get app
inews
Aa Text
Read Next : Pasangan Mas Ibin-Elim Jadi Harapan Baru di Pilkada Kota Blitar 2024

Partai Fasis Indonesia Inginkan Jawa Kembali Jadi Majapahit dan Sumatera Jadi Sriwijaya

Sabtu, 19 Februari 2022 | 12:48 WIB
header img
kisah sejarah perjalanan Partai Fasis Indonesia. (foto istimewa/sumber repro Hitlers Griff nach Asien)

BLITAR, iNewsBlitar - Kaum fasis Indonesia yang menghimpun diri dalam Partai Fascist Indonesia (PFI) pernah tercatat dalam sejarah panjang politik tanah air. Pada bulan Juli 1933 di Bandung Jawa Barat, kaum fasis mendirikan PFI.

 

Kemunculan partai fasis Indonesia yang dipandegani Dr Notonindito mengejutkan dunia pergerakan Indonesia. Dr Notonindito merupakan bekas anggota PNI lama (PNI Bung Karno) di Pekalongan Jawa Tengah.

 

Ia seorang intelektual yang mengecap pendidikan tinggi di Eropa. “ Notonindito ialah putra Raden Pandji Notomidjojo, bekas Patih Kabupaten Rembang,” tulis Wilson dalam buku “Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme”.

 

Notonindito pada tahun 1921 bertolak ke Belanda untuk belajar ekonomi perdagangan. Sebelumnya, seusai tamat MULO pada tahun 1918, ia melanjutkan belajar di Telefoon Cursus di Weltevreden.

 

Setelah itu ia menjadi pegawai Gouvernement Telefoon Dienst. Di tahun 1923 Notonindito yang meraih gelar adjunc accountant, bekerja di kantor akuntan di Amsterdam.

 

Pada pertengahan tahun 1924, Notonindito bertolak ke Berlin Jerman untuk melanjukan studi ekonominya, dan meraih gelar Doktor pada November 1924. Tesisnya berjudul : Sedjarah Pendek Tentang Perniagaan , Peladjaran dan Indoestri Boemipoetra di Poelaoe Djawa”.

 

“Sepulangnya ke Indonesia, ia membuka kantor di Pekalongan sambil merangkap sebagai anggota PNI,” tulis Wilson.

 

Notonindito pindah ke Bandung Jawa Barat, namun di tanah Priangan itu kiprahnya justru tidak terlihat. Ia tiba-tiba menghilang dari panggung pergerakan. Pada tahun 1933, Partai Nazi memenangkan pemilu di Jerman.

 

Pada momentum yang sama Notonindito kembali muncul di panggung pergerakan Indonesia. Ia mengusung gagasan Partai Fascist Indonesia, dan merealisasikannya. Notonindito mengambil konsep kebangsaan sekaligus memakai kata “fasis”.

 

Kendati demikian dalam praktiknya PFI berbeda dengan pembentukan partai fasis di Jerman. “Ide-idenya tidak bersumber pada Nazi, melainkan pada kebudayaan Jawa,” kata Wilson dalam “Orang dan Partai Nazi di Indonesia”.

 

PFI memiliki gagasan mendirikan federasi antar kerajaan. Ini yang membedakan dengan Nazi Jerman yang menginginkan negara korporasi. PFI bercita-cita membangun kembali kerajaan-kerajaan di Jawa, seperti Majapahit dan Mataram, Sriwijaya di Sumatera dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.

 

PFI bercita-cita menyatukan antar kerajaan ke dalam wadah federasi. “PFI menghendaki sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja, sedangkan Nazi menghendaki kekuasaan partai tunggal, yaitu Partai Nazi,” tulis Wilson.

 

Para aktivis pergerakan langsung menyamakan ide-ide PFI yang diusung dalam retorika politik Notonindito dengan ide Komite Nasionalisme Jawa yang berdiri tahun 1914.

 

Adalah surat kabar Pemandangan yang pada 29 Juli 1933 menurunkan laporan khusus dengan menyebut ide PFI kelanjutan pemikiran pemimpin Komite Nasionalis Jawa Soetatmo Soerjokoesoemo.

 

Nasionalisme Jawa kembali muncul dengan muka baru, tapi gagasan lama. “Pergerakan yang semacam fasisme Italia itu,” tulisnya.

 

Soetatmo Soerjokoesoemo, pendiri Komite Nasionalisme Jawa lahir 1888 dan berasal dari keluarga Paku Alam di Yogyakarta. Seluruh anggota eksekutif  Komite Nasionalisme Jawa adalah generasi muda Budi Utomo (BU).

 

Soetatmo Soerjokoesoemo juga merupakan anggota Indische Partij (IP) dan anggota Komite Bumiputra pada 1913. Ia juga pimpinan Adhi Darma, keluarga Pakualaman yang didirikan Soerjopranoto, kakak kandung Ki Hajar Dewantara.

 

Soetatmo yang wafat pada tahun 1924 juga tercatat sebagai pengurus pusat Budi Utomo. Pada tahun 1918, Soetatmo yang penganjur “nasionalisme Jawa” pernah bersilang pendapat keras dengan Dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang penganjur “nasionalisme Hindia”.

 

Begitu juga dengan Notonindito dan PFInya, langsung mendapat serangan keras dari kaum pergerakan melalui media massa. Surat kabar Pemandangan salah satu yang menyerang keras.

 

Begitu juga dengan koran Adil. Notonindito dan PFI dituding telah merendahkan kesadaran rakyat Hindia Belanda yang tengah memperjuangkan hak-haknya. “..telah direndahkan untuk menyerahkan nasibnya kepada segolongan kecil kaum bangsawan dan intelektual”.

 

Surat kabar Menjala, organ PNI bersuara tidak kalah lantang dalam mencela Notonindito dan PFInya. Aktivis PNI mengatakan rakyat Indonesia bergerak bukan karena aroma asap kemenyan atau karena bunyi gamelan ketoprak.

 

“..tapi karena sama merahnya atau sama hijaunya darah kebangsaan”.

 

Koran Adil mengecam Partai Fasis Indonesia sebagai perkakas politik untuk memecah belah. Partai Fasis yang menghidupkan perasaan provinsialisme akan mengancam pergerakan kebangsaan Indonesia.

 

“Sehingga kaum pergerakan lebih suka melihat matinya daripada hidupnya partai politik semacam ini (Partai Fasis Indonesia),” tulis koran Adil.

 

Surat kabar Pandji Timoer ikut mengeroyok  Notonindito dan Partai Fasis Indonesia. Disebut dalam laporannya bahwa fasisme yang disebarkan di Indonesia tujuannya sama dengan di Eropa. Yakni membunuh aliran revolusioner.

 

“Kapitalisme dari semangat sama mendapat bentuk pertahanan yang baru, yaitu “kutu fasis”.     

 

Surat kabar Pandji Timoer mengulas lebih jauh dengan mengatakan, di Indonesia ide-ide fasisme tidak mungkin berkembang dan didukung rakyat.  Bagi Indonesia yang terjajah, Partindo dan PNI merupakan model gerakan kebangsaan yang kerakyatan.

 

“Kedua partai ini selain menuntut Indonesia merdeka juga menjadikan Hindia Belanda sebagai kubur kapitalisme”.

 

Serangan gencar dan bertubi-tubi dari kaum pergerakan membuat Dr Notonindito ragu melanjutkan kepemimpinannya. Ia bahkan menyangkal akan menjadi pimpinan Partai Fasis Indonesia.

 

Partai Fasis Indonesia tidak berumur panjang. Partai yang didirikan Notonindito tiba-tiba hilang begitu saja tanpa sempat melaksanakan program-programnya.

 

“Paling tidak, Notonindito telah menyadarkan kaum pergerakan bahwa ide-ide nasionalisme yang reaksioner mempunyai persemaian di kalangan bumiputra,” tulis Wilson dalam “Orang dan Partai Nazi di Indonesia, Kaum Pergerakan Menyambut Fasisme”.

Editor : Solichan Arif

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut