Logo Network
Network

Kisah Pasuruan dan Orang-Orang Madura Tulang Punggung Pabrik Gula

Arif
.
Rabu, 01 Februari 2023 | 12:17 WIB
Kisah Pasuruan dan Orang-Orang Madura Tulang Punggung Pabrik Gula
Pabrik gula di Pasuruan pada masa kolonial Belanda. (foto: istimewa/pinterest)

PASURUAN, iNewsBlitar – Pada era Kolonial Belanda, Pasuruan, Jawa Timur terkenal sebagai kawasan pabrik gula. Dibanding daerah lainnya, jumlah pabrik gula di wilayah Pasuruan terhitung lebih banyak.

Tercatat sejak tahun1828 atau dua tahun sebelum Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) berakhir, di Pasuruan terdapat 21 pabrik gula. Hanya dalam waktu 12 bulan, jumlah pabrik gula berlipat menjadi 51.

Dan pada tahun 1831, yakni setahun setelah Perang Jawa tamat, jumlah pabrik gula di Pasuruan bertambah menjadi 91. “Produksi gulanya mencapai 29.513 pikul/tahun,” demikian yang tertulis dalam buku Bandit-bandit Pedesaan di Jawa Studi Historis 1850-1942.

Sesuai catatan tahun 1834, saat itu area tanaman tebu yang diikuti pabrik gula di Pasuruan telah menyebar di delapan distrik. Yakni distrik Rejoso, Kota Pasuruan, Kraton, Jati, Wangkal, Keboncandi, Winongan, Grati dan Ngampit. Luas lahan yang bertanaman tebu mencapai 12.514 hektar.

Keberadaan tanaman tebu sebagai bahan baku utama gula sudah lama menguasai area persawahan Pasuruan. Apalagi pasca tahun 1830. Tebu yang sebelumnya menguasai seperlima sawah, telah menggeser keberadaan tanaman padi.

Mayoritas sawah di wilayah Pasuruan telah berubah menjadi kawasan perkebunan tebu. Menyusul itu, di mana-mana muncul industri gula yang sebagian besar dikelola para pengusaha Tionghoa.

Situasi yang ada memudahkan Van Den Bosch menjalankan politik tanam paksa di Pasuruan. Bosch juga melaksanakan konsep bisnis industri gula pemerintah. Pada tahun 1830, sesuai keterangan Residen Domis, Bosch melakukan kontrak kerja dengan sembilan perajin gula.

Enam orang di antaranya adalah pengusaha Tionghoa, dan tiga lainnya pengusaha Eropa. “Mereka harus menyerahkan 17.430 pikul gula”.  Yang berjalan di Pasuruan selama itu, para pengusaha (perajin gula) mendapat suplai tebu dari penduduk.

Para pengusaha mendapat sokongan bantuan dari kepala desa, di mana mereka (pengusaha) yang membayar pajak tanah. Sementara pemerintah kolonial Belanda hanya mengorganisir kuli, transport, pembelian alat, serta pemasaran.  

Untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja kuli, pemerintah biasanya memakai sawah bertanaman tebu di dekat desa-desa yang padat penduduk. Sebagian besar sawah yang diincar berada di kawasan pantai utara. Sejak itu para petani di desa lebih banyak bersinggungan dengan ekonomi perkebunan, daripada tanaman padi. “Pasuruan dijadikan soko guru industri gula pemerintah”.  

Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan tebu sebagai tanaman andalan. Demi kelangsungan bisnis gula, keberadaan perkebunan tebu diperluas ke wilayah karsidenan Probolinggo hingga pedalaman Malang dan Lumajang.

Perluasan itu mencapai titik tinggi hingga tahun 1900. Selain warga desa yang berdekatan dengan kawasan perkebunan tebu, pemerintah kolonial Belanda sangat mengandalkan tenaga kerja yang berasal dari Madura.

Mereka didatangkan langsung dari pulau garam. Sejak era kolonial Belanda, khususnya berlakunya politik tanam paksa. Keberadaan orang-orang Madura yang hingga kini tersebar di mana-mana itu menjadi tulang punggung kelangsungan bisnis pabrik gula di Pasuruan dan Probolinggo.

Editor : Solichan Arif

Follow Berita iNews Blitar di Google News

Bagikan Artikel Ini