JAKARTA,iNewsBlitar – Pembangunan candi pada masa Kerajaan Mataram Kuno dengan masa Kerajaan Majapahit memiliki tujuan yang berbeda. Perbedaan itu juga yang membuat ukuran dan bentuk candi ikut menjadi tidak sama.
Dalam “Tafsir Sejarah Negarakretagama” Prof. Slamet Muljana mengungkap alasan signifikan yang membuat candi di masa dua kerajaan itu berbeda.
Candi - candi besar dan sekaligus megah, yakni utamanya Candi Borobudur, Candi Pawon, dan Candi Mendut, berdiri pada masa pemerintahan dinasti Sailendra awal abad 9.
Pada masa itu raja dan rakyat memeluk agama Buddha. Pembangunan candi itu dimaksudkan demi pengagungan agama semata-mata. Selepas dinasti Sailendra muncul dinasti baru yang memeluk agama Siwa, yakni dimulai dari Rakai Pikatan.
Munculnya Rakai Pikatan membawa kehidupan kembali agama siwa di Jawa Tengah. Semangat keagamaan raja dan rakyat menggugah semangat dibangunnya kelompok Candi Prambanan pada permulaan abad 10. Pendirian Candi Prambanan untuk mengimbangi kelompok Candi Borobudur.
Kendati demikian ada kesamaan pada kedua candi tersebut, yakni sebagai monumen keagamaan yang itu didorong semangat keagamaan yang menyala-nyala di lingkungan keraton dan rakyat.
Proyek yang berjalan juga didukung kekayaan negara serta kemakmuran rakyat yang berlimpah. Bagaimana pun bangunan - bangunan candi yang berdiri merupakan hasil gotong royong berbagai faktor demi keagungan agama yang sepi dari segala pamrih.
Pada masa Kerajaan Singasari dan Majapahit, pembangunan candi memiliki tujuan yang berbeda. Candi di zaman Singasari dan Majapahit banyak difungsikan sebagai makam keluarga raja. Dimana berjumlah lebih banyak, namun ukurannya lebih kecil.
Dibanding kelompok Candi Borobudur dan Prambanan, pembangunan candi - candi di era Majapahit dimaksudkan sebagai tempat pemujaan para leluhur, yakni arwah keluarga raja yang telah mangkat.
Kemudian juga digunakan sebagai tempat penyimpanan abu jenazah dan arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja di situ.
Pada tahun 1365, berdasarkan sumber Kakawin Negarakretagama pupuh 74 dan 78 jumlah candi ada 27 buah, yang tersebar di Kagenengan, Tumapel, Kidal, Jajago, Wedwawedan, Pikatan, Bakul, Jawajawa. Kemudian di Antang, Trawulan, Kalangbret, Jago, Blitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri, dan Bebeg.
Selanjutnya ada juga di Kukap, Lumbang, Puger, Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura, Budi Kincir, dan Prajnaparamita puri di Bayalangu. Meskipun wujudnya adalah Candi Siwa atau Buddha, pada hakikatnya adalah candi makam.
Pembangunan candi bukan semata tempat pemujaan Siwa atau Buddha seperti di Candi Borobudur atau Candi Prambanan di Jawa Tengah. Pada zaman Singasari dan Majapahit telah terjadi percampuran antara kepercayaan asli yang berupa pemujaan arwah leluhur dan kepercayaan asing berupa agama Siwa dan Buddha.
Biaya pembangunan juga berasal dari kerajaan atas kemauan raja yang sedang memerintah untuk keagungan keluarga raja yang telah mangkat. Sementara pembangunan candi - candi megah di era Mataram dibiayai secara gotong royong dan kerjasama antara pemeluk agama dan pendukung - pendukungnya.
Raja memberikan biaya rakyat menunjang tenaga kerja, para seniman menyumbang bakat dalam penggarapannya dan para pendeta memberikan petunjuk - petunjuk perencanaannya.
Editor : Solichan Arif