”. Sejarah mencatat, pada tahun 1901 dan 1919 Gunung Kelud meletus. Gunung setinggi 1.731 meter itu mengamuk. Material bersuhu tinggi yang dimuntahkan merenggut banyak nyawa. Pada 14 Februari 2014 Kelud kembali erupsi. Jutaan kubik abu vulkanik sempat melumpuhkan sebagian besar aktivitas di wilayah Kediri dan Yogyakarta.
Sebelumnya pada tahun 2008, erupsi Kelud memunculkan kubah (anak kelud). Letusan dahsyat Kelud juga berlangsung pada tahun 1965 dan tahun 1990. Material batu mencelat ke angkasa, dan saat jatuh meluluh lantakkan banyak bangunan rumah. Tidak sedikit warga yang tewas akibat tertimpa material atau tertindih bangunan rumah. Namun warga yang mengungsi di kediaman Eyang Djojodigdo, selamat.
“Hanya hujan debu. Tidak sampai ada lahar,” kata Mbah Lasiman yang sudah sebelas tahun menjaga Djojodigdan. Djojodigdan merupakan nama kediaman Patih Kadipaten Blitar Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo atau Eyang Djojodigdo. Konon Djojodigdo memiliki cemeti atau cambuk sakti bernama Kiai Samandiman yang mampu mengusir lahar Kelud.
Pernah suatu ketika lahar hendak menerjang pendopo Djojodigdan. Namun ajaib. Begitu Kiai Samandiman dilecutkan, lahar panas tiba-tiba menyingkir dengan sendirinya. “Eyang juga rutin menggelar ritual rampogan macan sebagai tolak balak amukan Kelud,” tutur Mbah Lasiman.
Pawadiman Djojodigdo lahir 28 Juli 1827 di Kulon Progo, Yogyakarta. Ia lahir di tengah berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Kartodiwirjo, ayah Djojodigdo seorang Adipati Nggetan, Kulon Progo yang bergelar Raden Mas Tumenggung (RMT). RMT Kartodiwirjo berpihak kepada Diponegoro, dan bahkan turut bergerilya.
Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda membuat karir Kartodiwirjo di pemerintahan berakhir. Sebagaimana nasib pengikut Diponegoro yang lain. Kolonial Belanda juga memburunya. Pawadiman Djojodigdo yang masih berumur belasan tahun, tumbuh mandiri. Ia menempa diri dengan menempuh laku riyadhoh (tirakat) serta berkelana. Ia berguru kepada orang –orang yang memiliki kemampuan spiritual termasuk kepada Eyang Jugo atau Mbah Jugo.
Eyang Jugo atau Mbah Jugo tak lain dari Raden Mas Suryo Diatmojo, putra Kiai Zakaria, ulama besar Kraton Yogyakarta. Karenanya ada juga yang memanggil Mbah Jugo dengan sebutan Kiai Zakaria II. Mbah Jugo juga salah satu pimpinan pasukan laskar Diponegoro yang terpaksa menyamar untuk menghindari kejaran.
Nama Jugo ia peroleh saat masih bermukim di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Dalam Riwayat Ejang Djugo Panembahan Gunung Kawi (Terbit 1954), Im Yang Tju menulis : nama Jugo berasal dari kata Sajugo (menyatu). Ia kemudian hijrah sekaligus menetap di lereng Gunung Kawi, Malang, ditemani Mbah Iman Soejono putra angkatnya.
“Eyang Jugo merupakan guru Eyang Djojodigdo,” terang Mbah Lasiman. Djojodigdo mendengar Blitar sebagai kawasan yang gawat. Para begal, kecu, perampok sakti berkeliaran di mana-mana. Para punggawa Kadipaten Blitar kewalahan. Melihat itu Eyang Djojodigdo menawarkan diri kepada Bupati Blitar Kanjeng Adipati Warso Koesoemo, mengatasi gangguan keamanan yang terjadi.
Bupati mengizinkan. Djojodigdo yang terkenal memiliki ajian Pancasona menciutkan nyali para penjahat. Para begal memilih menyingkir daripada bertarung dan binasa. Ajian Pancasona atau Rawa Rontek merupakan ilmu kesaktian pilih tanding. Pemilik Pancasona konon tak bisa dibunuh.
Setiap mati pengamal Pancasona akan hidup kembali saat jasadnya menyentuh tanah. Atas keberhasilan mengusir para begal, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo mengangkat Djojodigdo sebagai Patih Kadipaten Blitar. Peristiwa pengangkatan itu berlangsung pada 8 September 1877. Menurut penuturan Mbah Lasiman, Eyang Djojodigdo memiliki empat orang istri.
Dari keempatnya lahir 32 anak dan 4.000 buyut yang tersebar di Indonesia. Salah satu putra Djojodigdo menjadi Bupati Rembang dan putra bupati itu yang kemudian memperistri RA Kartini. “Jadi suami RA Kartini merupakan cucu dari eyang Djojodigdo, “ kata Mbah Lasiman.
Menurut Mbah Lasiman tradisi mengungsi ke pesarean Djojodigdan saat Gunung Kelud meletus, terus berlanjut. Banyak yang percaya, mereka akan dijaga seluruh pusaka peninggalan Eyang Djojodigdo. Pusaka tersebut kata Mbah Lasiman kadang memperlihatkan diri kepada para peziarah.
“Wujudnya ular naga. Kemudian delapan ekor harimau Lodoyo yang merupakan roh harimau dalam tradisi rampogan macan,” terang Mbah Lasiman. Patih Djojodigdo mangkat pada 11 Maret 1909 dan bermakam di pesarean Djojodigdan yang saat ini terdapat 125 makam.
Sebuah keranda mayat berukir berada di atas pusara Eyang Djojodigdan. Empat tiyang besi menyangganya. Hal itu yang membuat Pesarean Djojodigdan juga memiliki sebutan Pesarean Makam Gantung. Sebutan gantung merujuk pada kepercayaan jasad pengamal Ajian Pancasona akan hidup kembali saat menyentuh tanah. Mbah Lasiman membantah semua itu. Menurut dia, di dalam keranda yang tergantung tersebut berisi pusaka, pakaian atau ageman Eyang Djojodigdo dan ilmu Pancasona.
Sementara jasad Eyang Djojodigdo tetap dimakamkan seperti pada umumnya orang meninggal dunia. “Yang digantung itu bukan jenazah. Melainkan pusaka, ageman eyang dan ilmu Pancasona,” pungkas Lasiman yang bertempat tinggal bersama istrinya di dalam area Pesarean Djojodigdan.iNewsBlitar
Editor : Edi Purwanto
Artikel Terkait