TERBUNUHNYA Jayanegara, membawa berkah bagi dua perempuan Kerajaan Majapahit, Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat atau Rajadewi Maharajasa. Dua putri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, itu naik ke tampuk kekuasaan setelah lepas dari cengkeraman Jayanegara yang sudah lama mengincarnya. Kedua putri cantik ini memerintah secara bersamaan setelah istri Raden Wijaya, Gayatri, menolak menjadi raja. Wanita bijak itu memilih menjadi pendeta.
Dalam buku “Menuju Puncak Keagungan Sejarah Kerajaan Majapahit” karya Slamet Muljana, kedua putri raja itu awalnya memerintah di dua wilayah. Tribuwana Tunggadewi memimpin Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa memerintah Daha.
Mereka memerintah wilayahnya masing-masing dengan gelar Rani Kahuripan dan Rani Daha. Tak hanya itu, sepeninggal Jayanegara, para pemuda yang menaruh minat pada kedua putri itu berani kembali masuk ke istana Majapahit, untuk melakukan pendekatan.
Pada tahun 1250 Saka atau 1328 M, putri Tribuwanatunggadewi menikah dengan Sri Kertawardana dari Singasari, putra Cakradara. Sedangkan Rajadewi Maharajasa atau Bhre Daha menikah dengan Raden Kuda Amerta dari Wengker, atau Bhreng Prameswara ring Pamotan, dengan nama Abiseka Sri Wijayarajasa.
Selanjutnya kedua putri Raden Wijaya memimpin Majapahit. Tribuwanatunggadewi dinobatkan sebagai Rani Majapahit atau Raja Majapahit. Ia memerintah bersama adiknya Rani Daha atau Rajadewi Maharajasa. Pemerintahan bersama dilakukan agar segala kesulitan yang mungkin timbul bisa teratasi jika hanya Rani Kahuripan atau Tribuwanatunggadewi yang memegang tampuk pemerintahan.
Hal ini tidak lepas dari pemikiran cemerlang Patih Gajah Mada yang dikenal sebagai orang yang bijaksana dalam tindakannya. Kedua putri ini diprioritaskan untuk memerintah Kerajaan Majapahit. Sedangkan patih Amangku Bumi masih menduduki posisi Aria Tadah. iNews Blitar
Editor : Edi Purwanto